Hukum pidana tertulis muncul sebagai akibat dari kesewenang-wenangan penguasa. Kekuasaan raja yang bersifat mutlak menimbulkan keyakinan atau keadilan pribadi penguasa, yang pada akhirnya menjadi kesewenang-wenangan penguasa, di mana pemidanaan dilakukan sesuai dengan selera penguasa. Ketentuan pidana dan pemidanaan tergantung pada subyektivitas penguasa.
Akibat dari hal tersebut, maka muncullah berbagai ajaran mengenai adanya hak-hak asasi manusia yang harus dilindungi. Atas anjuran Lafayette mula-mula ajaran tentang hak-hak asasi manusia muncul di Amerika. Kemudia menyebar dan berkembang di berbagai negara, seperti :
- Inggris, melalui ajaran dari John Locke
- Perancis, melalui ajaran trias politica dari Montesquieu (1688 - 1755) yang mengajarkan mengenai pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga jenis, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam bukunya yang berjudul L'Esprit des Lois tahun 1748. Pemisahan kekuasaan menurut Montesquieu dimaksudkan untuk melindungi hak-hak dan kepentingan individu terhadap kesewenang-wenangan penguasa.
- Perancis, melalui ajaran dari Jean Jacques Rousseau dalam tulisannya yang berjudul Du Contrat Social tahun 1762, yang mengajarkan mengenai fiksi perjanjian masyarakat.
- Italia, melalui ajaran Beccaria tahun 1764, yang menganjurkan agar hukum pidana harus bersumber pada umumnya pada hukum tertulis, agar hak-hak asasi manusia dapat dijamin dan dapat diketahui tindakan-tindakan yang dilarang dan yang diharuskan.
Dari sekian banyak ajaran-ajaran yang berkembang, ajaran yang paling banyak berpengaruh kepada rumusan undang-undang hukum pidana adalah ajaran dari Anselm Von Feuerbach, seorang sarjana dari Jerman, dalam bukunya yang berjudul Lehrbuch des Peinlichen Recht, tahun 1801, yang dalam bahasa Latin dirumuskan dengan "Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali". yang artinya adalah tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa terlebih dahulu diadakan ketentuan. Ajaran Feuerbach ini dikemukakan sehubungan dengan pembatasan keinginan manusia untuk melakukan suatu kejahatan, yang terkenal dengan teori Psychologise Zwang.
Revolusi Prancis meletus sebagai akibat dari adanya keinginan masyarakat untuk mendapatkan kepastian hukum. Rakyat yang tertindas menghendaki adanya kepastian hukum. Pada tahun 1789 asas Nullum Delictum sudah dicantumkan dalam Konstitusi Prancis, yang kemudian dicantumkan juga di Code Penal-nya.
Demikian juga dengan Belanda. Belanda yang pernah dijajah oleh Prancis, juga mencantumkan asas Nullum Delictum dalam Wetboek van Stranfrecht-nya. Dan mulai tahun 1915, berlaku tahun 1918, asas tersebut dicantumkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk Indonesia yang pada waktu itu merupakan wilayah jajahan Belanda, yang pada akhirnya ketentuan tersebut berlaku hingga saat ini, setelah Indonesia merdeka.
Demikian penjelasan berkaitan dengan asal usul asas-asas dalam hukum pidana.
Semoga bermanfaat.