Sastra merupakan sebuah cermin atau gambaran mengenai kenyataan. Aristoteles menyatakan bahwa seorang pengarang justru karena daya cipta artistiknya mampu menampilkan perbuatan manusia yang universal. Pendapat serupa dapat ditemui di tengah-tengah kaum kritisi marxis. Karena susunan artistiknya maka sebuah karya sastra dapat menampilkan suatu gambaran menyeluruh tentang kenyataan.
Bagaimanakah teori fiksionalitas berkaitan dengan teori yang mengatakan bahwa bahwa sastra menciptakan sebuah dunia sendiri, sebuah dunia dengan kata-kata, sebuah dunia yang serba baru, yang kurang lebih lepas dari kenyataan ?
Pertentangan antara mimesin dan teori creatio sebetulnya tidak begitu setajam yang dibayangkan, bahkan kedua teori ini saling melengkapi. Namun jelas bahwa dalam dunia sastra dilukiskan banyak hal yang dalam kenyataan tidak pernah ada. Misalnya saja dalam teks-teks sastra, kita dihadapkan dengan tokoh-tokoh dan situasi-situasi yang hanya terdapat dalam khayalan si pengarang. Teks-teks yang mengandung unsur-unsur khayalan tersebut disebut teks-teks fiksi (fiksional). Sebuah cerita atau novel, hubungan antara tokoh-tokoh atau situasi-situasi yang dilukiskan di satu pihak dan kenyataan di lain pihak, berlawanan sama sekali. Pada umumnya tidak dapat dicek, apakah sebuah situasi seperti diceritakan dalam novel tersebut sesuai dengan kenyataan, dan biarpun hal tersebut dapat dicek kembali, namun hal tersebut tidak ada gunanya, karena dengan demikian teks itu tidak bertambah kadar kepercayaannya.
Bahwa sebuah teks fiksi menciptakan suatu dunia sendiri yang harus dibedakan dari kenyataan, maka seketika timbul pertanyaan, bagaimana hubungan antara dunia dengan kenyataan. Dengan kata lain, sejauh mana dunia fiksi berbeda dengan dunia nyata. Dunia fiksi sebagai suatu dunia lain berdiri di samping kenyataan, tetapi menurut beberapa aspek menunjukkan persamaan juga dengan kenyataan. Sekalipun seorang pengarang melampiaskan daya khayalnya dengan menciptakan makhluk-makhluk yang tidak ada, yang hidup di dalam suatu lingkungan khayalan, namun tetap ada kaitan-kaitan tertentu antara tokoh-tokoh, dan perbuatan mereka, yang dapat dimengerti oleh pembaca dan dapat diterima berdasarkan pengertiannya mengenai dunia nyata, seperti misalnya hubungan ruang dan waktu, hubungan sebab dan akibat, dan pola-pola bereaksi secara psikologis.
Tidak benar bahwa sebuah teks fiksi menciptakan suatu dunia yang serba baru, karena andai kata dunia itu serba baru, berarti bahwa teksnya tidak dapat dimengerti. Dunia yang diciptakan pengarang oleh pembaca selalu dialami berdasarkan pengetahuannya tentang dunia nyata, termasuk pengetahuannya tentang tradisi sastra. Kadang-kadang dunia ciptaan itu mirip dengan kenyataan (misalnya pada novel yang realistik atau otobiografi), dan kadang-kadang menyimpang jauh dari kenyataan (misalnya pada science fiction dan dongeng). Pembaca yang berhadapan dengan sebuah teks fiksi terus menempatkan diri di dalam sebuah kerangka bayangan fiksional, artinya kadar fiksionalitas yang dapat dilaksanakan oleh teks. Dalam sebuah dongeng terjadilah hal-hal yang tidak dapat terjadi di dalam sebuah roman sejarah, karena di dalam dongeng itu kerangka bayangan lebih jauh dari kenyataan dan dimensi fiksi memberikan peluang gerak yang lebih luas. Misalnya, dalam dunia dongeng dapat saja terjadi binatang-binatang berbicara ataupun manusia menjadia binatang. Pembaca akan menerima hal tersebut karena itu sesuai dengan kerangka bayangan sebuah dongeng. Tetapi hal tersebut tidak akan bisa diterima oleh pembaca, jika hal tersebut terjadi di dalam sebuah roman sejarah.
Kadang-kadang memang sulit untuk membedakan sebuah teks fiksi dari sebuah teks non fiksi. Sebagai contoh adalah dalam cerita otobiografi si pengarang. Pengarang menceritakan fakta dari hidupnya sendiri, ia berpretensi melukiskan kenyataan. Tetapi mungkin juga ada hal-hal yang diciptakannya lain dari apa yang sesungguhnya terjadi. Pembaca lalu memutuskan, apakah otobiografi itu dibacanya sebagai sebuah cerita fiksi atau non fiksi. Masalah-masalah tersebut terjadi bila kita membandingkan novel-novel historis dan telaah-telaah historis. Sebuah telaah historis terikat akan kenyataan dan tidak boleh menyimpang, sedankan kerangka bayangan fiksi yang membatasi sebuah novel historis mendekati kenyataan, tetapi memberikan peluang juga untuk fiksionalitas. Tokoh, peristiwa, dan tempat ada dalam kenyataan dan tidak dapat diubah lagi. Tetapi ada peluang bagi daya khayal dalam bidang perbuatan. Misalnya dalam hal omongan dan hubungan psikis antara para pelaku.
Banyak peniliti sastra berpendapat, bahwa perbedaan antara fiksi dan non fiksi paralel dengan perbedaan antara teks sastra dan non sastra. Fiksionalitas dijadikan tolak ukur untuk menentukan, apa yang termasuk satra dan apa yang tidak. Hanya saja perlu diperhatikan bahwa unsur fiksi tidak hanya terdapat dalam bidang sastra. Sebuah teks fiksi tidak melukiskan kenyataan, tetapi menampilkan segala macam hubungan dan kaitan yang kita kenal kembali, berdasarkan pengalaman kita sendiri mengenai kenyataan. Itulah sebabnya mengapa teks fiksi sagat cocok untuk melukiskan segi-segi yang khas dalam kenyataan. Dengan melukiskan hal-hal yang jarang terjadi, maka teks fiksi dapat memperlihatkan masalah-masalah dari ilmu jiwa yang berlaku umum, atau suatu aspek dari hidup manusia pada umumnya.