Saat mempelajari filsafat, tentang sejarah dan perkembangan filsafat, terkadang muncul pertanyaan di benak kita : Adakah hubungan esensial antara filsafat dengan agama ? Pertanyaan itu muncul karena dalam sejarah, kita mengetahui bahwa filsafat banyak menghadapi kekejaman, kekerasan, dan penindasan dari sebagian pemuka agama yang fanatik.
gambar : rumahfilsafat.com |
Sejarah juga telah memperlihatkan usaha sebagian filsuf, khususnya pada masa kebangkitan Eropa/Renaissance, untuk membebaskan diri dari kungkungan agama. Sebagian dari filsuf tersebut melarikan diri dari jalan keimanan dan tersesat di tengah-tengan kerancuan berfikir yang sedikit banyak telah menjauhkan mereka dari agama Tuhan.
Sebetulnya bisa dikatakan bahwa tidak pernah ada pertentangan antara filsafat dengan agama. Bahkan, dalam pandangan sebagian filsuf, dengan berfilsafat dapat menopang keimanan. Di sisi lain, keimanan dan keberagamaan tidak melarang seseorang untuk berfikir produktif, kreatif, dan inovatif. Sehingga, bisa saja seseorang menjadi filsuf yang inovatif, sekaligus sebagai orang yang taat beragama, seperti Thomas Aquinas dari kalangan Nasrani Eropa, yang hidup pada abad pertengahan. Atau seperti yang ditunjukkan oleh ulama-ulama kalam dari kalangan pemikir muslim yang merepresentasikan integrasi antara berfilsafat yang benar dengan keberagamaan yang mantap.
Yang dimaksudkan dengan agama dalam hubungannya dengan filsafat, bukan agama dalam pengertian yang luas, seperti yang dipahami oleh sebagian pemikir Eropa yang menggunakan istilah agama dalam pengertian segala bentuk kepercayaan manusia, termasuk yang bersifat khurafat atau tahayyul yang banyak berkembang sejak jaman kuno dalam masyarakat primitif dan masyarakat beradab. Pengertian agama di sini dibatasi pada agama-agama samawi yang diterima manusia melalui wahyu yang turun dari langit dan dibawa oleh para rasul Allah. Atau dalam kata lain, yang dimaksud dengan agama adalah satu bentuk ketetapan Ilahi yang mengarahkan mereka yang berakal , dengan pilihan mereka sendiri terhadap ketetapan Ilahi, kepada kebaikan hidup dunia dan kebahagiaan hidup di akherat.
Berdasarkan definisi tersebut, ada beberapa kriteria yang bisa di dapat dalam sebuah agama, yaitu :
- Agama adalah sebuah sistem yang datang dari langit (Tuhan).
- Tujuan agama adalah mengarahkan dan membimbing akal manusia.
- Dasar beragama adalah kebebasan pilihan.
- Agama wakyu membawa kebaikan hidup di dunia dan akhirat.
Hal pendefinisian agama tersebut tidaklah sempurna bila tanpa melihat pokok-pokok akidah keagamaan yang benar, yang merupakan dasar dari semua agama samawi, yaitu :
- Kepercayaan terhadap satu Tuhan yang Maha Kuasa, terbebas dari kemiripan dengan mahkluk, serta tak berawal ataupun berakhir dalam wujud-Nya.
- Kepercayaan terhadap wujud alam lain, dimana di dalamnya terdapat mahkluk-mhkluk dari jenis lain, seperti malaikat dan jin.
- Kepercayaan terhadap pengutusan para rasul Tuhan untuk mengajarkan manusia bagaimana cara menjalani hidup.
- Kepercayaan terhadap adanya kehidupan lain setelah kehidupan dunia ini, dimana kita akan dimintauperhitungan dan diberi pembalasan sesuai dengan amal perbuatan kita. Jika baik dibalas baik, jika buruk dibalas buruk.
Filsafat Yunani muncul terpisah dari agama Yunani yang penuh dengan khurafat dan mitos. Hal ini berbanding terbalik dengan bangsa Yahudi yang sangan mengagumi filsafat Yunani dan menganggapnya sebagai medan berpikir untuk akal, sambil tetap berpegang pada kitab suci mereka beserta ajaran-ajaran yang terdapat di dalamnya. Karena itu mereka berusaha untuk membungkus keyakinan agama mereka dengan pola filsafat. Menurut mereka tujuan filsafat adalah untuk berbakti kepada hidup beragama.
Pada abad pertengahan, bangsa Eropa menjadikan filsafat sebagai sarana untuk mengharmonisasikan antara akal dengan apa yang dibawa oleh agama. Bahkan para ahli teologi di Barat dan ahli kalam di dunia Islam telah menjadikan filsafat sebagai tameng pertahanan akidah dengan segala argumentasi rasionalnya.
Kekuasaan agama selama beberapa lama pernah begitu kejam memusuhi filsafat. Seperti yang terjadi pada masa kebangkitan Eropa (Renaissance) dan pada masa Islam pada mereka yang fanatik menentang kebebasan berfikir. Saat itu, mereka ingin membelenggu pemikiran manusia sambil menjadikan diri mereka sebagai panglima bagi akal atau pemikiran. Dengan begitu, sesungguhnya mereka telah mengotori agama dan ajaran-ajaran leluhurnya, karena sesungguhnya agama sangat menghargai akal. Mereka juga berarti telah mengkhianati filsafat dan ilmu pengetahuan. Jadi sebenarnya, pertentangan yang ada bukanlah antara filsafat dengan agama, melainkan antara filsafat dengan para pemuka agama yang fanatik tersebut.
Hal-hal yang terjadi pada masa itu, tidak lantas melemahkan semangat sebagian besar filsuf untuk terus mempertahankan dan membela filsafat. Sebagai contoh adalah Rene Descartes, seorang yang sangat mengagungkan rasio, sama sekali tidak mau menerima sesuatu yang berkaitan dengan agama, prinsip-prinsip etika, dan tradisi budaya. Baginya rasiolah yang menentukan corak hidup kemanusiaan. (dari buku Cara Mudah Belajar Filsafat, Dr. Fu'ad Farid Isma'il dan Dr. Abdul Hamid Mutawalli)