Cerita Cinderella berkisah tentang seorang gadis miskin yang menderita karena disiksa ibu dan saudari-saudari tirinya, Ia kemudian mendapatkan pertolongan dari ibu peri dan akhirnya dapat menikah dengan seorang pangeran tampan. Cinderela pun hidup bahagian selamanya dengan sang pasangan.
Nama sindrom Cinderella memang diambil dari kisah Cinderella tersebut. Perempuan yang mengalami sindrom Cinderella tersebut kurang lebih sangat mendambakan kisah hidup mirip Cinderella. Mereka percaya bahwa keajaiban yang terjadi pada Cinderella juga akan terjadi padanya. Perempuan dengan sindrom Cinderella percaya bahwa suatu saat ia akan mendapatkan keajaiban dan menunggu hadirnya sosok seorang 'pangeran' yang akan mengubah hidup dan nasibnya.
Sebetulnya tidak ada yang salah dengan mempercayai keajaiban ataupun mendambakan seorang yang sesempurna pangeran. Yang menjadi salah adalah jika perempuan yang memiliki sindrom Cinderella ini akhirnya tidak berbuat apa dan hanya menunggu kedatangan ibu peri untuk menolongnya. Selain itu, perempuan dengan sindrom Cinderella selalu merasa lemah sehingga perlu dilindungi. Hal tersebut menjadikannya seorang pemimpi, ia tidak melakukan usaha untuk mewujudkan mimpinya itu.
Sindrom Cinderella muncul karena dari dulu, di manapun, perempuan selalau dianggap mahkluk yang lemah, mahkluk nomor dua, di bawah laki-laki. Hal inilah yang membuat kaum hawa selalu dianggap lemah dan membutuhkan perlindungan. Ini juga yang membuat kaum perempuan merasa ketakutan bila mendapat tanggung jawab yang lebih berat dari laki-laki. Mereka merasa tidak akan mampu.
Dalam banyak kasus dewasa ini, khususnya dalam dunia kerja, banyak wanita mengalami ketakutan ketika naik jabatan. Penyebabnya sama, yaitu sindrom Cinderella. Kemunculan pikiran-pikiran negatif secara otomatis menimbulkan sugesti dan mendorong perempuan berperilaku seperti Cinderella. Dalam hal karier tentu saja hal ini menjadi penghambat. Seorang perempuan karier yang mengidap sindrom Cinderella cenderung lebih pasif dan tidak menunjukkan kemampuan optimalnya. Tentunya dalam kondisi seperti itu ia akan cenderung tidak mempunyai prestasi, karena ia akan malas berusaha dan haya menunggu datangnya keajaiban. Kalaupun menginginkan jabatan, ia ingin jabatan yang posisinya nyaman. Dalam dunia kerja profesional, hal tersebut pastilah sangat jarang terjadi, karena kenaikan jabatan atau karier harus disertai dengan kerja keras dan usaha untuk meraihnya.
Selain tipe menunggu seperti tersebut di atas, ada juga tipe perempuan yang harus selalu dilindungi dan berharap memiliki pangeran tampan yang mempu menyediakan segala kebutuhannya. Perempuan karier dengan tipe ini cebderung tidak mau menerima tanggung jawab lebih. Alasannya bermacam-macam, bisa kerena takut melebihi suami atau karena takut menelantarkan keluarga secara berlebihan. Perempuan kelompok ini biasanya malah berharap suatu saat nanti tak perlu susah-susah bekerja karena suaminya akan menjadi pangeran seperti dalam dongeng. Kesempatan untuk menduduki posisi yang lebih tinggi tak lagi menjadi bagian targetnya. Yang diinginkan adalah kenyamanan dan keamanan. Perempuan seperti ini biasanya rela meninggalkan karier yang mungkin pernah menjadi targetnya demi kenyamanan. Dalam hal sindrom Cinderella seperti tersebut, efeknya baru akan dirasakan ketika menginjak usia senja. Di saat tidak punya pekerjaan yang cukup menyibukkan. Sementara anak-anak sudah besar dan tidak lagi membutuhkan perhatian penuh, ia akan kehilangan power. Akibatnya, untuk mengisi waktu luang malah bisa jadi mengganggu dan membuat tidak nyaman orang-orang terdekat. Misalnya saja suka menelepon atau mengajak pergi yang tidak ada manfaatnya.
Setiap manusia butuh mengaktualisasikan diri dengan bekerja atau berkarya, termasuk perempuan. Hidup seharusnya bermanfaat bagi orang lain. Ketika berhenti berkarier dan memilih mengurus keluarga atau enggan naik jabatan yang lebih tinggi, sebaiknya telah mempertimbangkannya dengan matang. Bila merasa keputusan diambil semata-mata karena obsesi untuk dimanja, lebih baik pikiran tersebut dilawan dan usir sindrom Cinderella tersebut. Cara yang paling gampang untuk melawan pikiran tersebut atau sindrom Cinderella adalah dengan berpikir lebih realistis dan merenungkan kembali apa tujuan hidup sesungguhnya.
Mulailah dengan bertanya kepada diri sendiri, hidup seperti apa yang diinginkan di masa depan. Kemudian lanjutkan dengan menyadari potensi-potensi yang dimiliki. Sayang jika potensi yang dimiliki tersebut disia-siakan begitu saja. Tumbuhkan kepercayaan, walaupun seorang perempuan, tapi memiliki kemampuan yang sama baiknya dengan lawan jenis. Jangan hanya menunggu keajaiban, ciptakan dan bentuklah kehidupan dengan usaha sendiri, bukan hanya untuk kepentingan pribadi, tapi untuk pasangan dan keluarga. (dari majalah Sekar)