Sri Susuhunan Pakubuwono VI, lahir di Surakarta, pada tanggal 26 April 1807. Terlahir dengan nama asli Raden Mas Sapardan. Beliau adalah keturunan raja di Kasunanan Surakarta. Ayahnya adalah Pakubuwono V sedangkan ibunya bernama Raden Ayu Sosrokusumo.
Sri Susushunan Pakubuwono VI pernah dijuluki dengan nama Sinuhun Bangun Tapa karena kegemarannya melakukan tapa brata. Setelah ayahnya wafat, di usianya yang masih muda yaitu 16 tahun, ia naik tahta menggantikan posisi ayahnya memerintah Kasunanan Surakarta, mulai tahun 1823 - 1830, dengan gelar Sri Susuhunan Pakubuwono VI.
Di usianya yang masih muda itu Sri Susuhunan Pakubuwono VI, harus bisa memimpin rakyat, para bangsawan istana, sekaligus berhadapan dengan pemerintah pendudukan Belanda. Selama memerintah Kasunanan Surakarta, pemerintahan Pakubuwono VI merupakan masa yang sulit. Hal ini disebabkan karena Belanda terlalu jauh ikut campur dalam urusan kerajaan. Ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan Belanda sangat berpengaruh di ligkungan istana, termasuk dalam pengangkatan seorang raja.
Penetapan pengaturan pengangkatan seorang raja oleh Belanda sangat merendahkan martabat para raja. Belanda selalu meminta upeti berupa wilayah, sehingga wilayah kerajaan semakin berkurang (sempit) setiap kali terjadi pengangkatan seorang raja baru. Sri Susuhunan Pakubuwono VI sebenarnya tidak ingin mentaati peraturan yang telah dibuat Belanda tersebut. Beliau ingin menyatukan rakyat dan para bangsawan untuk menentang Belanda. Akan tetapi, beliau sadar bahwa sikap para bangsawan saat itu tidaklah sama. Di antara bangsawan istana tersebut masing-masing masih memikirkan kepentingan-kepentingannya sendiri. Oleh karena itu, antara raja dan kaum bangsawan timbul sikap saling curiga. Situasi ini sangat menguntungkan Belanda. Pemerintah Belanda memanfaatkan situasi tersebut untuk menyingkirkan pihak-pihak yang anti terhadap Belanda.
Masalah campur tangan Belanda terhadap Kasunanan Surakarta ini dirasakan dan ketahui oleh Pangeran Diponegoro di Keraton Yogyakarta. Karena sebagaimana yang terjadi di Kasunanan Surakarta, Belanda pun juga melakukan hal yang sama, terlalu ikut campur urusan Keraton Yogyakarta. Pada saat itu, Pangeran Diponegoro secara terang-terangan melakukan perlawanan terhadap Belanda. Karena merasa satu tujuan dengan Pangeran Diponegoro, Sri Susuhunan Pakubuwono VI membantu perlawanan yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro untuk mengusir Belanda. Hal tersebut dilakukan secara diam-diam tanpa sepengetahuan Belanda. Sri Susuhunan Pakubuwono VI pernah melakukan pertemuan diam-diam dengan Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Bahkan beliau juga mengirimkan pasukan dan beberapa pusaka keraton kepada Pangeran Diponegoro. Agar Belanda tidak curiga, Sri Susuhunan Pakubuwono VI tetap mengirimkan pasukannya untuk berpura-pura bekerja sama dengan Belanda.
Tapi sayang, usaha yang dilakukan oleh Sri Susuhunan Pakubuwono VI tersebut akhirnya diketahui oleh Belanda. Jenderal de Kock yang ada di Surakarta mencurigai gerak gerik beliau. Kecurigaan Jenderal de Kock berawal ketika Sri Susuhunan Pakubuwono VI menolak untuk menyerahkan beberapa wilayah Surakarta kepada Belanda. Sri Susuhunan Pakubuwono VI dianggap tidak dapat dipercaya dan tidak setia kepada Belanda. Oleh karena itu, Belanda berusaha untuk menjatuhkan dan menyingkirkan Sri Susuhunan Pakubuwono VI.
Pada saat Sri Susuhunan Pakubuwono keluar istana untuk berziarah ke makam Imogiri, pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel Sollewijn berhasil menangkapnya. Pada tanggal 14 Juni 1830, Belanda menurunkan Sri Susuhunan Pakubuwono VI dari tahta Kasunanan Surakarta dengan alasan beliau berusaha untuk mempersiapkan pemberontakan. Sri Susuhunan Pakubuwono VI kemudian ditahan di Semarang, dan selanjutnya diasingkan ke Ambon. Pada tanggal 2 Juni 1849, Sri Susuhunan Pakubuwono akhirnya wafat di pengasingannya di Ambon. Pada tahun 1959, Pemerintah Republik Indonesia memindahkan jenazah beliau ke Pemakaman Imogiri, Yogyakarta.
Atas perjuangannya dalam melawan pemerintah pendudukan Belanda tersebut, Pemerintah Republik Indonesia menganugerahi gelar kepada Sri Susuhunan Pakubuwono VI sebagai Pahlawan Nasional, berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia, tanggal 17 Nopember 1964, Nomor : 294 Tahun 1964.