Sistem hukum Internasional modern merupakan suatu produk yang berkembang dari adat istiadat dan praktek-praktek negara-negara Eropa modern dalam hubungan-hubungan dan komunikasi-komunikasi di antara negara-negara Eropa modern tersebut. Meskipun demikian, sistem hukum internasional modern tersebut masih juga dipengaruhi oleh pendapat-pendapat dari para ahli hukum terdahulu. Hal ini terlihat bahwa hukum internasional masih tetap diwarnai dengan konsep-konsep seperti kedaulatan nasional, kedaulatan teritorial, serta konsep mengenai kesamaan dan kemerdekaan negara-negara.
Sejak masa Yunani kuno, embrio hukum interternasional sudah mulai terbentuk, meskipun terbatas wilayahnya tetapi negara-negara tersebut (negara kota) merdeka antara yang satu dengan yang lainnya, yang oleh Profesor Vinogradoff disebut sebagai intermunicipal. Hukum intermunicipal ini terdiri atas kaidah-kaidah kebiasaan yang telah dikristalisasikan ke dalam hukum yang berasal dari adat istiadat yang telah lama berlaku dan ditaati oleh negara-negara (negara kota) tersebut. Adat-istiadat yang dimaksud misalnya kaidah-kaidah mengenai tidak dapat diganggu-gugatnya utusan dalam peperangan, perlunya pernyataan terlebih dahulu tentang perang, dan lain-lain.
Kondisi yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan hukum internasional baru benar-benar muncul pada abad kelima belas, di mana pada saat itu di Eropa mulai bermunculan negara-begara beradab yang merdeka. Sebelumnya, selama abad pertengahan terdapat dua hal yang menjadi penghalang evolusi suatu sistem hukum internasional, yaitu :
- Kesatuan duniawi dan rohani sebagian besar Eropa di bawah imperium Romawi.
- Struktur feodal Eropa Barat yang melekat pada jierarki otoritas yang tidak hanya menghambat munculnya negara-negara merdeka, akan tetapi juga mencegah negara-negara pada saat itu memperoleh karakter kesatuan dan otoritas negara-negara berdaulat modern.
Perubahan besar terjadi mulai abad kelima belas, dengan ditemukannya dunia baru, masa renaissance, dan semakin berkembangnya teori-teori atau konsep-konsep sekuler mengenai negara modern yang berdaulat dan mengenai kedaulatan modern yang independen sebagaimana ditulis oleh Bodin (1530 - 1596), Machiavelli (1469 - 1527), dan Hobbes (1588 - 1679).
Dengan bermunculannya sejumlah negara merdeka maka mulailah terbentuk kaidah-kaidah kebiasaan hukum internasional dari adat istiadat dan praktek-praktek yang ditaati oleh negara-negara tersebut dalam hubungan antara negara satu dengan negara yang lain. Misalnya saja kaidah tentang pengangkatan utusan (diplomat) dan tidak dapat diganggu-gugatnya utusan-utusan diplomatik.
Pada masa ini perkembangan hukum internasional dipengaruhi oleh hukum kanonik (cannon low), konsep semi teologis, serta hukum alam (law of nature). Tulisan-tulisan para ahli hukum pada masa ini (abad kelima belas dan abad keenam belas), misalnya Gentilis (1552 - 1608) seorang profesor hukum sipil di Oxford yang dipandang sebagai peletak dasar sistematika hukum internasional, yang terpenting adalah pengungkapan bahwa satu pokok perhatian hukum internasional adalah hukum perang antar negara, hal ini dikarenakan negara-negara Eropa telah mulai menggunakan tentara tetap, suatu praktek yang tentunya menyebabkan berkembangnya adat-istiadat dan praktek-praktek peperangan yang seragam.
Grotius (1583 - 1645) yang oleh sebagian ahli hukum dipandang sebagai Bapak Hukum Internasional, melalui karangannya yang sistematis mengenai hukum internasional yang berjudul De Jure Belli ac Pacis (Hukum Perang dan Damai), memguraikan kebiasaan-kebiasaan aktual yang dipakai oleh negara-negara pada jamannya. Grotius yang juga seorang teoritikus yang mendukung doktrin-doktrin tertentu, dalam karangannya tersebut memasukkan satu doktrin pokok yaitu penerimaan Hukum Alam (law of nature) sebagai suatu sumber independen kaidah-kaidah hukum internasional, disamping kebiasaan dan traktat-traktat. De Jure Belli ac Pacis, masih tetap dipakai sebagai suatu karya acuan dan karya yang mempunyai otoritas dalam keputusan-keputusan pengadilan, juga dipakai sebagai acuan penulis-penulis ternama di masa-masa selanjutnya. Doktrin Grotius juga diakui dan tersirat dalam karakter hukum internasional modern, yaitu pembedaan antara perang yang adil dan yang tidak adil, pengakuan atas hak-hak dan kebebasan-kebebasan individu, doktrin netralitas terbatas, gagasan tentang perdamaian, serta nilai dari konferensi-konferensi periodik antara pemimpin-pemimpin negara.
Sejarah hukum internasional selama dua abad setelah masa Grotius ditandai dengan evolusi terakhir sistem negara modern Eropa, suatu proses yang banyak dipengaruhi oleh Traktat Westphalia tahun 1648. Pada abad kesembilan belas hukum internasional berkembang semakin pesat. Hal ini karena adanya sejumlah faktor yang mungkin lebih tepat untuk dimasukkan ke dalam lingkup studi sejarah. Seperti kebangkitan negara-negara baru di dalam maupun di luar Eropa, ekspansi peradaban Eropa ke wilayah-wilayah di luar Eropa, adanya penemuan-penemuan baru, yang semua itu menimbulkan kebutuhan yang mendesak pada masyarakat internasional untuk memiliki sistem kaidah yang akan mengatur secara tegas mengenai hubungan-hubungan antara negara satu dengan negara yang lain.
Perkembangan penting hukum internasional berlangsung pada abad kedua puluh, yaitu dengan terbentuknya Permanent Court of Arbitration oleh Konferensi the Hague tahun 1899 dan tahun 1907. Selanjutnya pada tahun 1921 dibentuk Permanent Court of International Justice sebagai suatu pengadilan yudisial Internasional yang mempunyai otoritas. Pada tahun 1946, Permanent Court of International Justice diganti dengan International Court of Justice sampai sekarang. Karakteristik evolusi hukum internasional paling akhir adalah bahwa pengaruh para penulis cenderung berkurang, dan ahli-ahli hukum internasional modern lebih banyak menaruh perhatian kepada praktek-praktek dan keputusan-keputusan pengadilan.
Hukum internasional saat ini merupakan keseluruhan kaidah-kaidah yang sangat diperlukan untuk mengatur sebagian besar hubungan-hubungan antar negara-negara. Sifat hakekat kaidah-kaidah hukum internasional tertuang dalam putusan International Court of Justice dalam perkara Colombian Peruvian Asylum Case tahun 1950, yaitu :
- Kaidah-kaidah regional tidak perlu tunduk kepada kaidah hukum internasional umum tetapi mungkin saja dalam pengertian saling mengisi atau saling berkaitan.
- Suatu pengadilan internasional harus, sepanjang menyangkut negara-negara dalam wilayah khusus terkait, memberlakukan kaidah-kaidah regional tersebut sepanjang benar-benar terbukti memenuhi syarat dari pengadilan.
Tujuan hukum internasional tidak hanya semata-mata untuk pemeliharaan perdamaian, akan tetapi juga untuk membentuk suatu kerangka kerja dalam hubungan-hubungan internasional serta memberikan suatu sistem kaidah-kaidah untuk memperlancar pergaulan internasional. Cita-cita hukum internasional haruslah merupakan suatu sistem hukum yang sempurna di mana setiap hak manusia dapat ditegakkan secara cepat, murah, dan pasti.
Semoga bermanfaat.