Sastra bukanlah sebuah benda yang kita jumpai, sastra adalah sebuah nama yang dengan alasan tertentu diberikan kepada sejumlah hasil tertentu dalam suatu lingkungan kebudayaan. Semenjak orang mempelajari sastra secara kritis timbul pertanyaan, sejauh mana sastra mencerminkan kenyataan. Sering dikatakan bahwa sastra memang mencerminkan kenyataan, sering juga dituntut dari sastra agar mencerminkan kenyataan. Kedua pendapat itu disebut penafsiran mimetik mengenai sastra.
Mimesis adalah sebuah proses peniruan. Pengertian mimesis (Yunani : perwujudan atau jiplakan) pertama-tama digunakan dalam teori-teori tentang seni seperti diutarakan oleh Plato dan Aristoteles. Mimesis dari abad ke abad sangat mempengaruhi teori-teori mengenai seni dan sastra di Eropa.
Mimesis pertama kali dijumpai dalam karangan Plato tentang Negara. Plato memperlihatkan sikapnya yang negatif terhadap seni, karena menurut Plato, seni hanya menyajikan suatu ilusi tentang kenyataan dan tetap jauh dari kebenaran. Jalan pikiran Plato adalah sebagai berikut, dalam kenyataan yang dapat diamati, setiap benda mencerminkan suatu ide yang asli, terdapat aneka macam bentuk ranjang dan meja, tetapi itu semua berasal dari ide atau gambar induk mengenai sebuah ranjang dan sebuah meja. Bila seorang tukang membuat sebuah ranjang, ia menjiplak ranjang seperti terdapat dalam dunia ide-ide. Jiplakan selalu tidak menyamai aslinya. Kenyataan yang dapat kita amati dengan panca indera selalu kalah dengan dunia ide. Tetapi seorang tukang lebih dekat dengan kebenaran daripada seorang pelukis atau penyair. Mereka menjiplak kenyataan yang dapat disentuh dengan panca indera. Atau dengan kata lain, mereka menjiplak suatu jiplakan, membuat copy dari sebuah copy. Jiplakan mereka tidak bermutu. Satu-satunya yang dapat mereka capai ialah gambar-gambar yang kosong, yang mengambang.
Menurut Plato, tukang-tukang yang mebuat barang-barang lebih berguna daripada orang-orang yang hanya melukiskan barang-barang itu. Para penyair kalah penting dibandingkan dengan para pembuat undang-undang, penemu-penemu, dan lain sebagainya. Karena mereka hanya menggambarkan sesuatu, maka mereka tidak pernah dapat dijadikan contoh atau teladan. Oleh karena itu, menurut Plato para penyair tidak ada gunanya di dalam sebuah negara ideal.
Aristoteles bertolak belakang dengan Plato, menurut Aristoteles mimesis adalah seni melukiskan kenyataan. Penampakan kenyataan dan ide-ide tidak lepas antara satu dengan yang lainnya. Dalam setiap obyek yang kita amati di dalam kenyataan terkandung idenya dan itu tidak dapat dilepaskan dari obyek tersebut. Bagi Aristoteles mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan merupakan sebuah proses kreatif. Penyair sambil bertitik pangkal pada kenyataan, menciptakan sesuatu yang baru. Dengan bermimesis penyair menciptakan kembali kenyataan. Adapun bahannya adalah barang-barang seperti adanya, atau barang-barang seperti pernah ada, atau seperti kita bayangkan, atau seperti ada menurut pendapat orang, atau seperti seharusnya ada yaitu fakta dari masa kini atau masa silam, kenyakinan, dan cita-cita.
Berdasarkan pendapatnya mengenai kenyataan serta mimesis, maka Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Poetica, mengutarakan beberapa pandangan yang bagi perkembangan teori sastra selanjutnya sangatlah penting. Ia tidak lagi memandangsastra sebagai suatu copy atau jiplakan mengenai kenyataan, melainkan sebagai suatu ungkapan atau perwujudan mengenai universalia atau konsep-konsep umum. Dan hal tersebut tidaklah sama seperti pandangan Plato, yaitu dunia ide, melainkan sebagai pikiran, perasaan, dan perbuatan yang khas bagi seorang manusia. Itulah sebabnya mengapa Aristoteles menilai sastra lebih tinggi dari pada penulis sejarah. Dalam sejarah hanya ditampilkan sebuah peristiwa yang hanya satu kali terjadi, sebuah fakta. Tetapi dalam sastra, lewat sebuah peristiwa kangkret, dibeberkan suatu pemandangan yang umum dan luas.
Pada jaman Renaissance dijumpai dengan suatu tafsiran mengenai konsep mimesis seperti Plato yang telah dipengaruhi oleh pandangan Plotinus, seorang filsuf Yunani yang hidup pada abad ke-3 Masehi. Teori ini menafsirkan seni tidak sebagai suatu pencerminan langsung mengenai ide-ide. Pandangan ini kemudia melahirkan pendapat, bahwa susunan kata dalam sebuah karya sastra tidak menjiplak begitu saja secara dangkal kenyataan indrawi, melainkan mencerminkan suatu kenyataan hakiki yang lebih luhur. Lewat pencerminan kita dapat menyentuh sebuah dimensi lain yang lebih mendalam.
Konsep mimesis Aristotelis sering ditafsirkan secara sempit. Menampilkan yang universal dalam perbuatan manusia lalu ditafsirkan seolah-olah seorang pengarang menciptakan tipe-tipe sosial yang khas bagi suatu tempat atau krun waktu tertentu. Pada jaman Renaissance, tiruan terhadap suatu gaya hidup tertentu dikaitkan dengan suatu gaya sastra tertentu.
Semenjak jaman Romantik, teori mimesis yang klasik digeserkan. Aliran Romantik memperhatikan hal-hal yang tidak riil, yang tidak masuk akal. Apakah dalam sebuah karya seni kenyataan indrawi ditampilkan sehingga kita dapat mengenalnya kembali, tidak diutamakan lagi. Tetapi dalam ilmu sastra modern teori Aristoteles mengenai mimesisdiperhatikan kembali. Di samping pendapat bahwa sastra menciptakan suatu kenyataan sendiri, terdapat juga suatu teori, bahwa sastra membuat sebuah bagan mengenai kenyataan.
Berbagai teori mimesis tersebut mempunyai satu unsur yang sama, yaitu perhatian diarahkan kepada hubungan antara gambar dan apa yang digambarkan. Tolak ukur estetik pertama adalah sejauh mana gambar itu sesuai dengan kenyataan. Apakah kenyataan itu merupakan dunia ide, dunia universal atau dunia yang khas, itu tidak begitu penting.