Tuanku Imam Bonjol, lahir pada tahun 1772, di Tanjung Bunga, Pasaman, Sumatera Barat, dengan nama asli Muhammad Sahab. Semasa remaja beliau biasa dipanggil dengan nama Peto Syarif. Sejak kecil, Tuanku Imam Bonjol sudah tertarik untuk mendalami ajaran agama. Pada tahun 1800 - 1802, Tuanku Imam Bonjol
menuntut ilmu agama di Aceh, hingga beliau mendapat gelar Malim Basa. Pada tahun 1803, Tuanku Imam Bonjol kembali ke kampung halamannya di Sumatera Barat, dan belajar ilmu perang dari Tuanku Nan Renceh. Selama hidupnya, Tuanku Imam Bonjol menjadi seorang ulama yang terkenal di Sumatera Barat.
Pada tahun 1807, Tuanku Imam Bonjol berhasil membuat sebuah benteng di Bukit Tajadi, sebagai markas gerakan Kaum Padri. Benteng yang sangat kuat, dengan tinggi 4 meter, tebal tembok benteng hingga 3 meter, keliling benteng sekitar 800 meter, dan berdiri di atas tanah seluas 90 hektar tersebut diberi nama Benteng Bonjol. Di dalam benteng tersebut terdapat perkampungan pasukan Padri. Di dalam benteng tersebut mereka dapat mengerjakan sawah dan ladang untuk keperluan sehari-hari. Sesuai dengan fungsinya, benteng tersebut juga dilengkapi dengan persenjataan perang. Hal ini bertujuan agar pasukan paderi dapat menghadapi pertempuran setiap saat. Benteng Bonjol dipimpin langsung oleh Malim Basa. Oleh karena itu, Malim Basa mendapat gelar Tuanku Imam Bonjol.
Tuanku Imam Bonjol adalah seorang pemimpin yang terkenal dalam gerakan dakwah di Sumatera. Beliau menentang perjudian, adu ayam, minuman keras, dan tembakau. Seiring dengan pergerakan penjajahan Belanda di Sumatera, Tuanku Imam Bonjol juga ikut serta dalam melakukan perlawanan untuk mengusir penjajah Belanda dari bumi Sumatera. Perlawanan Tuanku Imam Bonjol beserta pasukannya dalam berperang melawan pemerintah kolonial Belanda, terkenal dengan sebutan Perang Padri, yang terjadi antara tahun 1821 hingga tahun 1837.
Pada awalnya, Perang Padri terjadi karena pertentangan Kaum Adat dengan Kaum Padri (agama). Kaum Padri berusaha untuk membersihkan ajaran Islam yang telah banyak diselewengkan untuk dikembalikan pada ajaran agama Islam yang murni. Golongan adat yang merasa terancam kedudukannya meminta bantuan kepada Belanda. Maka terjadilah peperangan antara Kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol dengan Kaum Adat yang didukung oleh Belanda. Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan Padri sangat tangguh, sehingga membuat pasukan Belanda kewalahan.
Pada tahun 1824, Belanda mengadakan perjanjian damai dengan Tuanku Imam Bonjol. Perjanjian damai tersebut dikenal dengan nama Perjanjian Masang. Taktik berdamai dengan Kaum Padri yang dilakukan Belanda ini berhasil dicapai dengan diadakannya gencatan senjata. Belanda selanjutnya mengakui kedaulatan Kaum Padri di beberapa daerah di Sumatera Barat. Perjanjian damai dan genjatan senjata ini dimanfaatkan Belanda untuk menark sebagian besar pasukannya dari Sumatera Barat untuk dikirim sebagai bantuan dalam Perang Diponegoro, dan hanya meninggalkan beberapa ratus anggota pasukan untuk menjaga benteng dan pusat-pusat pertahanan Belanda di Sumatera Barat.
Lagi-lagi dengan kelicikanya, Belanda ingkar janji. Setelah berhasil memenangkan Perang Diponegoro, dan menangkap Pangeran Diponegoro, Belanda kembali menarik pasukannya di Jawa untuk menyerang Kaum Padri. Melihat kelicikan Belanda tersebut, Kaum Adat yang tadinya mendukung Belanda, berbalik arah, mereka bergabung dengan Kaum Padri untuk ikut memerangi Belanda. Tahun 1833, terjadi pertempuran antara gerakan perlawanan rakyat Sumatera Barat yang terdiri dari gabungan Kaum Padri dan Kaum Adat yang dipimpin langsuung oleh Tuanku Imam Bonjol melawan pasukan Belanda. Dalam pertempuran tersebut, Belanda mengalami kekalahan dan tidak berhasil menaklukkan Benteng Bonjol. Kekalahan tentara Belanda tersebut membuat marah Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia. Ia kemudian mengirim panglima tertinggi Mayor Jenderal Coclius ke Bukittinggi untk kembali menyerang Benteng Bonjol.
Setelah terjadi pertempuran yang sengit, akhirnya pada tanggal 16 Agustus 1837, Benteng Bonjol yang megah dapat ditaklukkan oleh Belanda. Tuanku Imam Bonjol berhasil menyelamatkan diri dan tetap melanjutkan perang secara gerilya terhadap Belanda.
Karena merasa kewalahan dalam menghadapi perlawan Tuanku Imam Bonjol, Residen Francis di Padang mengirim surat kepada Tuanku Imam Bonjol untuk berunding. Tawaran tersebut diterima oleh Tuanku Imam Bonjol beserta pasukannya. Tempat perundingan yang dipilih adalah daerah Pelupuh.
Pada tanggal 28 Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol beserta pasukannya keluar dari Bukit Gadang menuju Pelupuh. Sesampainya di Pelupuh, Belanda kembali berbuat licik, bukannya perundingan yang terjadi, tetapi Tuanku Imam Bonjol beserta pasukannya dijebak. Tuanku Imam Bonjol berhasil ditangkap Belanda, lalu ditawan di Bukittinggi. Setelah itu, beliau diasingkan secara berpindah-pindah, dari Cianjur, Ambon, sampai terakhir dibuang di Manado. Setelah menjalani pembuangan selama 27 tahun, akhirnya Tuanku Imam Bonjol wafat pada usianya yang ke 92 tahun, pada tanggal 8 Nopember 1864. Jenazah Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di Lotan, Pineleng, Minahasa, Manado, Sulawesi Utara.
Atas jasa-jasanya dalam melawan pemerintah kolonial Belanda, Pemerintah Republik Indonesia menganugerahi Tuanku Imam Bonjol gelar sebagai Pahlawan Nasional, berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia, tanggal 6 Nopember 1873, Nomor : 087/TK/tahun 1973. Selain itu sebagai penghargaan atas jasa-jasa beliau, nama Tuanku Imam Bonjol oleh pemerintah diabadikan sebagai nama jalan di beberapa kota di Indonesia, stadion olah raga, dan universitas. Pemerintah Republik Indonesia melalui Bank Indonesia, pada tanggal 6 Nopember 2001 juga mengeluarkan lembaran uang Rp. 5.000 yang bergambar Tuanku Imam Bonjol.