Otopsi : Pengertian Otopsi, Jenis Dan Dasar Hukum Otopsi, Serta Hubungan Antara Otopsi Dengan Visum et Repertum

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :

Pengertian Otopsi. Istilah otopsi atau autopsi berasal dari bahasa Yunani, yaitu "auto" yang berarti sendiri, dan "opsis"yang berarti melihat. Sehingga otopsi dapat diartikan dengan "melihat dengan mata sendiri". Otopsi juga dikenal dengan istilah "necropsy" atau "pemeriksaan post mortem". Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, otopsi diartikan dengan pemeriksaan tubuh mayat dengan jalan pembedahan untuk mengetahui penyebab kematian, penyakit, dan sebagainya atau bedah mayat.

Dalam terminologi ilmu kedokteran, otopsi diartikan sebagai bedah mayat maksudnya suatu pemeriksaan atau penyelidikan yang dilakukan pada tubuh mayat, termasuk organ tubuh dan susunannya pada bagian dalam, setelah dilakukan pembedahan dengan tujuan menentukan sebab kematian baik untuk kepentingan ilmu kedokteran maupun menjawab misteri suatu tindak kriminal. Otopsi juga dapat berarti pemeriksaan kematian atau pemeriksaan terhadap tubuh orang yang sudah meninggal atau mayat, untuk memastikan penyebab kematian, melihat tingkat keparahan penyakit yang diderita, dan mengetahui hasil pengobatan atau pembedahan yang telah dilakukan. Pada umumnya otopsi akan dilakukan terhadap kematian seseorang yang dianggap tidak wajar. Yang dapat melakukan tindakan otopsi adalah  dokter ahli forensik atau ahli patologi yang merupakan seorang dokter medis, yang telah menjadi residen selama 4 tahun di bidang patologi anatomi atau dokter atau ahli lain sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

Baca juga : Alat-Alat Pembuktian Dalam Hukum Acara Perdata

Jenis Otopsi. Otopsi dapat dibedakan menjadi tiga jenis yang didasarkan pada tujuan diadakannya otopsi, yaitu : 

1. Otopsi Anatomis

Otopsi anatomis adalah otopsi yang dilakukan untuk keperluan pendidikan mahasiswa kedokteran. Mayat yang digunakan untuk otopsi jenis ini adalah mayat yang dikirim ke rumah sakit yang setelah disimpan dalam waktu 2 x 24 jam di laboratorium ilmu kedokteran kehakiman tidak ada ahli waris yang mengakuinya. Kemudian mayat tersebut diawetkan di laboratorium anatomi dan disimpan sekurang-kurangnya datu tahun sebelum digunakan untuk praktikum anatomi. Kegiatan otopsi jenis ini diperbolehkan dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, demikian itu berdasarkan ketentuan sebagai berikut :

  • dalam hal warisan yang tidak ada yang mengakuinya maka akan menjadi milik negara setelah tiga tahun. Sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1129 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yang menyebutkan : "Bila setelah lampaunya waktu tiga tahun terhitung dari saat terbukanya warisan itu, tidak ada ahli waris yang muncul, maka perhitungan penutupnya harus dibuat untuk negara, yang berwenang untuk menguasai barang-barang peninggalan itu untuk sementara". 
  • dalam hal seseorang mewariskan mayatnya setelah ia meninggal dunia pada fakultas kedokteran. Sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 935 KUH Perdata, yang menyebutkan : "Dengan sepucuk surat di bawah tangan yang seluruhnya ditulis, diberi tanggal dan ditandatangani oleh pewaris, dapat ditetapkan wasiat, tanpa formalitas-formalitas lebih lanjut tetapi semata-mata hanya untuk pengangkatan para pelaksana untuk penguburan, untuk hibah-hibah wasiat tentang pakaian-pakaian, perhiasan-perhiasan badan tertentu, dan perkakas-perkakas khusus rumah".


Selain itu, persyaratan untuk dapat melakukan otopsi anatomis juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor : 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia. Di mana ketentuan Pasal 5 Peraturan Pemerintah tersebut menyebutkan :

  • Untuk bedah mayat anatomis diperlukan mayat yang diperoleh dari rumah sakit dengan memperhatikan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dan c. 

Pasal 2 huruf a dan c Peraturan Pemerintah Nomor : 18 Tahun 1981, menyebutkan : 
  • a. Dengan persetujuan tertulis penderita dan atau keluarganya yang terdekat setelah penderita meninggal dunia, apabila sebab kematiannya belum dapat ditentukan dengan pasti.
  • c. Tanpa persetujuan penderita atau keluarganya yang terdekat, apabila dalam jangka waktu 2 x 24 (dua kali duapuluh empat) jam tidak ada keluarga terdekat dari yang meninggal dunia datang ke rumah sakit. 


2. Otopsi Klinis.

Otopsi klinis adalah otopsi yang dilakukan terhadap mayat seseorang yang menderita penyakit, yang dirawat di rumah sakit tetapi kemudian meninggal dunia. Otopsi jenis ini dilakukan atas permintaan ahli waris atau dengan terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari ahli waris. Tujuan dari otopsi klinik adalah :

  • menentukan penyebab kematian yang pasti.
  • menganalisis kesesuaian antara diagnosis klinis dan diagnosis post mortem, pathogenesis penyakit, dan lain sebagainya. 


Syarat untuk dapat melakukan otopsi klinis juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor : 18 Tahun 1981 tersebut, di mana ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah tersebut menyebutkan :

  • a. Dengan persetujuan tertulis penderita dan atau keluarganya yang terdekat setelah penderita meninggal dunia, apabila sebab kematiannya belum dapat ditentukan dengan pasti.
  • b. Tanpa persetujuan penderita atau keluarganya yang terdekat, apabila diduga penderita menderita penyakit yang dapat membahayakan orang atau masyarakat sekitarnya.
  • c. Tanpa persetujuan penderita atau keluarganya yang terdekat, apabila dalam jangka waktu 2 x 24 (dua kali duapuluh empat) jam tidak ada keluarga terdekat dari yang meninggal dunia datang ke rumah sakit. 


3. Otopsi Forensik.

Otopsi forensik atau medikolegal adalah otopsi yang dilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga meninggal akibat suatu sebab yang tidak wajar untuk kepentingan peradilan. Otopsi jenis ini dilakukan atas permintaan pihak penyidik atau hakim pidana sehubungan dengan adanya penyidikan suatu perkara.  Untuk otopsi jenis ini tidak diperlukan persetujuan dari ahli waris. Tujuan dari otopsi forensik atau medikolegal adalah :

  • memastikan identitas seseorang yang tidak diketahui atau belum jelas.
  • menentukan sebab pasti kematian, mekanisme kematian, dan saat kematian.
  • mengumpulkan dan memeriksa tanda bukti untuk penentuan identitas benda penyebab dan pelaku kejahatan.
  • membuat laporan tertulis yang obyektif berdasarkan fakta dalam bentuk visum et repertum. 

Dasar hukum otopsi forensik adalah sebagai berikut :

1. Pasal 122 ayat (1) Undang-Undang Nomor : 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang menyebutkan :

  • (1) Untuk kepentingan penegakan hukum dapat dilakukan bedah mayat forensik sesuai dengan ketentuan peraturan peundang-undangan

2. Pasal 133 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAPidana), yang menyebutkan :

  • (1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lain. 

Otopsi forensik dilakukan oleh ahli kedokteran kehakiman atau dokter ahli forensik atau dokter lain apabila tidak ada dokter forensik dan perujukan ke tempat yang ada dokter forensiknya tidak memungkinkan.


Hubungan Antara Otopsi dengan Visum et Repertum. Banyak orang mungkin beranggapan bahwa antara otopsi dan visum et repertum adalah sama. Padahal di antara keduanya tidaklah sama, terdapat perbedaan antara otopsi dan visum et repertum. Secara umum, visum et repertum dapat diartikan sebagai suatu keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter tentang apa yang dilihat dan ditemukan di dalam melakukan pemeriksaan terhadap orang yang luka atau terhadap mayat. 

  • Berdasarkan pengertian antara otopsi dan visum et repertum tersebut, dapat dikatakan bahwa otopsi merupakan bagian dari visum et repertum. Atau dengan kata lain,  otopsi merupakan salah satu prosedur yang dilakukan untuk mendapatkan hasil visum et repertum, yaitu visum et repertum dari jenazah atau korban meninggal.

Baca juga : Visum et Repertum : Pengertian Dan Dasar Hukum Visum et Repertum, Kedudukan Visum et Repertum Dalam Proses Perkara Pidana, Serta Perbedaan Antara Visum et Repertum Dan Otopsi

Demikian penjelasan berkaitan dengan pengertian otopsi, jenis dan dasar hukum otopsi, serta hubungan antara otopsi dengan visum et repertum.

Semoga bermanfaat.