Pengertian Otopsi. Istilah otopsi atau autopsi berasal dari bahasa Yunani, yaitu "auto" yang berarti sendiri, dan "opsis"yang berarti melihat. Sehingga otopsi dapat diartikan dengan "melihat dengan mata sendiri". Otopsi juga dikenal dengan istilah "necropsy" atau "pemeriksaan post mortem". Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, otopsi diartikan dengan pemeriksaan tubuh mayat dengan jalan pembedahan untuk mengetahui penyebab kematian, penyakit, dan sebagainya atau bedah mayat.
Baca juga : Alat-Alat Pembuktian Dalam Hukum Acara Perdata
Jenis Otopsi. Otopsi dapat dibedakan menjadi tiga jenis yang didasarkan pada tujuan diadakannya otopsi, yaitu :
1. Otopsi Anatomis.
Otopsi anatomis adalah otopsi yang dilakukan untuk keperluan pendidikan mahasiswa kedokteran. Mayat yang digunakan untuk otopsi jenis ini adalah mayat yang dikirim ke rumah sakit yang setelah disimpan dalam waktu 2 x 24 jam di laboratorium ilmu kedokteran kehakiman tidak ada ahli waris yang mengakuinya. Kemudian mayat tersebut diawetkan di laboratorium anatomi dan disimpan sekurang-kurangnya datu tahun sebelum digunakan untuk praktikum anatomi. Kegiatan otopsi jenis ini diperbolehkan dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, demikian itu berdasarkan ketentuan sebagai berikut :
- dalam hal
warisan yang tidak ada yang mengakuinya maka akan menjadi milik negara
setelah tiga tahun. Sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1129 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yang menyebutkan : "Bila
setelah lampaunya waktu tiga tahun terhitung dari saat terbukanya warisan
itu, tidak ada ahli waris yang muncul, maka perhitungan penutupnya harus
dibuat untuk negara, yang berwenang untuk menguasai barang-barang
peninggalan itu untuk sementara".
- dalam hal
seseorang mewariskan mayatnya setelah ia meninggal dunia pada fakultas
kedokteran. Sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 935 KUH Perdata, yang
menyebutkan : "Dengan sepucuk surat di bawah tangan yang
seluruhnya ditulis, diberi tanggal dan ditandatangani oleh pewaris, dapat
ditetapkan wasiat, tanpa formalitas-formalitas lebih lanjut tetapi
semata-mata hanya untuk pengangkatan para pelaksana untuk penguburan,
untuk hibah-hibah wasiat tentang pakaian-pakaian, perhiasan-perhiasan
badan tertentu, dan perkakas-perkakas khusus rumah".
Selain itu, persyaratan untuk dapat melakukan otopsi anatomis juga diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor : 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat
Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh
Manusia. Di mana ketentuan Pasal 5 Peraturan Pemerintah tersebut
menyebutkan :
- Untuk bedah mayat anatomis diperlukan mayat yang diperoleh dari rumah sakit dengan memperhatikan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dan c.
Pasal 2 huruf a dan c Peraturan Pemerintah Nomor : 18 Tahun 1981, menyebutkan :
- a. Dengan
persetujuan tertulis penderita dan atau keluarganya yang terdekat setelah
penderita meninggal dunia, apabila sebab kematiannya belum dapat
ditentukan dengan pasti.
- c. Tanpa
persetujuan penderita atau keluarganya yang terdekat, apabila dalam jangka
waktu 2 x 24 (dua kali duapuluh empat) jam tidak ada keluarga terdekat
dari yang meninggal dunia datang ke rumah sakit.
2. Otopsi Klinis.
Otopsi klinis adalah otopsi yang dilakukan terhadap mayat
seseorang yang menderita penyakit, yang dirawat di rumah sakit tetapi kemudian
meninggal dunia. Otopsi jenis ini dilakukan atas permintaan ahli waris atau
dengan terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari ahli waris. Tujuan
dari otopsi klinik adalah :
- menentukan
penyebab kematian yang pasti.
- menganalisis
kesesuaian antara diagnosis klinis dan diagnosis post mortem, pathogenesis
penyakit, dan lain sebagainya.
Syarat untuk dapat melakukan otopsi klinis juga diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor : 18 Tahun 1981 tersebut, di mana ketentuan Pasal 2
Peraturan Pemerintah tersebut menyebutkan :
- a. Dengan
persetujuan tertulis penderita dan atau keluarganya yang terdekat setelah
penderita meninggal dunia, apabila sebab kematiannya belum dapat
ditentukan dengan pasti.
- b. Tanpa
persetujuan penderita atau keluarganya yang terdekat, apabila diduga
penderita menderita penyakit yang dapat membahayakan orang atau masyarakat
sekitarnya.
- c. Tanpa
persetujuan penderita atau keluarganya yang terdekat, apabila dalam jangka
waktu 2 x 24 (dua kali duapuluh empat) jam tidak ada keluarga terdekat
dari yang meninggal dunia datang ke rumah sakit.
3. Otopsi Forensik.
Otopsi forensik atau medikolegal adalah otopsi yang dilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga meninggal akibat suatu sebab yang tidak wajar untuk kepentingan peradilan. Otopsi jenis ini dilakukan atas permintaan pihak penyidik atau hakim pidana sehubungan dengan adanya penyidikan suatu perkara. Untuk otopsi jenis ini tidak diperlukan persetujuan dari ahli waris. Tujuan dari otopsi forensik atau medikolegal adalah :
- memastikan identitas seseorang yang tidak diketahui atau belum jelas.
- menentukan sebab pasti kematian, mekanisme kematian, dan saat kematian.
- mengumpulkan dan memeriksa tanda bukti untuk penentuan identitas benda penyebab dan pelaku kejahatan.
- membuat laporan tertulis yang obyektif berdasarkan fakta dalam bentuk visum et repertum.
Dasar hukum otopsi forensik adalah sebagai berikut :
1. Pasal 122 ayat (1) Undang-Undang Nomor : 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang menyebutkan :
- (1) Untuk kepentingan penegakan hukum dapat dilakukan bedah mayat forensik sesuai dengan ketentuan peraturan peundang-undangan.
2. Pasal 133 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAPidana), yang menyebutkan :
- (1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lain.
Otopsi forensik dilakukan oleh ahli kedokteran kehakiman atau dokter ahli forensik atau dokter lain apabila tidak ada dokter forensik dan perujukan ke tempat yang ada dokter forensiknya tidak memungkinkan.
- Berdasarkan pengertian antara otopsi dan visum et repertum tersebut, dapat dikatakan bahwa otopsi merupakan bagian dari visum et repertum. Atau dengan kata lain, otopsi merupakan salah satu prosedur yang dilakukan untuk mendapatkan hasil visum et repertum, yaitu visum et repertum dari jenazah atau korban meninggal.
Baca juga : Visum et Repertum : Pengertian Dan Dasar Hukum Visum et Repertum, Kedudukan Visum et Repertum Dalam Proses Perkara Pidana, Serta Perbedaan Antara Visum et Repertum Dan Otopsi
Demikian penjelasan berkaitan dengan pengertian otopsi, jenis dan dasar
hukum otopsi, serta hubungan antara otopsi dengan visum et repertum.
Semoga bermanfaat.