Fenomena bapak rumah tangga masih belum sepenuhnya bisa diterima di Indonesia. Ini dikarenakan masih banyak orang yang memegang teguh citra tradisional laki-laki dan perempuan. Laki-laki adalah kepala keluarga dan penyedia nafkah, sedangkan perempuan yang sudah menikah serta menjadi ibu tangga dan diam di rumah. Citra ini sudah sangat lama terbentuk dan tertanam dalam pikiran masyarakat sehingga jika ada yang tidak sejalan dengan citra itu, mereka dicap aneh.
gambar : foredigelgasa.net |
Perempuan-perempuan yang memiliki suami dengan profesi tidak "lazim", seperti seniman, penulis, atau musisi, harus bisa menghadapi kenyataan bahwa mereka bisa saja digunjingkan dalam keluarga besar atau masyarakat. Orang-orang mungkin akan mempertanyakan alasan mengapa justru sang isteri yang bersusah payah pergi ke kantor, sedangkan suami 'hanya' tinggal di rumah.
Banyak status yang mesti disandang laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat, mulai dari status kepala keluarga, pemimpin, imam keluarga, dan pencari nafkah. Mereka harus memenuhi tuntutan setiap peran tersebut. Sementara sekarang keadaan berubah, posisi perempuan dalam dunia usaha sudah setara dengan laki-laki. Malah di banyak tempat, penyedia lapangan kerja lebih suka memperkerjakan perempuan dengan alasan tren pekerjaan saat ini lebih mengarah pada bidang pelayanan.
Bila sistem patriarki sangat kuat tertanam dalam kehidupan seorang laki-laki, ketika ia terpaksa berada di rumah, egonya akan terganggu. Jika tidak segera diatasi, ia bisa tidak percaya diri, stress, dan frustasi. Sebaliknya, orang yang mampu melihat keadaan ini secara positif akan memanfaatkan situasi ini sebagai sarana mendekatkan diri dengan keluarga dan berusaha membantu meringkan beban rumah tangga yang selama ini ditanggung isteri.
Pada umumnya bila laki-laki tidak menghasilkan uang, mereka merasa tidak memiliki harga diri. Ini terjadi di masyarakat kita. Inilah yang menyebabkan menjadi bapak rumah rumah tangga sulit sekali diwujudkan. Sebagus-bagusnya pekerjaan sang isteri, mereka tetap diharapkan memiliki sumber nafkah. Suami bisa saja memulai usaha sendiri di rumah. Di era teknologi seperti saat ini, banyak hal bisa dilakukan dengan cepat dari tempat tinggal. Dengan hanya bermodal komputer dan sambungan internet, seseorang sudah terhubung dengan dunia luar dan dapat memulai usahanya.
Dengan alasan apapun, terpaksa atau pilihan sendiri, pasangan suami isteri tidak akan mengalami masalah berarti kalau bisa berkomunikasi dengan baik. Suami harus tetap memiliki semangat juang tinggi walaupun bekerja dari rumah, sementara isteri harus memiliki kepercayaan bahwa di tangan suami, kondisi rumah juga bisa beres.
Dalam keluarga yang konvensional, suami merasa dirinyalah yang lebih banyak berkontribusi karena bekerja formal di kantor, sementara isteri 'cuma' mengurus rumah. Sebaliknya, isteri berpikir dirinyalah yang bekerja lebih berat karena harus mengerjakan segala tetek bengek urusan pekerjaan rumah dan beranggapan kerja suami lebih ringan. Hal yang sama mungkin juga terjadi saat suami dan isteri bertukar peran. Hanya saja, setelah merasakan sendiri tugas yang sebelumnya dijalankan pasangan, seharusnya baik suami maupun isteri memiliki pemahaman yang lebih baik. Keduanya memiliki tugas yang sama pentingnya.
Dalam kondisi seperti diatas, isteri sebaiknya tetap menghargai suami dan lebih perhatian. Tetaplah memperlakukan dirinya selayaknya suami, ayah, dan kekasih. Kebahagiaan dan kepuasan itu datangnya dari keluarga bahagia, yang lainnya mengikuti.
Semoga bermanfaat.
Semoga bermanfaat.