Haji Oemar Said Tjokroaminoto, "de Ongek Roonde van Java"

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Haji Oemar Said Tjokroaminoto atau biasa dikenal dengan nama H.O.S Tjokroaminoto, lahir di Desa Bakur, Ponorogo, Jawa Timur pada tanggal 16 Agustus 1882. Tjokroaminoto merupakan anak kedua dari duabelas orang bersaudara. Ayahnya bernama Raden Mas Tjokroamiseno merupakan seorang pegawai pemerintahan dan pamannya Raden Mas Tjokronegoro adalah seorang Bupati Ponorogo pada saat itu.

Setelah menamatkan pendidikan dasar, Tjokroaminoto melanjutkan pendidikannya di OSVIA Magelang, yaitu sekolah calon pegawai pemerintahan. Setelah menamatkan pendidikannya di OSVIA, pada tahun 1902, Tjokroaminoto bekerja sebagai juru tulis di kantor pemerintahan di Ngawi Jawa Timur. Setelah beberapa tahun bekerja sebagai seorang juru tulis, ia lalu pindah ke Surabaya dan menekuni usaha dagang di sebuah perusahaan.

Kepindahannya ke kota Surabaya pada akhirnya tidak hanya untuk menekuni usaha dagang. Perkenalannya dengan Hadji Samanhudi, seorang pendiri dan pemimpin Serikat Dagang Islam (SDI) membawa Tjokroaminoto terjun ke dunia politik. Atas usulnya Serikat Dagang Islam pada tanggal 10 September 1912 berubah nama menjadi Serikat Islam (SI). Karena menurut Tjokroaminoto kata "Dagang" akan mempersempit gerak organisasi.  Tjokroaminoto diangkat sebagai ketua Serikat Islam setelah sebelumnya menjabat sebagai komisaris Serikat Islam. Di bawah pimpinannya Serikat Islam mengalami kemajuan yang pesat dan berkembang menjadi partai Islam terbesar pada masa itu. Bisa dibayangkan pada tahun 1912 Serikat Islam telah memiliki dua juta limaratus ribu orang anggota. Hal ini membuat pemerintah kolonial Belanda kuatir. Sejak saat itu pemerintah Belanda mulai membatasi kekuasaan pengurus pusat dan pengurus daerah Serikat Islam. Situasi ini menjadikan kesenjangan antara pusat dan daerah yang menyebabkan kesulitan dalam hal mobilisasi para anggotanya.

H.O.S Tjokroaminoto merupakan seorang pejuang yang gigih. Pada periode tahun 1912 sampai dengan tahun 1916, bersama-sama dengan para pemimpin Serikat Islam yang lain, Tjokroaminoto bersikap lebih moderat terhadap pemerintah Belanda. Tujuannya adalah untuk memperjuangkan penegakkan hak-hak manusia dan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Dalam setiap kongres Serikat Islam, Tjokroaminoto mulai selalu melemparkan ide tentang pembentukan bangsa (nation) dan pemerintahan sendiri yang mandiri.

Pada tanggal 25  Nopember 1918, bersama-sama dengan tokoh pergerakan nasional yang lain, yaitu Abdoel Moeis dan Tjipto Mangunkusumo mengajukan tuntutan kepada pemerintah kolonial Belanda yang dikenal dengan "Janji Nopember". Beberapa tuntutan yang diajukan tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Pembentukan Dewan Negara, yang terdiri dari semua wakil kerajaan.
  2. Pertanggungjawaban pemerintah Hindia Belanda terhadap perwakilan rakyat.
  3. Pertanggungjawaban keuangan terhadap perwakilan rakyat.
  4. Reformasi pemerintahan dan desentralisasi.
Ketua Parlemen Belanda menganggap tuntutan yang dituangkan dalam Janji Nopember tersebut mengada-ngada dan menolak segala tuntutan tersebut. Atas penolakan tersebut pengurus pusat Serikat Islam pada kongres nasionalnya yang diadakan di Yogyakarta pada tanggal 2 - 6 Maret 1921 merumuskan suatu tujuan politik, yaitu merebut kemerdekaan Indonesia dari tangan Belanda. Dalam pidatonya, Tjokroaminoto selalu membela hak rakyat Indonesia, terutama karena adanya perampasan hak milik tanah masyarakat Indonesia untuk dijadikan perkebunan Belanda. Ia juga meminta penyetaraan nasib antara dokter pribumi dan dokter Belanda.

Sebagai akibat dari isi pidato-pidatonya tersebut, yang dianggap menghasut dan memberontak kepada pemerintah Hindia Belanda, akhirnya pada bulan Agustus 1921 Belanda menangkap dan menjebloskan Tjokroaminoto ke penjara. Setelah tujuh bulan lamanya meringkuk di dalam penjara, pada bulan April 1922 Tjokroaminoto dibebaskan. Setelah bebas Tjokroaminoto mendirikan Organisasi Pembangunan Persatuan  pada tahun 1922 yang berpusat di daerah kedung Jati.

Sebagai seorang tokoh pergerakan nasional, pengetahuan dan kemampuanya dalam berbagai bidang keilmuan menjadikan Tjokroaminoto dianggap sebagai guru yang patut di teladani oleh murid-muridnya. Ajaran dan didikannya terhadap murid-muridnya telah melahirkan beberapa tokoh nasional yang sangat dikenal oleh rakyat Indonesia hingga saat ini. Tiga orang dari murid Tjokroaminoto yang terkenal adalah Soekarno, seorang nasionalis yang merupakan Proklamator Kemerdekaan Indonesia sekaligus presiden pertama Negara Kesatuan Republik Indonesia, Kartosuwiryo, seorang ahli agama yang kemudian dikenal sebagai tokoh dan pemimpin pemberontakan DI/TII yang memproklamirkan Negara Islam Indonesia pada tanggal 7 Agustus 1948, dan terakhir adalah Semaoen, seorang sosialis yang pada tahun 1947 bersama dengan Muso dan Alimin terlibat dalam pemberontakan Partai Komunis Indonesia di Madiun.

Selain seorang politikus, Tjokroaminoto juga seorang penulis. Pada bulan September 1922, Tjokroaminoto menulis sebuah artikel berseri yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku yang berjudul " Islam dan Sosialisme". Tjokroaminoto meninggal dunia di Yogyakarta pada tanggal 17 Desember 1934, jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Nasional Pekuncen Yogyakarta.

Sebagai seorang tokoh yang sangat berpengaruh dan menjadi panutan masyarakat di Jawa, pemerintah Hindia belanda menyebutnya sebagai de ongek roonde van Java atau Raja Jawa yang tidak dinobatkan (Raja tanpa mahkota).

Atas jasa-jasanya dalam memperjuangkan kemerdekaan Negara Indonesia, pemerintah Republik Indonesia memberikan gelar kepada H.O.S Tjokroaminoto sebagai Pahlawan Nasional, berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor : 590 Tahun 1961 tanggal 9 Nopember 1961. Selain itu nama H.O.S Tjokroaminoto juga digunakan sebagai nama jalan di berbagai daerah di Indonesia. Sedangkan rumah H.O.S Tjokroaminoto di Jalan Peneleh VII Nomor : 29 - 31 Surabaya dijadikan sebagai Bangunan Cagar Budaya.

Semoga bermanfaat.