Mengatasi Ketakutan Akan Kematian Dengan Ibadah

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Kematian, satu hal yang banyak ditakuti oleh manusia. Padahal semua yang hidup di dunia ini pasti akan mati. Demikian juga yang akan terjadi pada kita, manusia. Sebagai manusia kita tidak akan pernah tahu soal kapan dan bagaimana kita akan mati. Semua itu merupakan rahasia Tuhan. Ketika waktu kematian tiba, kita tidak bisa mengatakan belum siap. Oleh karenanya, mau tidak mau upaya yang paling pas untuk menghadapi kematian yang setiap saat bisa datang, adalah dengan membuat diri kita siap untuk 'dipanggil' kapanpun. Termasuk di antaranya siap kalau orang-orang yang terdekat di hati kitapun dipanggil oleh Tuhan.

Kita tidak akan pernah tahu, bagaimana cara kita 'dipanggil'. Yang terjadi pada orang lain, belum tentu akan terjadi pula dengan kita atau pada orang-orang yang kita kasihi. Perasaan kuatir akan kematian adalah perasaan yang manusiawi. Tetapi bila kekuatiran-kekuatiran yang dirasakan sampai sangat mengganggu, pada akhirnya hanya akan menguras energi lahir dan batin, bahkan memunculkan rasa paranoid terhadap kematian.

Rasa kepemilikan yang kuat serta keberatan untuk kehilangan apa yang kita miliki akan menimbulkan depresi, saat rasa ketakutan akan kematian tersebut muncul. Kita harus menyadari dan memahami, ketika kita lahir, kita tidak memiliki apapun, dan kelakpun ketika kita kembali ke hadirat-Nya juga tidak akan membawa benda atau materi apapun selain kain kafan. Pada prinsipnya, kita mesti sadar dan memahami, bahwa apa yang kita miliki selama di dunia ini, semuanya adalah barang titipan Illahi. Barang titipan yang seharusnya bisa membuat kita selalu siap untuk menghadapi kematian kapanpun, barang titipan yang bisa menyelamatkan kita setelah mengalami kematian, dan itu bisa terjadi tergantung bagaimana dan untuk apa kita mengelola barang titipan Illahi tersebut.

Mengurangi derajat "kepemilikan" dan "bersedia untuk kehilangan" pada akhirnya akan membuat kita lebih berdamai terhadap diri sendiri dan lebih rileks dalam menyikapi kehidupan, sehingga hal tersebut akan membuat kita siap dan tidak takut menghadapi kematian.

Selain dari itu, banyak melakukan ibadah merupakan salah satu cara kita untuk tidak takut menghadapi kematian.  Ibadah juga juga merupakan tugas utama manusia di muka bumi. Sebagaimana tersurat dalam QS. Adz-Dzariyat : 56, yang artinya "Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku" Ayat tersebut secara gamblang menyebutkan tugas utama manusia dan jin, sebagai mahkluk Allah swt, yaitu beribadah kepada-Nya. Makna ibadah itu sendiri adalah menghambakan diri, tunduk dan patuh kepada Allah swt. Ini berarti bahwa setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia, bahkan setiap nafas yang dihembuskan, harus didedikasikan kepada Allah. 

Dalam Islam, terdapat dua macam ibadah, yaitu :
  1. Ibadah  mahdhah,  yaitu ibadah yang sudah ditentukan, baik waktu, ukuran, maupun caranya. Misalnya : shalat,  zakat, puasa, haji, dan lain-lain.
  2. Ibadah ghairu mahdhah, yaitu ibadah yang tidak ditentukan waktu dan kadar ukurannya. Misalnya, sedekah, menolong orang, dan lain-lain.
Dengan demikian, tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak bernilai ibadah, karena dalam Islam, seluruh aspek kehidupan manusia harus bernilai ibadah.

Ibadah dalam Islam tidak hanya mencerminkan hubungan antara manusia sebagai hamba dengan Allah, namun juga mencerminkan hubungan antar manusia itu sendiri. Hal itu tidak terlepas dari sifat agama Islam itu sendiri yang tidak hanya menekankan spiritualitas yang bersifat individu, tetapi juga mementingkan spiritualitas komunal yang menyatu sebagai masyarakat muslim. Masyarakat yang dibangun atas dasar penghambaan dan keimanan kepada Allah, tercermin dalam ritual-ritual keagamaan yang mengikat.

Ibadah tidaklah cukup kalau cuma melaksanakan ritualnya saja, nilai-nilai dari ibadah akan lebih berarti kalau kita bisa menerapkannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Penerapan nilai-nilai ibadah bisa dilakukan dengan cara di antaranya adalah :

1. Ikhlas dalam beramal.
Dalam konteks beramal, ikhlas bisa diterapkan lewat konsep altruisme, artinya ketika kita melakukan sesuatu, tujuannya memang murni untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain. Yang disebut kesejahteraan bisa berarti menjadi sedikit lebih makmur, menjadi lebih nyaman, lebih bahagia, tertolong, dan lain-lain. Tidak disebut ikhlas, kalau tujuannya adalah sebagai berikut :
  • Mengurangi rasa bersalah. Misalnya kita memberi makan kepada pengemis bukan karena betul-betul ingin membuat ia kenyang, tapi karena kalau tidak memberi, kita merasa membiarkan ia kelaparan.
  • Menghindari sanksi sosial. Misalnya kita menyumbang bukan karena ingin menolong, tapi karena takut dicap pelit oleh tetangga.
  • Mendapatkan penghargaan. Misalnya kita menyumbang kepada korban bencana agar nama kita bisa dimuat di koran untuk diperlihatkan kepada teman-teman.

Jadi jika selama ini anda berbuat amal dilakukan dengan tujuan seperti di atas, sebaiknya mulailah belajar untuk mengubah tujuan anda beramal tersebut. Tapi kalau anda beramal dengan tujuan benar-benar untuk menolong orang lain tanpa tujuan lain, berarti anda telah ikhlas melakukan semua amal anda tersebut. 

2. Hilangkan kebiasaan berbohong.
Berbohong adalah sikap sengaja mengatakan sesuatu yang tidak benar dengan tujuan memperoleh keuntungan. Pada dasarnya, berbohong atau berkata dusta merupakan perbuatan yang tidak diperbolehkan oleh hukum, baik hukum negara maupun hukum agama. Dalam ajaran agama Islam, berbohong hukumnya haram. Pada umumnya, alasan orang untuk berbohong dikarenakan oleh 2 sebab, yaitu :
  1. Untuk melindungi diri.
  2. Untuk menutupi kesalahan yang telah diperbuatnya.

Kebiasaan berbohong biasanya tertanam sejak anak masih kecil, hal ini disebabkan oleh lemahnya penanaman pondasi tentang pentingnya arti kejujuran, keterbukaan, dan kurangnya pengetahuan tentang ajaran agama. Jika kebiasaan berbohong ini terus berlanjut, lambat laun yang bersangkutan akan menjadi pribadi yang tidak jujur dan tidak bisa dipercaya. Kebiasaan berbohong ini dapat dicegah. Di mulai dari lingkungan keluarga, salah satunya adalah dengan mempererat hubungan dengan orang tua. Jika kita dekat dengan orang tua, kita akan lebih bisa terbuka tentang segala hal sehingga tercipta hubungan saling mempercayai dan menghargai. Selanjutnya ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menghilangkan kebiasaan berbohong, yaitu :
  • Perbaiki niat, bahwa setiap tindakan itu harus didasari karena Allah.
  • Tegaskan dalam diri kita, bahwa bohong adalah dosa dan harus segera ditinggalkan.
  • Belajar untuk mengakui kesalahan sendiri.
  • Tanamkan jiwa berani menanggung resiko atas apa yang telah diperbuat.
  • Pahami akibat dari berbohong.
Apabila kita sudah terlanjur berbohong, hal pertama yang harus dilakukan adalah :
  1. Menyadari dan menyesali apa yang telah kita lakukan (berbohong).
  2. Meminta maaf kepada orang yang telah kita bohongi.
  3. Memperbaiki kesalahan kita akibat kebohongan yang telah diperbuat.
  4. Bertobat dan tidak akan pernah mengulanginya lagi.
Mendekatkan diri kepada Allah swt dan mensyukuri apa yang sudah kita dapatkan juga merupakan cara ampuh untuk tidak lagi melakukan kebohongan. Kejujuran memang tidak selalu berakhir indah, tapi dengan kejujuran kita akan bisa selamat di dunia dan di akherat.

3. Menyambung tali silaturahmi.
"Barang siapa yang ingin dimudahkan rejekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi." (H.R. Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud) Berikut ini pembuktian ilmu pengetahuan modern terhadap hadits Rasulullah tersebut :

a. Silaturahmi mendatangkan rejeki.
Sebuah penelitian yang pernah dilakukan oleh Mark Granovetter, seorang sosiolog dari Harvard University tentang cara atau bagaimana orang mendapatkan pekerjaan. Hasil dari penelitian tersebut menemukan bukti bahwa mayoritas orang mendapatkan pekerjaan berdasarkan koneksi pribadi. Jadi bisa disimpulkan  karena koneksi atau hubungan silaturahmi itulah seseorang mendapatkan pekerjaan.

b. Silaturahmi memanjangkan umur.
Hold Lunstad, seorang psikolog dari Brigham Young University di Utah bersama timnya, melakukan analisis terhadap sejumlah penelitian tentang efek hubungan sosial pada kesehatan. Ia melakukan analisis terhadap 148 penelitian yang melibatkan 306 ribu lebih orang yang kehidupannya diikuti selama rata-rata 7,5 tahun. Hubungan sosial dalam penelitian ini diukur dengan beberapa cara, mulai dari yang sederhana, seperti apakah orang tersebut menikah atau hidup sendiri. Juga dilihat dari persepsi seseorang, apakah mereka merasa akan ada orang lain yang akan segera membantunya saat mereka membutuhkan pertolongan. Kemudian penilaian lain diambil dari seberapa kuat seseorang terlibat dalam komunitasnya, dan lain-lain. Hasil penelitian tersebut kemudian dicek silang dengan usia, gender, status kesehatan, dan penyebab kematian saat orang tersebut meninggal dunia. Dan hasilnya seperti yang telah dipublikasikan dalam Journal Plos Medicine yang diterbitkan oleh Public Library of Science, menyimpulkan bahwa orang dengan hubungan sosial yang kuat akan 50 % lebih panjang umurnya dibandingkan dengan mereka yang tanpa dukungan ini. Memiliki hubungan yang baik seperti dengan teman, pernikahan atau anak, sama baiknya dengan menjaga kesehatan, dengan cara menurunkan berat badan atau bahkan minum obat.

Dengan melakukan hal-hal tersebut, niscaya hidup yang kita jalani akan terasa tentram, hati dan pikiran akan terasa tenang, karena semuanya akan kita kembalikan kepada Allah swt, rob yang menguasai hidup manusia. Dengan demikian, kita tidak akan takut menghadapi sang maut, yaitu kematian.

Demikian penjelasan berkaitan dengan mengatasi ketakutan akan kematian dengan ibadah.

Semoga bermanfaat.