Ada seorang teman yang bertanya, apa yang terjadi jika orang yang mengalami gangguan pikiran atau sakit jiwa, yang tidak di taruh di bawah pengampuan (curatele) dan tidak berada dalam rumah sakit jiwa, membuat atau menutup suatu perjanjian ?
Pertanyaan tersebut erat kaitannya dengan masalah pengampuan. Maka dari itu sebelum menjawab pertanyaan itu ada baiknya mengerti isi dari Pasal 447 KUH Perdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) sebagai dasar tindak keperdataan yang dilakukan oleh seorang yang tidak cakap. Pasal 447 KUH perdata berbunyi : "Segala tindak-tindak perdata yang terjadi kiranya sebelum perintah akan pengampuan berdasar atas keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap, diucapkan, akan boleh dibatalkan, jika dasar pengampuan tadi telah ada pada saat tindak itu dilakukannya". Pasal 447 KUH Perdata tersebut mengatur hal tentang dapat dibatalkannya suatu perjanjian yang dibuat atas dasar ketidak cakapan seseorang.
Pertanyaan tersebut erat kaitannya dengan masalah pengampuan. Maka dari itu sebelum menjawab pertanyaan itu ada baiknya mengerti isi dari Pasal 447 KUH Perdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) sebagai dasar tindak keperdataan yang dilakukan oleh seorang yang tidak cakap. Pasal 447 KUH perdata berbunyi : "Segala tindak-tindak perdata yang terjadi kiranya sebelum perintah akan pengampuan berdasar atas keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap, diucapkan, akan boleh dibatalkan, jika dasar pengampuan tadi telah ada pada saat tindak itu dilakukannya". Pasal 447 KUH Perdata tersebut mengatur hal tentang dapat dibatalkannya suatu perjanjian yang dibuat atas dasar ketidak cakapan seseorang.
Tujuan dari diadakannya ketentuan mengenai ketidakakapan seorang tersebut oleh pembuat undang-undang adalah untuk melindungi kepentingan seorang yang tidak cakap dalam bertindak. Undang-undang melindungi terhadap kemungkinan akan kerugian yang timbul akibat tindakan mereka sendiri, yang karena ketidakcakapannya seorang tersebut dianggap tidak menyadari sepenuhnya akibat dari tindakannya yang dilakukannya tersebut.
Jawaban dari pertanyaan tersebut di atas apabila dikaitkan dengan ketentuan pasal 447 KUH Perdata adalah jika orang tersebut sesudah menutup perjanjian ditaruh di bawah pengampuan/curatele atau dirawat dalam rumah sakit jiwa, maka berdasarkan pasal 447 KUH Perdata perjanjian tersebut dapat dibatalkan, kalau pada saat perjanjian ditutup dasar-dasar untuk pengampuan sudah ada (pada saat itu).
Jawaban dari pertanyaan tersebut di atas apabila dikaitkan dengan ketentuan pasal 447 KUH Perdata adalah jika orang tersebut sesudah menutup perjanjian ditaruh di bawah pengampuan/curatele atau dirawat dalam rumah sakit jiwa, maka berdasarkan pasal 447 KUH Perdata perjanjian tersebut dapat dibatalkan, kalau pada saat perjanjian ditutup dasar-dasar untuk pengampuan sudah ada (pada saat itu).
Selanjutnya akibat pembatalan perjanjian berdasarkan ketidakcakapan orang-orang yang yang disebutkan dalam pasal 1330 KUH Perdata, dinyatakan secara tegas dalam dalam pasal 1451 KUH Perdata, yang berbunyi :
Sedangkan pengecualian terhadap pembatalan perjanjian sebagaimana tersebut dalam pasal 447 KUH Perdata, ditegaskan dalam pasal 448 KUH Perdata, yang berbunyi :
Selain itu, dalam ketentuan Pasal 1331 KUH Perdata yang berbunyi :
Berdasarkan bunyi dari pasal tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa ketentuan pasal 1331 KUH Perdata tersebut tidak berlaku dalam hal ada ketidakwenangan. Hal ini karena yang disebut dengan tegas hanyalah mereka yang tidak cakap saja. Dengan demikian, perjanjian yang dibuat oleh orang yang belum dewasa selalu dapat dimintakan pembatalannya. Selain itu karena, ketentuan pasal 1331 KUH Perdata tidak berbicara tentang kurugian, maka hak untuk menuntut pembatalan tidak bergantung dari ada atau tidaknya kerugian pada seoarang yang tidak cakap tersebut. Meskipun demikian ada pengecualian dari pasal 1331 KUH Perdata, yaitu apa yang disebutkan dalam ketentuan pasal 432 KUH Perdata.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, ada hal penting yang harus dimengerti, yaitu bahwa ketidakcakapan seorang dalam bertindak, berbeda dengan kewenangan seorang dalam bertindak. Pada masalah ketidakwenangan, ketentuan tersebut diadakan demi untuk melindungi pihak lawan janjinya atau pihak ketiga atau kepentingan umum, dan karenanya perjanjian yang ditutup oleh seorang yang tidak wenang pada asasnya adalah batal demi hukum.
Berkaitan dengan pertanyaaan tersebut di atas mengenai ketidakcapan seorang dalam bertindak, terjadi perbedaan pendapat di antara para ahli :
- Pernyataan batalnya perikatan-perikatan berdasarkan ketidakcakapan orang-orang yang disebutkan dalam pasal 1330, berakibat bahwa barang dan orang-orangnya dipulihkan dalam keadaan sebelum perikatan dibuat, dengan pengertian bahwa segala apa yang telah diberikan atau dibayarkan kepada orang-orang yang tidak berkuasa, sebagai akibat perikatan, hanya dapat dituntut kembali, sekedar barangnya masih berada di tangan orang yang tidak berkuasa itu, atau sekedar ternyata bahwa orang ini telah mendapat manfaat dari apa yang diberikan atau dibayarkan, atau bahwa apa yang dinikmati telah dipakai atau berguna bagi kepentingannya.
Konsekuensi yang muncul berkaitan dengan prestasi dari perikatan yang dibuat berkaitan dengan pasal 1451 KUH Perdata tersebut adalah bahwa prestasi yang telah diserahkannya harus dikembalikan. Dalam arti, prestasi yang telah diberikan kepada seorang yang tidak cakap hanya dapat dituntut kembali, jika prestasi itu masih ada pada yang bersangkutan yang tidak cakap, atau seorang yang tidak cakap tersebut mendapat manfaat daripadanya, atau prestasi tersebut telah dipakai dan berguna bagi kepentingan yang bersangkutan yang tidak cakap tersebut.
Sedangkan pengecualian terhadap pembatalan perjanjian sebagaimana tersebut dalam pasal 447 KUH Perdata, ditegaskan dalam pasal 448 KUH Perdata, yang berbunyi :
- Apabila seorang telah meninggal dunia, maka segala tindak perdata yang dilakukan olehnya, kecuali pembuatan surat-surat wasiat, berdasar atas keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelap tidak dapat ditentang, melainkan jika pengampuan atas dirinya sudah diperintahkan atau diminta kiranya sebelum ia meninggal dunia, kecuali lagi di sini, bilamana bukti tentang adanya penyakit-penyakit tersebut tersimpul dari perbuatan perdata yang ditentang itu sendiri.
Selain itu, dalam ketentuan Pasal 1331 KUH Perdata yang berbunyi :
- Karena itu orang-orang yang di dalam pasal yang lalu dinyatakan tidak cakap, boleh menuntut pembatalan perikatan-perikatan yang mereka telah perbuat. dalam hal-hal di mana kekuasaan itu tidak dikecualikan oleh undang-undang.
- Orang-orang yang cakap untuk mengikatkan diri tak sekali-kali diperkenankan mengemukakan ketidakcakapan orang-orang yang belum dewasa, orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan dan perempuan-perempuan yang bersuami dengan siapa mereka telah membuat suatu perjanjian.
Berdasarkan bunyi dari pasal tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa ketentuan pasal 1331 KUH Perdata tersebut tidak berlaku dalam hal ada ketidakwenangan. Hal ini karena yang disebut dengan tegas hanyalah mereka yang tidak cakap saja. Dengan demikian, perjanjian yang dibuat oleh orang yang belum dewasa selalu dapat dimintakan pembatalannya. Selain itu karena, ketentuan pasal 1331 KUH Perdata tidak berbicara tentang kurugian, maka hak untuk menuntut pembatalan tidak bergantung dari ada atau tidaknya kerugian pada seoarang yang tidak cakap tersebut. Meskipun demikian ada pengecualian dari pasal 1331 KUH Perdata, yaitu apa yang disebutkan dalam ketentuan pasal 432 KUH Perdata.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, ada hal penting yang harus dimengerti, yaitu bahwa ketidakcakapan seorang dalam bertindak, berbeda dengan kewenangan seorang dalam bertindak. Pada masalah ketidakwenangan, ketentuan tersebut diadakan demi untuk melindungi pihak lawan janjinya atau pihak ketiga atau kepentingan umum, dan karenanya perjanjian yang ditutup oleh seorang yang tidak wenang pada asasnya adalah batal demi hukum.
Berkaitan dengan pertanyaaan tersebut di atas mengenai ketidakcapan seorang dalam bertindak, terjadi perbedaan pendapat di antara para ahli :
- Diephuys, menafsirkan hal tersebut sebagai terserah kepada hakim untuk, dengan melihat pada keadaan, apakah perjanjian tersebut akan dibatalkan atau tidak. Hal tersebut ditafsirkan, bahwa pihak lain tidak tahu, jika lawan perjanjiannya adalah orang yang tidak waras pikirannya, dengan demikian harus ada itikad baik pada dirinya. Undang-undang selayaknya memberikan perlindungan kepada pihak ketiga yang beritikad baik.
- Scholten, menafsirkan bahwa hakim wajib membatalkan, kalau pihak lain menunjukkan tanda-tanda yang nyata/dapat dilihat, bahwa pihak yang satunya adalah tidak waras pada saat perjanjian ditutup, kecuali dapat dibuktikan, bahwa walaupun pihak yang satu tidak waras, tetapi pada saat itu mengerti atau menyadari perbuatannya.
- Hofmann, sependapat dengan pendapat Scholten, hanya saja ia keberatan dengan persyaratan bahwa ketidakwarasan tersebut harus tampak bagi pihak ketiga pada saat perjanjian ditandatangani. Hofmann juga keberatan bahwa putusan mengenai dibatalkan atau tidaknya perjanjian diserahkan kepada hakim. Kalau pihak lain membuktikan bahwa memang ketidakwarasan sudah ada pada saat perjanjian ditutup, maka hakim wajib untuk membatalkannya.
- Opzoomer, berpendapat bahwa perjanjian yang dibuat dalam kondisi seperti tersebut, adalah batal demi hukum. Pendapat Opzoomer didasarkan atas teori kehendak. Orang yang tidak waras atau sakit jiwa dianggap tidak mempunyai kehendak, maka perjanjian yang dibuat tidak memenuhi syarat pasal 1320 KUH Perdata, dan karenanya batal.
Jangka waktu penuntutan pembatalan berdasarkan ketidakcakapan, menurut ketentuan pasal 1454 KUH Perdata dibatasi hingga jangka waktu 5 tahun, terhitung sejak hari kedewasaan seorang yang belum dewasa atau sejak dicabutnya pengampuan. Hak untuk menuntut pembatalan tersebut hapus, jika perjanjian tersebut oleh seorang yang tidak cakap dikuatkan (baik secara tegas ataupun secara diam-diam), sesudah seorang yang belum dewasa menjadi dewasa atau seorang yang di bawah pengampuan (curandus) diangkat pengampuannya.
Semoga bermanfaat.