Istilah Justice Collaborator dan Whistle Blower sering muncul dalam penanganan kasus korupsi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Apa yang dimaksud dengan Justice Collaborator dan Whistle Blower tersebut ? Justice Collaborator disebut juga saksi sekaligus tersangka dalam tindak pidana yang sama, sedangkan Whistle Blower disebut juga saksi pelapor.
Meskipun dua istilah tersebut sering muncul, baik dalam berita di surat kabar, televisi, ataupun dalam berita-berita online yang setiap saat bisa kita buka lewat jejaring internet, tapi masih banyak juga di antara kita yang belum memahami perbedaan antara Justice Collaborator dan Whistle Blower tersebut. Sebagian dari kita beranggapan bahwa antara Justice Collaborator dan Whistle Blower adalah sama, dan sebagian yang lain dari kita salah menginterpretasikan kedua istilah tersebut.
Justice Collobarator dan Whistle Blower bukanlah merupakan istilah baru, kedua istilah tersebut sudah lama ada. Hanya saja, secara yuridis kedua istilah tersebut baru dikenal di Indonesia sejak keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor : 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Whistle Blower dan Justice Collaborator. Dalam SEMA tersebut dijelaskan bahwa keberadaan kedua istilah tersebut bertujuan untuk menumbuhkan partisipasi publik dalam mengungkap suatu tindak pidana tertentu.
Pengertian Justice Collaborator. Menurut SEMA Nomor : 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Whistle Blower dan Justice Collaborator, yang dimaksud dengan Justice Collaborator adalah seorang pelaku tindak pidana tertentu, tetapi bukan pelaku utama, yang mengakui perbuatannya dan bersedia menjadi saksi dalam proses peradilan. Tindak pidana tertentu yang dimaksud dalam SEMA adalah tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan manusia, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir, di mana tindak pidana yang dilakukan tersebut telah menimbulkan masalah dan ancaman serius bagi stabilitas dan keamanan masyarakat.
Sedangkan dalam Surat Keputusan Bersama antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia, dan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Justice Collaborator diartikan sebagai seorang saksi, yang juga merupakan pelaku, namun mau bekerja sama dengan penegak hukum dalam rangka membongkar suatu perkara bahkan mengembalikan aset hasil kejahatan korupsi apabila aset itu ada pada dirinya.
Untuk dapat menjadi seorang Justice Collaborator, SEMA Nomor : 4 Tahun 2011 mengatur dengan memberi pedoman sebagai berikut :
- Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA tersebut, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut, serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.
- Jaksa penuntut umum dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut uum dapat mengungkap tindak pidana yang dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana.
- Atas bantuannya tersebut, maka terhadap saksi pelaku yang bekerja sama sebagaimana dimaksud di atas, hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana sebagai berikut : menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus dan/atau menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan di antara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara dimaksud.
Satu hal yang penting saat hakim memberikan perlakuan khusus dalam bentuk keringan pidana kepada Justice Collaborator adalah hakim tetap harus mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.
Pengertian Whistle Blower. Menurut SEMA Nomor : 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Whistle Blower dan Justice Collaborator, yang dimaksud dengan Whistle Blower adalah pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pindana tertentu dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya. Tindak pidana tertentu yang dimaksud tersebut adalah sama dengan tindak pidana tertentu dalam Justice Collaborator.
Whistle Blower mempunyai peranan penting dalam mengungkap terjadinya suatu tindak pidana (kejahatan). Peranan penting dari Whistle Blower dapat dilihat dari bantuan dan informasi yang ia berikan, yang akan membantu pihak aparat penegak hukum untuk mengidentifikasikan dan menanggulangi tindak pidana yang akan dan/atau telah terjadi. Lilik Mulyadi menyebutkan ada dua peran dari Whistle Blower, yaitu :
- Whistle Blower yang hanya berperan sebagai pelapor, yaitu yang bersangkutan tidak secara langsung mendengar, melihat, ataupun mengetahui pelaksanaan suatu tindak pidana. Ia hanya sebatas mengetahui informasi yang selanjutnya bermanfaat terhadap suatu pengungkapan fakta tindak pidana oleh penegak hukum.
- Whistle Blower yang berperan sebagai saksi pelapor, yaitu yang bersangkutan adalah pengungkap fakta yang yang melaporkan dan secara langsung mengetahui, melihat, dan mengalami sendiri telah, sedang, atau akan terjadinya suatu tindak pidana yang secara aktif melaporkannya pada aparat penegak hukum yang berwenang.
Perbedaan Antara Justice Collaborator dan Whistle Blower. Dari apa yang telah disebutkan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa perbedaan mendasar antara Justice Collaborator dan Whistle Blower adalah :
- Justice Collaborator : yang bersangkutan merupakan salah satu dari pelaku tindak pidana termaksud dan bukan merupakan pelaku utama dari tindak pidana tersebut. Segala kesaksiannya akan menjadi pertimbangan hakim dalam meringankan pidananya.
- Whistle Blower : yang bersangkutan bukan pelaku tindak pidana termaksud, ia hanya mengetahui, baik langsung maupun tidak langsung, atas terjadinya tindak pidana tersebut dan ia tidak dapat dituntut baik secara pidana maupun perdata.
Menjadi Justice Collaborator maupun Whistle Blower memiliki perlindungan berbeda satu sama lain. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan pasal 10 Undang-Undang Nomor : 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, di mana dalam pasal 10 tersebut menyebutkan bahwa Whistle Blowe atau saksi pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau yang telah diberikan. Sedangkan Justice Collaborator atau saksi sekaligus tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah. Tapi, kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidananya.
Semoga bermanfaat.