Tanah adalah sesuatu yang suci, begitu anggapan sebagian masyarakat Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Dengan adanya anggapan tersebut, sebagian masyarakat di Tana Toraja memanfaatkan lokasi lain sebgai tempat peristirahatan terakhir bagi orang-orang yang sudah meninggal.
Wilayah Tana Toraja terletak di dataran tinggi, dengan banyak pegunungan yang rimbun ditumbuhi pepohonan. Di gunung-gunung itulah masyarakat Tana Toraja menyimpan peti-peti mati. Lubang-lubang dikeruk sedemikian rupa sehingga menjadi ruang penyimpanan peti mati. Yang unik adalah, lubang-lubang tersebut tidak hanya terletak di dasar gunung, melainkan juga di bagian gunung yang menjulang tinggi. Makam-makam seperti itu dapat ditemui di daerah Lemo, Londa, Kete Kesu, Nanggala, dan Marante.
Berdasarkan informasi dari Toraja Cyber News, dibutuhkan waktu hingga 300 hari untuk membuat rongga batu yang ukurannya hanya 2 x 2 meter. Biaya pembuatannya pun tidak murah, hingga mencapai Rp. 14 juta atau bahkan lebih. Itulah sebabnya jenazah tidak langsung dimakamkan. Keluarga yang ditinggalkan harus mengumpulkan terlebih dahulu uang yang dibutuhkan untuk membiayai pembuatan kuburan dan upacara adat. Sementara itu, jenazah yang akan dimakamkan dibungkus dulu dalam beberapa lapis kain dan diletakkan di bawah "tongkonan", rumah adat Toraja.
Ritual pemakaman sendiri adalah ritual termahal dan terumit di Tana Toraja, tetapi juga yang paling terkenal. Acara adat pemakaman tersebut tidak selesai dalam satu hari, namun bisa memakan waktu sampai berhari-hari. Saat ada orang yang meninggal, masyarakat langsung menyiapkan lokasi upacara yang disebut "rante". Yang dipilih sebagai rante biasanya adalah sebuah tanah lapang. Di lokasi tersebut dibangun lumbung sebagai tempat penyimpanan beras untuk keperluan acara, ruangan-ruangan untuk menampung tamu-tamu yang datang, dan berbagai bangunan lain.
Dalam upacara adat ini, akan dilakukan pemotongan banyak hewan, seperti kerbau dan babi. Semakin tinggi status sosial orang yag meninggal, akan semakin banyak hewan yang dikurbankan. Hewan-hewan tersebut memang pemberian para tamu, tetapi pemberian itu akan dianggap sebagai hutang keluarga almarhum terhadap tamu. Jadi apabila seorang tamu memberikan 10 ekor kerbau kepada keluarga almarhum, maka di masa depan keluarga almarhum harus juga menyumbangkan 10 ekor kerbau kepada seorang tamu tersebut apabila ada keluarganya yang meninggal. Sehingga dapatah dibayangkan jika diberikan 50 ekor kerbau, sama artinya berutang 50 ekor kerbau dan hal itu hanya untuk satu upacara adat.
Di depan makam biasanya diletakkan patung kayu yang merupakan lambang orang yang meninggal. Sebisa mungkin patung yang bernama 'tau tau' tersebut dipahat sehingga menyerupai wajah almarhum atau almarhumah. atung diposisikan menghadap lahan terbuka dan dipakaikan busana berwarna warni. Konon, untuk memasukkan jenazah ke lubang makam yang letaknya tinggi, pemuka adat atau pemimpin kepercayaan animisme akan mengucapkan mantera, dan jenazah akan bangkit dan berjalan sendiri menuju makamnya.
Untuk jenazah bayi yang belum memiliki gigi, disediakan tempat khusus. Tempat ini berupa lubang pohon Tarra'. Pohon ini kaya akan kandungan getah yang dianggap menyerupai air susu ibu. Memasukkan jenazah bayi ke dalam pohon Tarra' dianggap sama dengan mengembalikan sang anak ke rahim ibunya. Model makam seperti ini bisa ditemukan di daerah Kambira. (majalah Sekar)
Semoga bermanfaat.