Intervensi Dalam Hukum Internasional

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Hukum Internasional pada umumnya melarang campur tangan suatu negara terhadap urusan-urusan negara lain. Termasuk yang oleh sebagian ahli hukum disebut dengan istilah intervensi subversif, untuk menunjukkan aktivitas propaganda atau aktivitas lain yang dilakukan oleh suatu negara dengan maksud untuk menyulut revolusi atau perang saudara di negara lain, untuk tujuan negara itu sendiri.

Mahkamah Internasional menyatakan bahwa suatu intervensi dilarang oleh hukum internasional, apabila :
  • merupakan campur tangan yang berkaitan dengan masalah-masalah di mana setiap negara dibolehkan untuk mengambil keputusan secara bebas.
  • campur tangan tersebut meliputi gangguan terhadap kemerdekaan negara lain dengan cara-cara paksa, misalnya memberikan dukungan terhadap kelompok separatis terhadap negara yang menjadi tujuan intervensi tersebut.

Selain kedua hal yang disebutkan secara tergas tersebut di atas, bukanlah merupakan suatu intervensi dalam arti yang dilarang oleh hukum internasional. 

Terdapat tiga macam intervensi material aktif, yaitu :
  1. Intervensi Intern, misalnya suatu negara mencampuri persengketaan antara pihak-pihak yang bertikai di negara lain, dengan cara mendukung salah satu pihak, baik pihak pemerintah yang sah ataupun pihak pemberontak.
  2. Intervensi Ekstern, misalnya suatu negara ikut campur tangan dalam hubungan (permusuhan) negara satu dengan negara yang lain. 
  3. Intervensi Penghukuman. Intervensi ini merupakan suatu tindakan pembalasan yang bukan perang, atas kerugian yang diderita oleh negara lain. 

Beberapa hal yang umum yang dinyatakan sebagai pengecualin di mana suatu negara mempunyai hak untuk melakukan intervensi (intervensi yang sah), yaitu :
  • Intervensi kolektif, yang dilakukan sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
  • Intervensi untuk melindungi hak-hak dan kepentingan-kepentingan serta keselamatan jiwa warga-warga negara lain.
  • Intervensi yang dilakukan untuk menghindarkan bahaya dari serangan bersenjata negara lain untuk mempertahankan diri).
  • Intervensi dalam urusan-urusan protektorat yang di bawah  kekuasaan suatu negara.

Dalam melakukan hak-hak pengecualian tersebut, intervensi negara-negara harus tunduk kepada kewajiban-kewajiban pokok yang diatur dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, sehingga intervensi yang dilakukan oleh negara-negara tidak boleh berkembang menjadi ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integrasi teritorial atau kemerdekaan politik negara manapun.

Doktrin Monroe. Sejarah doktrin Monroe Amerika memberikan semacam penjelasan mengenai aspek-aspek politis dari intervensi yang membedakan dari aspek hukum. Doktrin ini bermula dari pernyataan Presiden Monroe dalam pesan kepada Kongres pada tahun 1823, yang terdiri dari tiga hal, yaitu :
  1. Deklarasi bahwa benua Amerika tidak akan lagi menjadi subyek kolonisasi oleh negara-negara Eropa di masa datang.
  2. Deklarasi mengenai tidak adanya kepentingan terhadap perang-perang yang terjadi di Eropa dan urusan-urusan Eropa.
  3. Deklarasi bahwa setiap usaha yang dilakukan negara-negara Eropa untuk memperluas sistem mereka terhadap bagian manapun di benua Amerika akan dianggap sebagai bahaya terhadap perdamaian dan keamanan Amerika Serikat.

Doktrin Monroe ini pada akhir abad kesembilan belas dipakai menjadi dasar bagi klaim Amerika Serikat untuk melakukan intervensi di setiap bagian benua Amerika yang terancam gangguan dari negara Eropa, atau di manapun kepentingan-kepentingan vital Amerika Serikat di benua itu terancam.
Doktrin Monroe yang semula dimaksudkan untuk menentang intervensi sebaliknya diubah menjadi suatu teori yang membenarkan tindakan intervensi oleh negara yang mulanya menjadi sponsor dari doktrin tersebut. Setelah berakhirnya perang dunia pertama, kebijakan yang diterapkan pemerintah Amerika Serikat terhadap negara-negara di benua Amerika lainnya telah membawa kembali doktrin Monroe mendekati tujuan-tujuannya di tahun 1823.

Doktrin Persamaan Derajat Negara-Negara (Doctrine of the equality of States). Doktrin ini telah dikembangkan sejak permulaan sejarah hukum internasional modern. Doktrin ini menekankan pentingnya hubungan antara hukum bangsa-bangsa dan hukum alam. Sebagaimana dinyatakan oleh Christian Wolff dalam salah satu tulisannya : "Pada dasarnya semua bangsa mempunyai kedudukan yang sama antara satu dengan yang lainnya. Karena bangsa-bangsa dianggap sebagai pribadi manusia bebas yang hidup dalam suatu keadaan alami. Oleh karena itu, pada dasarnya semua manusia memiliki kedudukan yang sama, maka semua bangsa pun pada dasarnya berkedudukan sama antara satu dengan yang lainnya".

Dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa pasal 1 yang menyatakan : "Penghargaan atas prinsip persamaan hak" dan dengan dikeluarkannya deklarasi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1970 mengenai Prinsip Persamaan Kedaulatan Negara, menegaskan bahwa doktrin persamaan kedudukan tersebut hingga saat ini masih tetap bertahan. Konsekuensi dari prinsip persamaan tersebut adalah bahwa apabila tidak ada traktat, tidak ada satu negarapun dapat menuntut yurisdiksi atas atau dalam kaitan dengan negara berdaulat lainnya. Hanya saja, garis antara persamaan kedudukan negara-negara di satu pihak, dan kemerdekaan negara-negara tersebut di lain pihak, cenderung kabur. Karenanya dinyatakan bahwa hak suatu negara yang bebas untuk memilih dan mengembangkan sistem politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan-nya tidak tersentuh, tetapi hak ini stricto sensu merupakan suatu perwujudan kemerdekaan suatu negara yang tidak boleh diintervensi oleh negara lain.

Demikian penjelasan berkaitan dengan intervensi dalam Hukum Internasional.

Semoga bermanfaat.