Komponen Pembentuk Identitas Sosial Serta Proses Terbentuknya Identitas Sosial (Social Identity)

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Identitas sosial atau "social identity" merupakan ciri-ciri khas yang dimiliki oleh seseorang, sekelompok orang atau masyarakat. Henry Tajfel dalam "The Social Identity Theory of Inter Group Behavior", menyebutkan bahwa identitas sosial merupakan bagian dari konsep diri seorang individu yang berasal dari pengetahuannya tentang keanggotaan dalam suatu kelompok sosial bersamaan dengan signifikansi nilai dan emosional dari keanggotaan tersebut.

Komponen Pembentuk Identitas Sosial
. Terdapat beberapa komponen yang menjadi dasar terbentuknya identitas sosial. Menurut Henry Tajfel dan J.C. Turner, dalam "An Integrative Theory of Group Conflict", komponen pembentuk identitas sosial adalah sebagai berikut :

1. Social Identification (Identifikasi Sosial).
Social identification (identifikasi sosial) selalu mengacu pada sejauh mana seseorang mendefinisikan diri mereka (dan dilihat oleh orang lain) sebagai anggota kategori sosial tertentu. Posisi seseorang dalam lingkungan dapat didefinisikan sesuai dengan "kategorisasi" yang ditawarkan, dan sebagai hasilnya kelompok sosial akan memberikan sebuah identifikasi pada anggota kelompok mereka dalam sebuah lingkungan sosial.

Michael A. Hogg dan D. Abrams,  dalam "Social Identity Theory : Constructive and Critical Advances", menyebutkan bahwa dalam identifikasi merupakan pengetahuan dan nilai yang melekat dalam anggota kelompok tertentu yang mewakili identitas sosial individu. Selain untuk meraih identitas sosial yang positif, dalam melakukan identifikasi, setiap orang berusaha untuk memaksimalkan keuntungan bagi dirinya sendiri dalam suatu kelompok.

2. Social Categorization (Kategorisasi Sosial).
Social categorization (kategorisasi sosial) menunjukkan kecenderungan individu untuk menyusun lingkungan sosialnya dengan membentuk kelompok-kelompok atau kategori yang bermakna bagi individu. Sebagai konsekuensi dari social categorization, perbedaan persepsi antara unsur-unsur dalam kategori yang sama berkurang, sedangkan perbedaan antara kategori (out-group) lah yang lebih ditekankan. Dengan demikian, social categorization berfungsi untuk menafsirkan lingkungan sosial secara sederhana. Sebagai hasil dari proses social categorization, nilai-nilai tertentu atau stereotip yang terkait dengan kelompok dapat pula berasal dari individu anggota kelompok itu juga.

Social categorization dalam identitas sosial memungkinkan individu menilai persamaan pada hal-hal yang terasa sama dalam suatu kelompok. Adanya sosial categorization menyebabkan adanya self categorization, yaitu asosiasi kognitif diri dengan kategori sosial yang merupakan keikut-sertaan diri individu secara spontan sebagai seorang anggota kelompok.

3. Social Comparison (Perbandingan Sosial).
Identitas sosial dibentuk melalui social comparison (perbandingan sosial), yaitu melalui penekanan perbedaan pada hal-hal yang terasa berbeda pada in-group dan out-group, di mana individu berusaha meraih identitas yang positif jika individu bergabung dalam in-group. Demikian juga, ketika sebuah kelompok merasa lebih baik dibandingkan dengan kelompok lain, hal tersebut akan dapat menyebabkan identitas sosial yang positif. Keinginan untuk meraih identitas yang positif dalam identitas sosial ini merupakan pergerakan psikologis dari perilaku individu dalam kelompok. Proses social comparison menjadikan seseorang mendapat penilaian dari posisi dan status kelompoknya.

Social comparison (perbandingan sosial) merupakan proses yang kita butuhkan untuk membentuk identitas sosial dengan memakai orang lain sebagai sumber perbandingan, untuk menilai sikap dan kemampuan kita.


Proses Terbentuknya Identitas Sosial. Menurut Richard Jenkins, dalam "Social Identity",  mengutip pendapat J.C. Turner, dalam "Rediscovering the Social Group : A Self Catagorization", menyebutkan bahwa :

"kategorisasi sosial menghasilkan identitas sosial dan perbandingan sosial, yang dapat saja berakibat positif atau negatif terhadap evaluasi diri."


Dalam proses pembentukan identitas sosial, Richard Jenkins berpendapat bahwa :
  • identitas individual dan kolektif berkembang secara sistematis dan berkembang atas keterlibatan satu sama lain.
  • identitas individual dan kolektif merupakan produk interaksional eksternal yang diidentifikasikan oleh orang lain sebagai identifikasi internal.
  • proses terjadinya identitas dihasilkan baik dalam wacana - narasi, retorika dan representasi dan dalam materi, sering kali bersifat sangat praktis, yang merupakan konsekuensi dari penetapan identitas.

Sedangkan Michael A. Hogg, dalam "The Social Identity Perspective : Intergroup Relation, Self-Conception and Small Group. Small Group Research, Vol 35 No.3 (June 2004)",  menyebutkan bahwa proses terbentuknya identitas sosial terjadi dalam 3 tahapan yang menjelaskan dan menentukan perilaku, yaitu sebagai berikut :
  • kategori sosial (social categorization), yang berdampak pada definisi diri dan perilaku.
  • depersonilisasi (depersonalization), merupakan proses di mana individu menginternalisasikan bahwa orang lain adalah bagian dari dirinya atau memandang dirinya sendiri sebagai contoh dari kategori sosial yang dapat digantikan dan bukannya individu yang unik.
  • prototipe (prototype), merupakan konstruksi sosial yang terbentuk secara kognitif yang disesuaikan dengan pemaksimalan perbedaan yang dimiliki oleh kelompok lainnya. Hal ini dilakukan untuk menonjolkan keunggulan kelompoknya. Persepsi prototype yang menjelaskan dan menentukan perilaku. Ketika ketidak-merataan identitas ini terjadi, maka konsepsi tentang diri dan sosialnya juga tidak jelas.


Identitas sosial tidak datang dengan sendirinya. Dalam pembentukan suatu identitas sosial ada motivasi-motivasi yang dimiliki oleh seorang individu. Menurut Michael A. Hogg, motivasi identifikasi sosial tersebut adalah sebagai berikut :

1. Self Enhancement dan Positive Distinctiveness.
Pemikiran yang positif mencakup keyakinan bahwa "kelompok kita" lebih baik dibandingkan "kelompok mereka". Kelompok dan anggota yang berada di dalamnya akan berusaha untuk mempertahankan pemikiran yang positif tersebut karena hal itu menyangkut dengan martabat, status, dan kelekatan dengan kelompoknya. Pemikiran yang positif seringkali dimotivasi oleh harga diri anggota kelompok. Ini berarti bahwa harga diri yang rendah akan mendorong terjadinya identifikasi kelompok dan perilaku antar kelompok. Dengan adanya identifikasi kelompok, harga diri pun akan mengalami peningkatan.

Peningkatan diri tak dapat disangkal juga terlibat dalam proses identitas sosial. Karena motif individu untuk melakukan identitas sosial adalah untuk memberikan aspek positif bagi dirinya, misalnya meningkatkan harga dirinya, yang berhubungan dengan self enhancement (peningkatan diri).

2. Uncertainty Reduction.
Motivasi ini secara langsung berhubungan dengan kategorisasi sosial. Individu berusaha mengurangi ketidakpastian subjektif mengenai dunia sosial dan posisi mereka dalam dunia sosial. Individu suka untuk mengetahui siapa mereka dan bagaimana seharusnya mereka berperilaku. Selain mengetahui dirinya, mereka juga tertarik untuk mengetahui siapa orang lain dan bagaimana seharusnya orang lain tersebut berperilaku. Kategorisasi sosial dapat menghasilkan uncertainty reduction karena memberikan kelompok prototipe yang menggambarkan bagaimana orang (termasuk dirinya) dalam berperilaku dan berinteraksi dengan orang lain.

Individu yang memiliki ketidakpastian konsep diri akan termotivasi untuk mengurangi ketidakpastian dengan cara mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok yang statusnya tinggi atau rendah. Kelompok yang telah memiliki kepastian konsep diri akan dimotivasi oleh self-enhancement (peningkatan diri) untuk mengidentifikasi dirinya lebih baik terhadap kelompoknya.

3. Optimal Distinctiveness.
Motivasi untuk mengidentifikasi dengan kelompok-kelompok yang memberikan identitas sosial yang positif dan yang memenuhi kebutuhan mereka pada kepastian. Salah satu hasil dari proses ini adalah self-stereotipe, dimana orang mengganti identitas pribadi mereka dengan identitas kelompok. Salah satu kelemahan dari hipotesis diri stereotip adalah bahwa orang memiliki kebutuhan dan mengalami diri mereka sebagai individu yang unik yang berbeda dari orang lain, karena itu disarankan modifikasi teori self-kategorisasi yang dia sebut teori optimal distinctiveness.


Demikian penjelasan berkaitan komponen pembentuk identitas sosial serta proses terbentuknya identitas sosial (social identity).

Semoga bermanfaat.