Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) berbunyi :
  • Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.
Maksud yang terkandung dalam ketentuan tersebut di atas adalah bahwa hukum pidana harus bersumber pada undang-undang. Hal inilah yang disebut sebagai asas legalitas

Asas legalitas berarti bahwa pemidanaan terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana harus berdasarkan undang-undang. Sedangkan yang dimaksud dengan undang-undang tersebut adalah undang-undang dalam arti yang luas, tidak hanya aturan tertulis yang dituangkan dalam suatu bentuk undang-undang yang dibuat oleh lembaga eksekutif dan legislatif, melainkan juga produk peraturan perundang-undangan lainnya, seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan peraturan perundang-undangan yang lainnya. 

Dengan adanya asas legalitas ini maka akan tercipta suatu kepastian hukum bagi setiap warga negara pencari keadilan. Hal ini disebabkan karena penguasa (yudikatif/peradilan) dalam melakukan tugasnya akan terikat dengan ketentuan-ketentuan aturan perundang-undangan yang ada, sehingga dalam setiap pengambilan keputusannya penguasa tidak melakukan tindakan yang sewenang-wenang. 

Sejarah terbentuknya asas legalitas ini tidak terlepas dari pengalaman masa lalu, di saat jaman di mana hukum pidana belum tertulis. Kekuasaan penguasa (raja) bersifat mutlak, sumber hukum pidana saat itu adalah hukum adat atau kebiasaan-kebiasaan yang kemudian berkembang ke arah keyakinan atau keadilan pribadi penguasa.  Penguasa sering kali bertindak sewenang-wenang dalam memutuskan setiap permasalahan atau perkara yang ada. Ketentuan pidana dan pemidanaan tergantung pada subyektivitas penguasa. Dalam kondisi seperti itu, terjadi ketidak-pastian hukum.

Seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat pada waktu itu merasakan ketidak-adilan. Mulailah terjadi pergolakan-pergolakan untuk menuntut adanya keadilan dan hak-hak perlindungan hukum serta jaminan atas hak-hak tersebut. Dari peristiwa tersebut, kemudian lahirlah berbagai ajaran mengenai perlindungan terhadap hak-hak manusia yang dicetuskan oleh banyak ahli, seperti :
  • Lafayette, mengajarkan tentang hak-hak asasi manusia di Amerika.
  • John Locke, di Inggris, juga mengajarkan tentang hak-hak asasi manusia.
  • Montesquieu, di Perancis, yang terkenal dengan ajarannya tentang pemisahan kekuasaan negara (Trias Politica), yang ditulisnya dalam bukunya yang berjudul L'Esprit des Lois. Ajaran ini dimaksudkan untuk melindungi hak-hak atau kepentingan individu terhadap kesewenang-wenangan penguasa.
  • Jean Jacques Rousseau, di Perancis, mengajarkan mengenai fiksi perjanjian masyarakat, yang dituangkan dalam tulisannya yang berjudul "Du Contrat Social". Ajaran ini menyebutkan bahwa pemerintah adalah suatu badan, yang terjadi karena adanya kesepakatan antara warga-warga dan penguasa dalam hubungannya masing-masing, yang ditugaskan untuk melaksanakan undang-undang dan menjamin kemerdekaan politik dan perdata.
  • Beccaria, di Italia, mengajarkan agar hukum pidana harus bersumber pada hukum tertulis. Sehingga hak-hak asasi manusia dapat dijamin dan dapat mengetahui tindakan-tindakan apa yang dilarang dan yang diharuskan.
  • Anselm von Feuerbach, di Jerman, mengajarkan tentang pentingnya aturan pidana dibuat secara tertulis, hal tersebut dituangkan dalam bukunya yang berjudul "Lehrbuch des Peinlichen Rechts" (Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali), yang artinya tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa terlebih dahulu diadakan ketentuan. Ajaran Anselm von Feuerbach ini dikemukakan berhubungan dengan adanya terori "Psychologise Zwang", yaitu  pembatasan keinginan manusia untuk melakukan suatu kejahatan.
Dari berbagai ajaran yang dikemukakan oleh para ahli tersebut, pada akhirnya ajaran dari Anselm von Feuerbach yang paling banyak berpengaruh dalam rumusan undang-undang hukum pidana.

Pidana merupakan alat terakhir untuk menegakkan hukum. Hal ini berarti bahwa penentuan pidana dalam undang-undang untuk suatu tindakan tertentu sangat diperlukan. Misalkan, suatu tindakan yang dilakukan oleh individu atau kelompok, apabila sudah dirasakan merugikan kepentingan umum, maka sudah sepatutnya diberlakukan ketentuan hukum pidana. Hal ini dilakukan untuk menjaga keseimbangan dan sekaligus merupakan pencegahan.

Semoga bermanfaat.