Asas Tidak Berlaku Surut (Non Retroaktif). Secara umum, suatu undang-undang adalah bersifat tidak berlaku surut atau non retroaktif. Demikian halnya dengan hukum pidana yang berlaku di Indonesia, juga berlaku asas tidak berlaku surut atau non retroaktif. Hal tersebut sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) berbunyi :
- Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.
Pasal 1 ayat 1 KUH Pidana tersebut, selain mengandung asas legalitas, juga mengandung satu asas lain dalam hukum pidana, yaitu asas tidak berlaku surut. Asas tidak berlaku surut tersebut merupakan asas undang-undang-undang hukum pada umumnya.
Asas tidak berlaku surut juga mengandung arti bahwa setiap orang tidak perlu merasa terikat kepada undang-undang untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan tertentu yang belum atau tidak diancam dengan suatu pidana, meskipun kelak dikemudian hari tindakan yang dilakukan tersebut ditentukan sebagai tindak pidana. Dengan arti lain yang lebih sederhana, bahwa jika seseorang melakukan suatu tindakan tertentu yang baru di kemudian hari terhadap tindakan yang serupa diancam dengan pidana, seseorang tersebut tidak dapat dipidana berdasarkan ketentuan yang baru ditetapkan tersebut.
Baca juga : Penjelasan Umum Asas-Asas Hukum Pidana
Baca juga : Penjelasan Umum Asas-Asas Hukum Pidana
Bagaimana jika sebaliknya, apabila seseorang melakukan suatu tindakan yang diancam dengan pidana berdasarkan undang-undang yang berlaku, dan kemudian undang-undang atau ketentuan pidana tersebut dihapuskan sebelum seseorang itu diadili, apakah asas tidak berlaku surut tersebut tetap berlaku ? Dalam kasus demikian, ternyata asas tidak berlaku surut tidak berlaku. Seseorang yang melakukan tindak pidana tersebut tetap akan menjalani proses hukumnya sesuai dengan tindakan yang dilakukannya. Jadi asas tidak berlaku surut sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat 1 KUH Pidana tersebut, tidak secara mutlak dianut dalam hukum pidana.
Jika demikian terdapat pengecualian-pengecualian terhadap asas tidak berlaku surut tersebut. Sebagaimana sering kita dengar suatu adagium yang mengatakan bahwa : "tidak ada suatu peraturan yang tanpa pengecualian ( there is no rule with out exception)". Pengecualian asas tidak berlaku surut dalam KUH Pidana tersebut, secara tegas diatur dalam Pasal 1 ayat 2 KUH Pidana, yaitu yang berbunyi :
- Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi mereka.
Ketentuan pasal 1 ayat 2 KUH Pidana tersebut juga menjadi jawaban dari pertanyaan tersebut di atas, bagaimana jika seseorang melakukan suatu tindakan yang diancam dengan pidana berdasarkan undang-undang yang berlaku, dan kemudian undang-undang atau ketentuan pidana tersebut dihapuskan sebelum seseorang itu diadili, apakah asas tidak berlaku surut tersebut tetap berlaku ?
Sampai saat ini para sarjana masih memperdebatkan, sampai sejauh manakah pengertian yang terkandung dalam pasal 1 ayat 2 KUH Pidana tersebut. Namun dalam praktek, dalam kaitannya dengan perumusan ayat tersebut, seringkali hakim dalam menjatuhkan putusannya tidak tergantung pada saat terjadinya suatu tindak pidana, tetapi tergantung pada kepntingan terdakwa. Selain itu, hakim juga dalam menjatuhkan putusannya tidak semata-mata bergantung dengan atran-aturan yang ada tersebut, tetapi akan mempertimbangkan juga aturan-aturan dan faktor-faktor lain berkaitan dengan terdakwa dan tindak pidana yang dilakukannya.
Baca juga : Asas-Asas Yang Terkandung Dalam Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Baca juga : Asas-Asas Yang Terkandung Dalam Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Lebih dari hal tersebut, dalam pelaksanaan ketentuan pasal 1 ayat 2 KUH Pidana tersebut, hakim semestinya juga mempertimbangkan rasa keadilan bagi diri terdakwa atau seseorang yang melakukan tindak pidana tersebut. Patut direnungkan apa yang dikatakan oleh Dr. Wirjono : "Lebih-lebih ketidak-adilan akan dirasakan, apabila oknum A dan oknum B ini bersama-sama melakukan tindak pidana, dan B telah dihukum, sedangkan A, oleh karena sakit atau sebab lain, pemeriksaan perkaranya diundur, sehingga sebelum jatuh putusannya, terjadi perubahan undang-undang yang meringankan hukumannya atau sama sekali meniadakan ancaman hukumannya."
Semoga bermanfaat.