Perkembangan Pidana Mati Di Indonesia Dan Negara-Negara Lain

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Ditulis dalam bentuk makalah oleh : Fahrizal S. Siagian
Mahasiswa Ilmu Hukum, Fakultas Hukum
Universitas Al-Azhar Medan

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Swt. Tuhan Yang Maha Esa. Yang telah memberikan kemudahan kepada penyusun yang pada akhirnya dapat menyelesaikan tugas makalah dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pidana yang berjudul “Perkembangan Pidana Mati di Indonesia dan Negara-Negara lain”. Makalah ini tidak akan terselesaikan tanpa adanya peran dan bantuan serta masukan dari beberapa pihak. Oleh sebab itu, sudah semestinya penyusun mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada : 
  1. Dekan Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Medan, Bapak Warsiman S.H, M.H. 
  2. Kepala Program Studi Ilmu Hukum, Ibu Ervina Sari Sipahutar S.H, M.H. 
  3. Dosen Mata Kuliah Hukum Pidana, Bapak Warsiman S.H, M.H. 
  4. Seluruh dosen yang mengajar di Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Medan. 
  5. Seluruh Keluarga dan teman-teman seperjuangan di Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Medan.

Penyusun menyadari bahwa penulisan makalah ini masih terdapat kekurangan dan kejanggalan.Namun,penyusun mengharapkan dengan adanya makalah ini, dapat memberi secerca manfaat bagi kelangsungan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum Pidana di dalam lingkup masyarakat Indonesia. Atas perhatiannya penulis mengucapkan terima kasih.

Makalah ini berisikan :

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. latar Belakang
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan 
BAB II PEMBAHASAN 
2.1 Pidana mati diterapkan di era modernisasi seperti saat ini
2.2 Pelaksanaan pidana mati di Indonesia dan dunia 
2.3 Pidana mati dalam perspektif HAM di Indonesia dan dunia 
BAB III PENUTUP 
3.1.Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang.
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subyeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum itu melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subyeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.

Berbicara mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) dalam kehidupan demokrasi kita terasa makin mencuat, meski pemahaman terhadapnya belum memuaskan karena banyak konsepsi yang dikembangkan masih dipahami secara beragam mulai dari masyarakat awam hingga kalangan yang 'melek' HAM. HAM yang bersifat kodrati dan berlaku universal itu pada hakikatnya berisi pesan moral yang menghendaki setiap orang baik secara individu ataupun kelompok bahkan penguasa (negara) harus menghormati dan melindunginya.

Pesan moral yang ada, memang belum mengikat atau belum mempunyai daya ikat secara hukum untuk dipaksakan pada setiap orang. Ketika ia dimuat (dicantumkan dan ditegaskan) melalui berbagai piagam dan konvensi internasional, maka semua orang harus menghormatinya. Paling tidak negara (sebagai yang bertanggung jawab dalam rangka penghormatan dan pelaksanaan HAM) yang ikut terlibat dalam atau sebagai peserta konvensi dan terlibat dalam penandatanganannya, juga terhadap piagam yang telah disetujui bersama itu, akan terikat dan berkewajiban untuk meratifikasinya ke dalam peraturan perundangan masing-masing negara bersangkutan. Dalam proses demikian, HAM telah diakomodasi ke dalam hukum. Dalam hal ini berbicara agar tercapainya penegakan hukum dalam suatu negara di kala kegentingan yang melanda, maka semua pihak mencari jalan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dengan sebuah cara akurat.

Cara tersebut yaitu dengan suatu hukuman atau balasan atas perbuatan yang telah diperbuatnya. Hukuman yang paling berat ialah hukuman mati atau pidana mati. Maka timbul persoalan baru akibat penerapan hukuman mati atau pidana mati tersebut. Karena hukuman mati pada hakikatnya menghilangkan nyawa orang lain dan divonis sudah melanggar HAM. Maka timbul polemik yang sangat hangat saat ini di kalangan bangsa Indonesia dan negara-negara lain. Maka dari itu atas segala polemik yang terjadi, kami akan ulas pada bagian selamjutnya dari makalah ini.

1.2. Rumusan Masalah.
a. Mungkinkah pidana mati diterapkan di era modern seperti saat ini ?
b. Bagaimana pelaksanaan pidana mati di Indonesia dan dunia ?
c. Bagaimana pidana mati dalam perspektif HAM di Indonesia dan dunia? 

1.3. Tujuan Penulisan.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :  
  • a. Untuk menjawab apakah mungkin pidana mati terus diterapkan di era modern seperti saat ini. 
  • b. Agar mengetahui bagaimana pelaksanaan pidana mati di Indonesia dan dunia. 
  • c. Agar mengetahui pidana mati dalam perspektif HAM di Indonesia dan dunia.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pidana Mati di Era Modern Saat Ini.
Pidana mati merupakan suatu balasan atau hukuman yang diberikan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana berat. Bentuk hukuman balasannya berupa eksekusi yang mengakhiri nyawa si pelakunya dan tidak memberikan kesempatan hidup lagi bagi pelakunya. 

Pidana mati dijatuhkan setelah melewati proses legalistik dan prosedural. Proses panjang tersebut yaitu dari tingkat banding, kasasi, hingga tahap peninjauan kembali (PK) yang diberikan oleh Presiden. Presiden juga berhak memberikan grasi, amnesti, rehabilitasi dan abolisi bagi para tersangka. Dan pidana mati membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Hukuman mati akan dilaksanakan setelah permohonan grasi tersangka ditolak oleh pengadilan, dan juga adanya pertimbangan grasi oleh presiden.

Tersangka dan anggota keluarga dari tersangka akan diberitahukan mengenai hukuman mati dalam waktu 72 jam sebelum eksekusi. Biasanya, pelaksanaan hukuman mati dilakukan di Nusakambangan. Para tersangka akan dibangunkan di tengah malam dan dibawa ke lokasi yang jauh (dan dirahasiakan) untuk dilakukan eksekusi oleh regu tembak, metode ini tidak diubah sejak 1964.

Pidana mati merupakan sarana untuk melindungi kepentingan umum yang bersifat kemasyarakatan yang dibahayakan oleh kejahatan dan penjahat yang sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Sesuai dengan perkembangan hukum pidana yang modern yang menyusun pidana untuk melindungi kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan yang menjadi korban dari kejahatan dan penjahat. Roeslan Saleh mengatakan : "Pidana mati merupakan jenis pidana yang yang terberat menurut hukum positif kita. Bagi kebanyakan negara soal pidana mati itu tinggal mempunyai arti kulturhistoris". Dikatakan demikian, karena kebanyakan negara-negara tidak mencantumkan pidana mati ini lagi di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tersangka akan ditutup matanya lalu diposisikan di daerah berumput, juga diberikan pilihan tersangka untuk duduk atau berdiri.

Regu tembak menembak jantung tersangka dari jarak 5 hingga 10 meter, hanya 3 senjata yang berisi perluru dan sisanya tidak sama sekali. Jika tersangka tidak tewas, maka diizinkan untuk menembak tersangka di kepalanya dengan izin dari komandan regu tembak. Dan penjelasan mengenai teknis pelaksanaan hukuman mati akan dipaparkan pada pembahasan berikutnya.

Menurut Prof. Achmad Sodiki, beliau memberikan sebuah pernyataan bahwa hakikat hukum itu pada dasarnya untuk memanusiakan manusia. Dari pernyataan beliau itu dapat dihubungkan dengan polemik pidana mati di Indonesia dan dunia saat ini. Hukum itu dibuat untuk memanusiakan manusia dan hukum itu bukan harus mengorbankan manusia. Maka dalam hal ini pidana mati tidak menghargai kemanusiaan. 

Pemerintah telah melakukan eksekusi terhadap beberapa terpidana mati yang terbagi kedalam 2 gelombang yakni gelombang 1 dan 2. Namun pemerintah ingin melanjutkan eksekusi gelombang 3. Akan tetapi muncul pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia dan dunia. Pihak yang pro memiliki pemikiran bahwa pidana mati (eksekusi mati) itu dapat memberikan efek jera. Pidana mati
merupakan bentuk keseimbangan antara derita si Korban dan pelakunya. Adapula pihak-pihak yang kontra menempatkan asas kemanusiaan paling utama dan yang dieksekusi itu tidak memiliki akses terhadap kekuasaan.

Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, bapak Dr. Mahmud Mulyadi S.H, M.Hum mengatakan bahwa para pelaku hukuman mati yang sebenarnya mencari-cari penyakit sendiri. Karena sudah ada aturan jelas dan tegas bahwa siapa yang melanggar aturan yang sudah dibuat tadi akan di jatuhi hukuman mati. Sudah ada regulasi yang disepakati bersama oleh para stake
holder. Misalkan si-A menyelundupkan dan menyalahgunakan narkoba serta menghasut orang lain untuk memakai narkoba sehingga rusak generasi muda bangsa. Hukum ataupun aturan yang melarang penyelundupan dan menyalahgunakan narkoba sudah ada dibuat sebelumnya dan mereka sudah mengetahui ada larangan yang disertai hukuman berat. Namun mereka tetap tidak menghiraukan hukuman ataupun larangan tersebut. Maka pentinglah hukuman mati tersebut diterapkan.

Pidana mati (Hukuman mati) merupakan bentuk sanksi yang berkembang sejak puluhan abad lalu. Hukum itu fleksibel dan selalu berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan berevolusi. Maka dalam hukum modern, bukan sanksi hukum yang dapat digunakan untuk menegakkan hukum. Sanksi hukum bukan ajang balas dendam tetapi menjadi sarana dalam memperbaiki dan mengembangkan kualitas hidup seseorang yang melakukan kejahatan. Jika pemerintah tetap mengeksekusi mati para tersangka, maka pemerintahan itu bisa disebut negara membuat pembunuhan yang direncanakan. 

Namun kalau dikaji kembali akan sependapat dengan apa yang dikatakan oleh pakar hukum Pidana Universitas Sumatera Utara (USU), bapak Dr. Mahmud Mulyadi S.H, M.Hum bahwa hukuman mati dijatuhkan karena para pelaku yang mencari-cari penyakit sendiri. Hukum sudah dibuat sedemikian rupa jauh-jauh hari sebelum suatu kejahatan itu terjadi. Dari pemahaman di atas samalah artinya bahwa para pelaku ingin membunuh dirinya sendiri dengan jeratan hukum pidana mati. Maka tak etis kalau banyak orang yang mengatakan bahwa hukuman mati merampas nyawa orang lain.

Pihak yang pro menyebut hukuman mati sebagai bentuk keseimbangan antara derita yang dialami korban dan sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku. Menurut Antonius motivasi dalam penerapan hukuman mati yaitu balas dendam. Mestinya motivasi dalam menjatuhkan sanksi hukum itu menghargai kemanusiaan. “Hukum itu memanusiakan manusia. Membatasi kekuasaan agar
tidak sewenang-wenang".

Sesungguhnya hukum pidana itu mempunyai suatu karakteristik hukum bahwa segala perbuatan kejahatan akan dibalas dengan hukuman. Karena hukum pidana berbicara hukum publik yakni apabila terjadi kejahatan dan atau pelanggaran pidana maka yang dilukai adalah negara. Beda halnya dengan hukum privat yakni hukum yang mengatur hubungan antara warga negara dengan warga negara. Dan karakteristiknya juga berbeda. Letak perbedaannya yaitu apabila terjadi suatu kejahatan dan pelanggaran dalam hukum privat maka dapat diselesaikan antara subjek hukum yang bertikai itu saja.

Hukuman itu dijatuhkan karena ada hal ikhwalnya (penyebabnya), demikian juga dengan pidana mati. Merampas nyawa seseorang anak manusia karena perbuatan-perbuatan fatal yang dilakukannya. Perbuatannya menyebabkan kehilangan nyawa orang lain karena dikontaminasi dan dipengaruhinya dengan hal-hal yang tidak baik. Misalnya dalam kasus pidana mati gembong narkoba kelas kakap yang telah membunuh masa depan generasi penerus bangsa yang katanya merupakan tonggak bangsa masa depan. Apabila generasi mudanya rapuh maka runtuhlah suatu bangsa itu. Akibat perbuatannya itu 40 orang meninggal dunia setiap hari akibat penyalahgunaan narkoba yang sungguh memprihatinkan tersebut. Deputi Pemberantasan Badan Narkotika Nasional (BNN) Republik Indonesia, Irjen Pol Arman Depari menyebutkan, saat ini sekitar 2,2 persen dari total 262 juta jiwa penduduk Indonesia, telah terkontaminasi narkoba. Padahal secara internasional, suatu negara dinyatakan darurat narkoba jika 2 persen penduduknya telah mengkonsumsi narkoba. Hal ini sungguh
memprihatinkan dan pantaslah para pelaku untuk dijatuhi pidana mati.

Di era modern saat ini tidaklah perlu mengkaji apakah masih etis pidana mati diterapkan saat sekarang ini atau tidak. Yang terpenting adalah agar generasi suatu bangsa itu terjaga dan tidak dipengaruhi oleh narkoba. Ditinjau dari pola fikir manusia sekarang ini yang semakin kaya akan Ilmu Pengetahuan, dan semakin cerdas tentu mempengaruhi sikap kepatuhan terhadap hukum. Semakin tinggi ilmu seseorang maka akan memanfaatkan ilmunya untuk meloloskan diri dari suatu jeratan hukum. Akibatnya hukuman pun tidak berjalan dengan baik. Maka tidak cocok menerapkan hukuman berupa pidana penjara saja. Maka pantaslah hukuman mati diberikan kepada para pelaku agar mereka tahu bahwa hukum suatu bangsa itu memang tegas dan benar adanya. Kalau dipertanyakan apakah hukuman mati akan memberikan efek jera terhadap perbuatan kejahatan ? Ya tentu jawabannya akan memberikan efek jera pastinya.

Karena khususnya kita berbicara mengenai bangsa Indonesia yang darurat narkoba ini tidak cocok apabila menerapkan hukuman berupa pidana penjara saja diera darurat narkoba saat ini. Sekalipun Pidana mati tersebut melanggar HAM. Seharusnya para Penggiat HAM jangan melihat sepihak saja.

Namun, harus melihat dari dua pihak. Penggiat HAM jangan melihat hak azasi si terpidana mati saja. Namun, seharusnya mereka itu melihat hak azasi setiap orang yang menjadi korban pengaruh, ataupun kontaminasi si terpidana mati tadi yang pada akhirnya meregang nyawa, seperti contoh kasus yang telah dibahas diatas tentang Narkoba. 40 jiwa tiap hari meregang nyawa akibat narkoba. Hal ini yang sangat berbahaya sekali bagi Indonesia.

Kalau lah meninjau dari aspek-aspek yang diakibatkan oleh si terpidana mati kasus narkoba terhadap seseorang yaitu sebagai berikut : 
  1. Pertama, narkoba akan merusak kejiwaan seseorang tadi, menjadi kecanduan yang luar biasa dan merusak sistem syarafnya. 
  2. Setelah rusak kejiwaan seseorang tadi, maka masa depannya pun akan hancur sudah. 
  3.  Akhirnya lambat laun setelah kecanduan luar biasa, semua akan dilakukan untuk mendapatkan asupan narkoba tiap saat. Ketika asupan itu terhenti maka bisa mengganggu keseimbangan tubuhnya. Dan pada akhirnya akan over dosis yang menyebabkan seseorang meregang nyawa.

Jadi, jikalau Hak Azasi Manusia (HAM) terus di sanjung-sanjung, maka semua penegakan hukum akan melanggar HAM. Kalau demikian terus maka penegakan hukum tidak lah efektif. Biarlah hukum itu ditegakkan karena semuanya demi masa depan generasi muda bangsa dan demi terlaksananya tujuan hukum yaitu demi tercapainya kepastian, kemanfaatan, dan keadilan hukum. Karena kodrat dari bangsa Indonesia ialah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat) bukan berdasarkan kekuasaan (matchstaat). Jadi penegakan hukumitu harus benar-benar berjalan dengan semestinya.

2.2. Pelaksanaan pidana mati di Indonesia dan Dunia.
2.2.1 Pelaksanaan pidana mati di Indonesia.
Setiap negara yang masih menganut hukuman mati, dalam menetapkan hukuman mati tersebut harus ada dasar hukum dalam melaksanakan hukuman mati bagi terpidana mati. Di Indonesia, pengaturan pidana mati ini tersebar dalam berbagai undang-undang. Undang-Undang pertama di Indonesia yang mencamtumkan pidana mati adalah KUHP. KUHP diterapkan di Indonesia pada masa Kolonial Belanda, tahun 1918.

Belanda sendiri telah menghapuskan hukuman mati pada 1983. Ketentuan mengenai ancaman hukuman mati dicantumkan baik di dalam KUHP maupun di luar KUHP. Mulai dari ketentuan dalam melaksanakan pidana mati hingga teknis pelaksanaan hukuman tembak mati. Berikut ketentuan-ketentuan mengenai hukuman mati serta landasan pelaksanaan hukuman mati tersebut.

Di Indonesia tata cara pelaksanaan pidana mati, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hanya diatur dalam satu pasal saja yaitu dalam Pasal 11 yang oleh R. Soesilo dirumuskan sebagai berikut : Pelaksanaan pidana mati yang dijatukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati, menurut ketentuan-ketentuan dalam
Undang-Undang No. 2/Pnps/Tahun 1964.

Sebelum adanya ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang No.2/Pnps/Tahun 1964, pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat penggantungan, dengan menggunakan sebuah jerat di leher terhukum dan mengikatkan jerat itu pada tiang gantungan dan menjatuhkan papan tempat orang itu berdiri. Pelaksanaan pidana mati sebelum adanya Undang-Undang No.2/Pnps/1964 adalah dengan menggantung si terpidana. Teknisnya adalah algojo menjeratkan tali yang terikat ditiang gantungan ke leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri sehingga menjadi tergantung. Namun sekarang mekanisme eksekusi mati di Indonesia sejak tahun 1964 melalui sistem tembak mati oleh para eksekutor dari Kepolisian Republik Indonesia (POLRI).

2.2.2 Pelaksanaan pidana mati di Dunia.
Praktek hukuman mati bagi pelaku kejahatan dihampir semua negara sudah banyak yang ditinggalkan. Salah satunya di negara-negara Eropa sebagian besar sudah meninggalkan sistem hukuman mati dan mengecam keras negara-negara yang masih menerapkan hukuman mati. Hanya tinggal beberapa saja yang masih memberlakukan hukuman mati untuk kasus-kasus kejahatan yang dianggap sebagai pelanggaran berat.

Beberapa negara di dunia yang masih menerapkan hukuman mati (pidana mati) antara lain sebagai berikut :

a. Hukuman mati di China.
China merupakan negara yang menerapkan hukuman mati di dunia. Di dalam KUHP China mengatur mereka yang menawarkan dan menerima suap bisa dihukum. Hukuman mati bagi penerima suap dan seumur hidup bagi pemberi suap. China mempunyai ideologi komunis yang sangat loyal terhadap pemerintah. Bagi siapa saja yang menentang kebijakan rezim pemerintah maka akan dikenakan hukuman dan bahkan hukuman mati. Apalagi tindak pidana yang berkaitan dengan keuangan, misalnya korupsi. China masih memberlakukan hukuman mati dengan menembak para koruptor. Karena koruptor dianggap kejahatan berat yang telah merugikan negara dan rakyat.

b. Hukuman mati di Amerika Serikat.
Di Amerika Serikat juga melakukan hal yang sama untuk kejahatan yang tak diampuni. Hukuman mati di Amerika Serikat sudah dijalankan sebelum negara tersebut resmi terbentuk. Sejak zaman kolonial tahun 1608, di wilayah yang nantinya akan bersatu di bawah panji Amerika Serikat, sekitar 16.000 orang dihukum mati secara legal. Itu belum termasuk tahanan yang dieksekusi selama perang saudara. Cara hukuman mati (pidana mati) di Amerika Serikat lebih modern dan memanfaatkan Ilmu Pengetahuan dan kemajuan teknologi. Yaitu dengan cara cara suntik mati,dan tidak lagi dengan kursi listrik.

Menurut mantan Presiden Amerika Serikat, George Bush : “tugas saya adalah menjamin agar undang-undang negara ini dipatuhi. Saya setuju hukuman mati dijalankan. Pidana mati dapat menyelamatkan nyawa manusia”.

c. Hukuman mati di Arab Saudi.
Mungkin Kerajaan Arab Saudi yang masih memberlakukan hukuman mati dengan cara memenggal atau memancung kepala. Inilah dirasakan kurang manusiawi dengan cara hukuman mati dengan cara ditembak, distrum listrik atau disuntik. Apalagi kebanyakan yang dihukum mati bukan warga Arab Saudi, tapi lebih banyak para imigran atau tenaga kerja asing, seperti dari Indonesia yang dialami TKW asal Bekasi, Jawa Barat, Ruyati (54) yang dihukum pancung, Sabtu 18 Juni 2011 lalu. Hukum mati di Arab Saudi diberlakukan dengan dalih menjalankan Syriat Islam. Bahwa setiap pembunuh harus dihukum dengan dibunuh pula atau Qisas. Makanya di sini hukuman pancung lebih dikenal dengan hukum Qisas. Pasca pemancungan terhadap Ruyati sendiri menurut sebagian pengamat sosial, menjadi perbincangan dari mulut ke mulut di antara sesama TKI.

Biasanya Qisas sendiri dilaksanakan setiap hari Jum'at, khususnya seusai sholat Jum'at. Setiap pelaksanaan dilakukan dengan begitu ketat penjagaan ratusan tentara dan polisi. Orang yang akan dihukum diberdirikan di atas panggung yang dibuat setinggi setengah meter. Sebelum dipancung akan dibacakan dakwaan, asal kota dan negaranya. Setelah itu dibacakan do'a dan dipenggal dengan pedang khusus yang sangat tajam agar cepat prosesnya. Usai pelaksanaan di tempat itu juga disiapkan mobil pemadam kebakaran. Gunanya itu untuk menyemprotkan air agar ceceran darah cepat bersih seperti tidak ada apa-apa.

Hampir di semua kota besar di Arab Saudi memberlakukan hukum qisas untuk kasus pembunuhan dan bandar narkoba. Kalau pemakai narkoba tidak di qisas, kecuali pengedarnya saja. Ini diberlakukan di kota Makkah, Madinah, Jeddah, Damam, Thaif dan kota lainnya.
Di Jeddah sendiri biasa disiapkan tempat Qisas di sebuah lapangan di sekitar daerah Al Balad. Di Al Balad sendiri merupakan kawasan komersial dan perdagangan yang tak jauh dari pantai. Karena daerah pusat perekonomian Arab Saudi maka pengamanan serta penegakan hukum ekstra ketat dilakukan di Al Balad.

Kalau dahulu di Makkah, Qishos akan dilaksanakan tak jauh dari Masjidil Haram. Sejumlah mukimin lainnya menyatakan, justru dengan hukum qisas yang diberlakukan di Arab Saudi membuat rasa aman penduduknya, termasuk para pendatang. Karena hampir sebagian besar aman dari pelaku kejahatan, walau tidak dipungkiri masih ada kasus kriminal kecil lainnya.

Ya dalam beberapa hal kita sepakat Qisas ini untuk membuat efek jera yang efektif. Saya setuju hukuman mati seperti di China yang diberlakukan terhadap koruptor. Kalau di Indonesia membunuh itu seperti membunuh ayam. Hampir tiap hari ada pembunuhan, tetapi pelakunya tidak jera, karena hukum yang diterapkan kurang tegas apalagi kasus korupsi.

d. Hukuman mati di Malaysia.
Di Malaysia, kaedah pelaksanaan hukuman mati adalah menerusi teknik gantung. Kesalahan membunuh dengan niat, mengedar dadah melebihi jumlah yang ditetapkan dan kesalahan bersabit, pemilikan senjata api adalah di antara yang boleh membawa kepada hukuman gantung sampai hukuman mati. perbuatan Pemerintah Malaysia menindak-lanjuti pernyataan Sekjen PBB dengan pengumuman bahwa mereka berniat menghapus hukuman mati. Sekitar 1.200 orang diperkirakan sudah divonis mati di Malaysia, sebagai hukuman untuk pembunuhan, perdagangan narkoba dan pengkhianatan. Parlemen akan mempertimbangkan RUU baru ini pada sesi sidang mendatang.

Dalam sistem perundangan di Malaysia seseorang itu akan melalui beberapa peringkat pembicaraan terlebih dahulu sebelum hukuman mati dilaksanakan. Peringkat pertama ialah hukuman oleh Mahkamah Tinggi diikuti Mahkamah Rayuan dan terakhir sekali Mahkamah Persekutuan. Sekiranya ketiga peringkat Mahkamah ini memutuskan bersalah terhadap tertuduh, maka satu rayuan pengampuan terhadap kesalahan akan dilakukan dan dikemukakan di hadapan Yang Di Pertua Agong atau Duli Yang Maha Mulia Sultan atau Yang Di Pertua Negeri, bergantung di mana kesalahan itu dilakukan. Keputusan yang diputuskan ini adalah dianggap muktamad dan sekiranya hukuman itu dikekalkan, maka mahkamah akan memerintahkan supaya Jabatan Penjara menjalankan hukuman gantung sampai hukuman mati kepada pesalah. 

Berikut merupakan Grafik Eksekusi mati di seluruh dunia pada 2017.



2.3. Pidana Mati dalam Perspektif HAM di Indonesia dan Dunia.
2.3.1. Pidana Mati dalam perspektif HAM di Indonesia.
Hak Azasi Manusia merupakan suatu hak yang dimiliki oleh setiap manusia sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang melekat pada dirinya sejak ia dilahirkan kemuka bumi dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun.

Secara konseptual HAM merupakan hak asasi yang diberikan tuhan kepada manusia, yang oleh karenanya dia bersifat universal dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Hak hidup sebagai sebuah HAM, dikemukakan dalam Pasal 3 UDHR, Pasal 6 ICCPR dan terakhir ialah second protocol dari ICCPR tentang penghapusan hukuman mati. Kekuatan mengikat dari masing-masing instrumen hukum internasional bagi Indonesia adalah berbeda. Baik UDHR maupun ICCPR memiliki kekuatan mengikat bagi Indonesia sedangkan second protocol dari ICCPR tidak mengikat bagi Indonesia.

Hak hidup dalam hukum nasional Indonesia juga merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dilindungi dan tercantum dalam Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 4 UU Nomor 39/1999. Hal ini juga terdapat pada Pasal 33 ayat (2) UU Nomor 39/1999 yang berbunyi: “Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa”.

Sebagai sebuah hak asasi, hak untuk hidup telah memiliki dasar hukum yang kuat dan berlaku di dalam negara Indonesia, namun demikian persoalan hak hidup jika dipersandingkan dalam konteks penghapusan hukuman mati merupakan persoalan yang rumit dan kompleks bagi Indonesia. Karena hukuman mati sangat terkait dengan doktrin keagamaan dan dimensi budaya, hampir semua agama dunia memperbolehkan hukuman mati dengan beberapa persyaratan yang ketat. Kemudian dalam konteks budaya, sebagian besar masyarakat Indonesia masih memiliki budaya vendeta (dendam) yang kuat terkait dengan beberapa kasus kesusilaan, kehormatan keluarga dan lain-lain. Seringkali kita masih melihat teriakan tuntutan hukuman mati dari keluarga korban terhadap pelaku kejahatan, sehingga potensi aksi vigilantisme (main hakim sendiri) menjadi mungkin jika pembalasannya tidak setimpal (dihukum mati) karena negara dianggap tidak mampu memberikan keadilan bagi korban. Dalam konteks ini isu penghapusan hukuman mati menjadi sebuah perdebatan yang alot di Indonesia.
Oleh karenanya menempatkan hak hidup dalam konteks Indonesia tidak harus dipandang secara absolut dengan menyatakan hukuman mati bertentangan dengan hak asasi manusia (hak hidup) dan karenanya harus dihapuskan. Namun juga harus dikaitkan dengan dimensi budaya masyarakat yang ada, dalam posisi seperti ini maka sikap yang dapat diambil ialah dengan menyatakan bahwa hak hidup dapat dicabut oleh negara selama si terpidana telah melalui sebuah proses hukum yang adil dan berimbang. Hukuman selayaknya tidak diberikan melebihi kesalahan/kerusakan yang telah diperbuat oleh terpidana. Oleh karenanya, membatasi pidana mati hanya untuk menghukum kejahatan-kejahatan tertentu yang dianggap luar biasa (extra ordinary crimes), merupakan sebuah pilihan politik kriminal yang bijak.

Selain hal tersebut dalam perspektif HAM, hukuman mati yang telah melalui proses peradilan yang adil dan berimbang menjadi benar jika ditilik berdasarkan Pasal 6 ICCPR dan Pasal 28 I ayat (5) UUD 1945. Pasal 6 ICCPR menyatakan, bahwa pidana mati dimungkinkan selama si terpidana telah
mengikuti proses peradilan yang adil dan berimbang. Kemudian dalam Pasal 28 I ayat (5) menyatakan bahwa keseluruhan hak asasi yang terdapat dalam UUD 1945 lebih lanjut diatur di dalam peraturan perundang-undangan. Dari kedua aturan tersebut hal yang dapat disimpulkan negara tetap memiliki kewenangan untuk menerapkan hukuman mati namun dengan syarat bahwa negara menjamin bahwa proses peradilan tersebut telah berjalan secara adil dan berimbang. Jika negara tidak dapat menjamin proses peradilan pidana mati dilakukan secara adil dan berimbang, maka yang akan terjadi ialah sebuah extra judicial killing (pembunuhan diluar sistem hukum), dalam perspektif HAM extra judicial killing bertentangan dengan HAM dan oleh karenanya merupakan pelanggaran HAM.

2.3.2. Pidana mati dalam perspektif HAM di Dunia.
Bentuk pidana ini merupakan hukuman yang dilaksanakan dengan merampas jiwa seseorang yang melanggar ketentuan undang-undang. Pidana ini  juga merupakan hukuman tertua dan paling kontroversial dari berbagai bentuk pidana lainnya. Tujuan diadakan dan dilaksanakannya hukuman mati supaya masyarakat memperhatikan bahwa pemerintah tidak menghendaki adanya gangguan terhadap ketentaraman yang sangat ditakuti oleh umum.

Seperti halnya di Indonesia, Pidana mati secara universal di dunia juga menjadi perbincangan hangat masyarakat dunia. Seperti yang diatur di dalam Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia (DUHAM) tahun 1945. Jika dikaji lebih mendalam sesuai dengan ketentuan DUHAM, terdapat beberapa pasal didalam DUHAM yang tidak memperbolehkan hukuman mati, antara lain: Berdasarkan Pasal 3 "Setiap orang berhak atas kehidupan, kemerdekaan, dan keamanan pribadi ”. Bentuk yang paling ekstrim dari pelanggaran hak untuk hidup ini ialah pembunuhan atau melukai jasmai atau rohani dari seseorang ataupun dari kelompok ( Leah Levin, 1987: 45). Hukuman mati jelas telah melanggar pasal ini, dimana orang yang dijatuhi hukuman mati telah dirampas kehidupannya, kemerdekaannya, dan keamanan pribadinya. Bagaimanapun juga hukuman mati adalah hukuman yang sangat melanggar hak untuk hidup bagi manusia sebagai makluk ciptaan Tuhan. Dapat dilihat banyak orang yang telah dijatuhi hukuman mati, antara lain koruptor di China, Saddam Hussein, ataupun lainnya. Namun seperti kasus Rwanda dan Yugoslavia pelaku pelanggaran HAM hanya diganjar dengan hukuman maksimal pidana seumur hidup, karena hukuman mati di jaman modern ini mulai ditinggalkan oleh negara-negara di dunia, meskipun masih ada beberapa negara yang masih melaksanakannya dengan berbagai cara, seperti digantung, ditembak, dan disuntik. Bagaimanapun caranya hukuman mati tetap saja melukai diri dan mengambil hak hidup dari seseorang.  Jika pidana mati ditinjau menurut Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil politik yaitu Pasal 6 ayat (1) Pada setiap insan manusia melekat hak untuk hidup. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorangpun insan manusia yang secara gegabah boleh dirampas kehidupannya. Seperti halnya dijelaskan pada Pasal 3 DUHAM bahwa pelaksanaan eksekusi mati, telah melanggar pasal 6 ayat (1), eksekusi mati pada dasarnya menimbulkan kesakitan fisik dan dirampasnya hak hidup dari seseorang, dan ini yang bertentangan dengan Pasal 6 ayat (1) ICCPR dan Pasal 3 DUHAM. Meskipun banyak negara belum menghapuskan hukuman mati antara lain Indonesia, Cina dan negara Irak belum menghapuskan hukuman mati, yang menjadi permasalahan adalah tidak adanya pemenuhan dan pengaturan yang jelas terhadap pelaksanaan pidana hukuman tersebut baik itu dalam proses penangkapan maupun dalam pelaksanaan pemeriksaan di persidangan, sehingga hal tersebut bertentangan dengan konsep the rule of law di mana terdapatnya pengaturan yang jelas baik itu persamaan kedudukan di muka hukum dan juga terdapatnya peradilan yang bebas dan tidak memihak yang berimberimplikasi kekuasaan kehakiman yang merdeka. Pasal 6 ayat (2) Kovenen Internasional Tentang Hak Sipil Politik menyatakan bahwa Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusannya dapat diberikan hanya untuk kejahatan yang paling berat, sesuai dengan undang-undang yang berlaku pada waktu kejahatan demikian dilakukan, dan tanpa melanggar suatu ketentuan dari Kovenan ini dan Konvensi Tentang Pencegahan Dan Penghukuman Kejahatan Pemusnahan (suku) Bangsa. Hukuman ini hanya boleh dilaksanakan dengan putusan terakhir dari pengadilan yang berwenang. Lebih lanjut Pasal 6 ayat (4) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil Politik mengatur bahwa Seseorang yang telah dihukum mati harus mempunyai hak untuk memohon pengampunan atau keringanan hukuman. Amnesti, pengampunan, atau keringanan hukuman mati dapat diberikan dalam segala bab. Dalam hal ini menurut uraian diatas penulis mencoba berpendapat dengan memperhatikan
beberapa aspek, karena dalam memahami suatu peraturan hendaknya diperhatikan aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis dalam dilakukannya ataupun diterapkannya pidana mati, meskipun dalam HAM hukuman mati dilarang karena tidak sesuai dengan Pasal 3 DUHAM dan juga banyak dari negara di dunia yang telah menghapuskan hukuman mati.

Di samping pengaturan tentang hak dasar yaitu hak untuk hidup yang diatur dalam DUHAM tersebut yang dalam hal ini dihubungkan dengan hukuman mati, terdapat pengecualian terhadap pelaksanaan hak tersebut yaitu dengan adanya pemahaman mendalam terhadap adanya derogable rights, yaitu dalam hal yang pertama ”a public emergency which treatens the life of nation” dapat dijadikan dasar untuk membatasi pelaksanaan hak-hak kebebasan dasar, dengan syarat bahwa kondisi keadaan darurat (public emergency) tersebut harus diumumkan secara resmi (be officially proclaimed), bersifat terbatas serta tidak boleh diskriminatif. (Muladi, 2004 : 101). Hal tersebut diatur secara limitatif dalam Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik, dalam Pasal 4 ayat (1) ICCPR menyatakan, dalam keadaan darurat umum yang mengancam kehidupan bangsa dan terdapatnya keadaan darurat tersebut telah diumumkan secara resmi, negara-negara pihak pada kovenan ini dapat mengambil upaya-upaya yang menyimpang (derogate) dari kewajiban mereka berdasarkan kovenan ini, sejauh hal itu dituntut oleh situasi darurat tersebut, dengan ketentuan bahwa upaya-upaya tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban negara-negara pihak itu menurut hukum internasional, dan tidak menyangkut diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dan asal-usul sosial, sehingga vonis mati yang dijatuhkan terhadap Saddam tidak bertentangan dengan Pasal 3
DUHAM, karena kejahatan yang dilakukan adalah kejahatan HAM berat dan memenuhi ketentuan Pasal 4 ICCPR. 

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
1. Penerapan pidana mati di era modern seperti saat ini. Sesungguhnya hukum pidana itu mempunyai suatu karakteristik hukum bahwa segala perbuatan kejahatan akan dibalas dengan hukuman. Karena hukum pidana berbicara hukum publik yakni apabila terjadi kejahatan dan atau pelanggaran pidana maka yang dilukai adalah negara. Maka di era modern saat ini sangat perlu sebuah hukum yang kuat dan tegas. Seiring dengan perkembangan IPTEK, manusia sekarang berusaha menggunakan ilmu pengetahuan dan kemampuan teknologi di era globalisasi saat ini untuk meloloskan diri dari jeratan hukum. 

2. Pelaksanaan pidana mati di Indonesia dan Dunia. 
  • Di Indonesia tata cara pelaksanaan pidana mati, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hanya diatur dalam satu pasal saja yaitu dalam Pasal 11 yang oleh R. Soesilo dirumuskan sebagai berikut : Pelaksanaan pidana mati yang dijatukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati, menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang No. 2 (Pnps) Tahun 1964. 
  • Pelaksanaan pidana mati di Indonesia masih diberlakukan walaupun menghadapi pro dan kontra. Menurut survey Lembaga Hak Azasi Manusia, bahwa Indonesia menjadi negara yang paling banyak melakukan hukuman mati. 
Pidana mati di beberapa negara antara lain : 
  • Pidana mati di Arab Saudi selalu berdasarkan syariat Islam, yakni hukum pancung, dan hukuman gantung. 
  • Pidana mati di China tetap dilakukan karena siapapun yang menghambat program pemerintah apalagi mengancam kepentingan rakyat, maka diganjar dengan hukuman pidana mati. 
  • Pidana mati di Amerika Serikat dilakukan seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Yaitu dengan hukuman suntik mati, dan tidak lagi menggunakan kursi listrik. 
  • Pidana mati di Malaysia berdasarkan konstitusi Malaysia yang berlaku. Dalam sistem perundangan di Malaysia seseorang itu akan melalui beberapa peringkat pembicaraan terlebih dahulu sebelum hukuman mati dilaksanakan. Peringkat pertama  ialah hukuman oleh Mahkamah Tinggi diikuti Mahkamah Rayuan dan terakhir sekali Mahkamah Persekutuan. 
  • Pidana mati di Eropa sebagian besar sudah ditinggalkan dan mengecam negara-negara yang masih menerapkan hukuman mati.
3. Pidana Mati dalam Perspektif HAM di Indonesia dan Dunia. 
  • Pidana mati di Indonesia sesuai dengan perspektif HAM bahwasanya hukuman mati di Indonesia bertentangan dengan hak-hak yang secara mutlak dan muhkamah dimiliki seseorang anak manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun dan tercantum di dalam UUD 1945 yaitu tepatnya pada pasal 28 I. 
  • Pidana mati dalam perspektif HAM di Dunia Pidana mati secara universal di dunia juga menjadi perbincangan hangat masyarakat dunia, seperti yang diatur di dalam Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia (DUHAM) tahun 1945, antara lain: Berdasarkan Pasal 3 ”Setiap orang berhak atas kehidupan, kemerdekaan, dan keamanan pribadi”. Bentuk yang paling ekstrim dari pelanggaran hak untuk hidup ini ialah pembunuhan atau melukai jasmai atau rohani dari seseorang ataupun dari kelompok ( Leah Levin, 1987: 45). Hukuman mati jelas telah melanggar pasal ini, dimana orang yang dijatuhi hukuman mati telah dirampas kehidupannya, kemerdekaannya, dan keamanan pribadinya. Akibatnya sudah banyak negara yang telah meninggalkan hukum mati, dan mengecam negara yang tetap memberlakukan hukuman mati.

3.2. Saran
  1. Sebaiknya beberapa pihak harus melihat bagaimana perbuatan pidana hari ini yang sudah semakin merajalela seiring perkembangan IPTEK dan dampaknya bagi masa depan bangsa. 
  2. Tidaklah perlu mengkaji seberapa perlu hukuman mati tetap diterapkan di era modernisasi sekarang ini, yang terpenting adalah bagaimana agar bangsa dan negara aman dari segala perbuatan kejahatan berat agar tercapainya kepastian, kemanfaatan dan keadilan hukum. 
  3. Pemerintah harus benar-benar memperhatikan sistem pengelolaan sumber daya manusia Indonesia yang semakin hari semakin mengkhawatirkan. 
  4. Sebaiknya pemerintah memperkuat IPOLEKSOSBUDHANKAM.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku.
Abdullah, Rozali. 2004. Perkembangan Hak Asasi Manusia dan Keberadaan Peradilan Hak Asasi Manusia. Bogor : Ghalia Indonesia.
Atmadja, I DewaGede. 2012.Ilmu Negara.Malang : Setara Press Davies, Peter.1994. Hak-Hak Asasi Manusia. Jakarta Yayasan Obor Indonesia.
Hartanti, Evi, 2007. Tindak Pidana Korupsi.Jakarta : Sinar Grafika Indrati, Farida Maria. 2007. Ilmu Perundang-Undangan.Yogyakarta : Kanisius
Kartanegara, Satochid.2008. Hukum Pidana Bagian Satu. Jakarta : Balai Lektur Mahasiswa.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2011.Penelitian Hukum Normatif, suatu tinjauan singkat.Jakarta : PT.Raja Grafindo.

B. Perundang-Undangan.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

C. Jurnal/Kamus/Makalah.
Ifdhal Kasim,Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, jurnal HAM Komnas HAM, Komisioner & Sekretaris Jenderal Komnas HAM, vol. 8, 2012, hlm. 203.
Sri Hastuti PS, “ Perlindungan HAM dalam Empat Konstitusi di Indonesia’’ dalam Junal Hukum Magister Vol. 1 No.1 Januari 2005, Magister Ilmu Hukum FH UII, Yogyakarta, 2005.

D. Website.
http://alexanderizki.blogspot.co.id/2011/03/diskriminasi-hak- asasi manusia.html, diakses, tanggal, 10 November 2018, jam 19.50.
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/04/150429_analisis_eksekusi, diakses, tanggal, 15 November 2018, Jam:17.00.

Semoga bermanfaat.