Penyebab Anak Balita Jadi Pemarah Dan Agresif

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Setiap anak memiliki karakternya masing-masing. Lingkungan tempat anak tersebut tinggal dan hubungan antar anggota keluarga ikut mempengaruhi perkembangan dari karakter anak tersebut. Dalam perkembangannya ada anak yang tumbuh menjadi anak yang pendiam, anak yang periang, anak yang pemarah, dan lain sebagainya.

gambar : buahhati.co.id
Pada umumnya, anak balita atau anak di bawah usia sekolah suka marah merupakan hal yang wajar dan tidak membahayakan, hanya saja jika sejak dini tidak ditangani dengan serius maka akan kasihan si anak, dia akan berpotensi menjadi anak yang pemarah atau bahkan durhaka pada orang tuanya. 

Bentuk kemarahan anak balita atau di bawah usia sekolah tersebut biasanya berupa tangisan, histeris, memukul-mukul, menendang, melempar barang-barang, dan lain-lain.  Adapun kemarahan anak tersebut biasanya disebabkan karena :
  1. Kecewa karena keinginan yang tidak tersampaikan.
  2. Lelah, lapar, dan mengantuk.
  3. Orang tua terlalu mengekang/mengatur, sehingga anak merasa tidak bebas dan terkekang keinginan atau aktifitasnya.
Jadi apabila anak balita anda sedang marah, Anda mesti dapat mengetahui penyebab dari kemarahan anak tersebut, termasuk dalam kelompok yang mana ? Setelah anda tahu penyebab dari kemarahan anak anda tersebut, barulah anda dapat melakukan langkah-langkah untuk mengelola kemarahan si anak.

Pada prinsipnya kemarahan si anak tersebut tidak perlu kita hadapi dengan marah, bingung, lemah prinsip, atau mengikuti kemauan si anak, tapi usahakan bisa memberikan pemahaman pada si anak bahwa kemarahan bukan kunci untuk mencapai kehendak. Tentunya pemberian pemahaman pada si anak dilakukan dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh si anak tersebut.

Menghadapi kemarahan anak balita atau anak di bawah usia sekolah, para orang tua harus bisa merespon penyebab kemarahan anak tersebut dengan tepat, sebagai contoh misalnya :
  • Jika kemarahan disebabkan oleh kekecewaan karena sesuatu hal, maka orang tua mesti bisa memberikan pengertian dan pemahaman kenapa keinginan si anak tersebut tidak dipenuhi.
  • Jika kemarahan disebabkan oleh rasa lelah atau lapar. Sebelum anak marah, tentunya orang tua sudah bisa melihat gelagat si anak tersebut, sehingga kemarahan anak bisa dicegah. Karena pada umumnya anak balita belum mampu menyampaikan keadaan dirinya sehingga yang ada bisanya hanya marah-marah saja.

Anak-anak biasanya suka menirukan apa yang dia lihat. Perilaku dan perbuatan anak biasanya akibat dari apa yang anak lihat di lingkungan sekitarnya. Ketika seorang anak tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga yang harmonis, maka si anakpun akan mempunyai perilaku yang mencerminkan seorang yang penyayang dan penyabar. Demikian pula sebaliknya, apabila seorang anak tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga yang pemarang, maka si anakpun akan mempunyai kecenderungan menjadi seorang yang pemarah dan agresif.

Lantas kenapa anak balita bisa berperilaku agresif ? Perilaku agresif anak, terutama usia balita, seperti memukul, menggigit, menendang, melempar, dan lain-lain sebetulnya termasuk wajar-wajar saja. Perilaku agresif balita biasanya muncul pada anak yang belum bisa bicara atau baru mulai belajar bicara. Penyebabnya bisa jadi karena perbendaharaan katanya masih terbatas, sementara ia ingin menyatakan sesuatu tetapi orang tua atau orang-orang di sekitarnya tidak memahami maksudnya. Bisa juga didorong rasa kurang nyaman, tidak aman, marah, kecewa, atau bahkan sedih tetapi ia tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaan-perasaan itu. Secara umum perilaku agresif pada balita lebih disebabkan karena ia belum mampu untuk mengungkapkan perasaan-perasaannya maupun keinginan-keinginannya.

Namun demikian, bukan berarti anak balita tersebut dibolehkan untuk berperilaku agresif. Anak balita umumnya belum bisa memahami konsep benar dan salah, tetapi ia akan mengerti perilaku mana yang diinginkan atau dibolehkan dan mana yang tidak.

Anak harus diajarkan bagaimana cara mengekspresikan rasa frustasinya. Orang tua bisa mengawalinya dengan membantu mengenali emosi yang sedang dirasakan, seperti sedih, marah, ataupun kesal. Ajarkan anak balita untuk menyalurkannya secara baik-baik tanpa harus mengeluarkan perilaku agresifnya. Memang diperlukan kesabaran lebih untuk itu dan yang lebih penting lagi adalah penerapan aturan secara konsisten agar anak balita mengetahui secara jelas hal mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan. 

Untuk menerapkan aturan yang konsisten, terlebih dahulu orang tua perlu mensosialisasikannya kepada anak. Lakukan kesepakatan dan sampaikan secara jelas hal-hal yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Jika anak tetap melanggar, berikan konsekuensi dengan mengambil apa yang menjadi kesenangannya, usahakan tidak menghukum anak secara fisik atau dengan kekerasan. Dengan demikian, anak akan belajar menerima konsekuensi. Jangan lupa juga untuk memberikan pujian atas usaha yang telah dilakukannya. 

Semoga bermanfaat.