Berbicara sastra secara koheren, fungsi dan sifat sastra tidak dapat dipisahkan. Ketika sastra, filsafat, dan agama tidak dibedakan sebagaimana pada masa Yunani dahulu, pengertian tentang sifat dan fungsi sastra adalah sama atau tidak dibedakan. Tapi sekarang, seiring dengan perkembangan waktu pengertian tentang fungsi dan sifat dari sastra tersebut berbeda. Misalnya saja pada abad ke-19, doktrin "seni untuk seni" mengaku membuat perubahan konsep sastra, demikian juga yang terjadi dengan doktrin poesie pure (puisi murni) pada abad ke-20. Sedangkan pada periode renaisans, sastra berfungsi untuk menghibur dan sekaligus mengajarkan sesuatu.
Dalam sejarah estetika, terlihat bahwa konsep tentang sifat dan fungsi sastra pda dasarnya tidak banyak berubah, sepanjang konsep tersebut dituangkan dalam istilah-istilah konseptual yang umum. Sejarah estetika dapat dilihat sebagai suatu dialektika. Tesis dan kontratesisnya adalah konsep Horace dulce dan utile, puisi itu indah dan berguna. Fungsi seni harus dikaitkan pada dulce maupun pada utile. Formula Horace ini akan banyak membantu jika cakupannya diperluas sehingga meliputi berbagai gaya dan kecenderungan dalam sastra, seperti halnya dalam sastra Romawi dan Renaisans.
Kalau suatu karya sastra berfungsi sesuai dengan sifatnya, kedua segi kesenangan dan manfaat bukan hanya harus ada, melainkan harus saling mengisi. Kesenangan yang diperoleh dari sastra merupakan kontemplasi yang tidak mencari keuntungan, sedangkan manfaat sastra adalah keseriusan yang menyenangkan, keseriusan estetis, dan keseriusan persepsi. Meskipun demikian, bisa saja seseorang mengatakan bahwa minatnya pada sastra tidak didasarkan pada penilaian estetis, tapi didasarkan pada selera pribadi atau hobi.
Pertanyaan yang sering muncul adalah apakah sastra mempunyai satu fungsi atau beberapa fungsi ? Jika ingin memperlakukan sastra secara serius, seharusnya ada fungsi atau manfaat sastra yang hanya cocok untuk sastra itu sendiri. Sebagaimana T.S Eliot mengatakan bahwa tidak ada kategori yang bernilai yang dapat ditukar dengan kategori lain. Tidak ada pengganti yang persis sama. Jadi sastra mempunyai satu fungsi, meskipun dalam praktek tidaklah seperti itu.
Teori sastra dan apologetics (pembelaan terhadap sastra) menekankan pada sifat tipikal sastra atau kekhususannya. Sastra dapat dianggap lebih umum dari sejarah dan biografi, tapi lebih khusus dari psikologi dan sosiologi. Perbedaan penekanan tersebut bukan hanya terdapat pada teori sastra. Tingkat keumuman atau kekhususan berbeda-beda kadarnya pada setiap karya sastra dan setiap periode.
Max Eastman, seorang teoretikus, menyangkal bahwa pikiran sastra dapat mengungkapkan kebenaran, Menurut Eastman, pikiran sastra adalah pikiran amatir tanpa keahlian tertentu dan warisan jaman pra ilmu pengetahuan yang memanfaatkan sarana verbal untuk menciptakan kebenaran. Eastman berpendapat bahwa kebenaran dalam karya sastra sama dengan kebenaran di luar karya sastra, yaitu suatu pengetahuan sistematis yang dapat dibuktikan.
Secara umum bisa dimengerti mengapa ahli-ahli estetika tidak yakin untuk menyangkal bahwa kebenaran merupakan kriteria atau ciri khas seni. Hal tersebut disebabkan karena kebenaran adalah istilah kehormatan, dan dengan memakainya orang memberi penghargaan pada seni dan pada nilai-nilai utama seni. Orang takut bahwa kalau seni tidak benar, berarti seni itu bohong. Banyak filsuf dan kritikus menilai beberapa pandangan lebih benar dari pandangan yang lain. Seperti halnya Eliot yang berpendapat bahwa pandangan Dante lebih tepat dari pandangan Shakespeare. Setiap filsafat hidup tentu memiliki secercah kebebaran. Kebenaran sastra merupakan kebenaran dalam sastra, yaitu suatu filsafat dalam bentuk konseptual sistematis dari luar bidang sastra yang dituangkan atau diwujudkan dalam sastra. Kebenaran adalah wilayah para pemikir sistematis. Pengarang bukan pemikir, meskipun mereka bisa menjadi pemikir, kalau tidak ada karya pemikir lain yang dapat mereka pakai dalam karya sastra.
Pandangan bahwa seni menemukan kebenaran atau memberi pengertian baru tentang kebenaran, berbeda dengan pandangan bahwa seni adalah propaganda. Dalam hal tersebut, pengarang bukan penemu, melainkan pemasok kebenaran. Dengan batasan-batasan tertentu, dapatlah digolongkan sejumlah seni sebagai propaganda. Sedangkan seni yang baik bukanlah propaganda. Akan tetapi jika maksud dari propaganda tersebut dalam arti luas yaitu segala macam usaha yang dilakukan secara sadar atau tidak untuk mempengaruhi pembaca agar menerima sikap hidup tertentu, maka bisa dikatakan semua seniman melakukan propaganda. Seni yang serius menyiratkan pandangan hidup yang bisa dinyatakan dalam istilah-istilah filosofis atau dalam sebuah sistem. Ada kaitan antara koherensi artistik dengan koherensi filosofis. Seniman yang bertanggung jawab tidak bermaksud mengacaukan pikiran dengan emosi, serta kesungguhan perasaan dengan pengalaman dan perenungan. Pandangan hidup yang diartikulasikan seniman bertanggung jawab tidak sesederhana karya propaganda populer. Pandangan hidup yang komplek dalam karya sastra tidak bisa mendorong orang melakukan tindakan yang naif dan sembrono hanya dengan sugesti.
Konsepsi fungsi sastra yang dikenal dengan istilah katarsis, dipakai oleh Aristoteles dalam karyanya yang berjudul The Poetics. Apa yang dimaksud Aristoteles dengan istilah tersebut masih menjadi perdebatan sampai sekarang. Fungsi sastra menurut sejumlah teoretikus adalah untuk membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekanan emosi. Mengekspresikan emosi berarti melepaskan diri dari emosi tersebut. Hanya saja kemudian muncul pertanyaan. apakah sastra melepaskan atau justru membangkitkan emosi ?
Semoga bermanfaat.