Unsur-Unsur Perbuatan Pidana

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Untuk dapat mengatakan bahwa suatu perbuatan merupakan suatu perbuatan pidana haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu yang biasa disebut unsur-unsur perbuatan pidana. Pada hakekatnya unsur-unsur perbuatan pidana tersebut adalah sebagai berikut :

1. Adanya perbuatan dan akibat.
Antara perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dan akibat yang timbul dari perbuatan tersebut harus ada hubungan sebab akibatnya, harus ada hubungan kejiwaan, selain dari penggunaan salah satu bagian tubuh, panca indera atau alat-alat lain sehingga terwujud suatu perbuatan. Hubungan kejiwaan tersebut haruslah sedemikian rupa, sehingga pelaku perbuatan pidana dapat menilai perbuatannya, patut atau tidak patut, dan akan dilakukan atau  dihindari perbuatan tersebut.

2. Perbuatan yang dilakukan bersifat melawan hukum.
Sifat melawan hukum dari suatu perbuatan, dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sifat melawan hukum yang subyektif dan sifat melawan hukum yang obyektif. Sikap melawan hukumnya perbuatan tergantung daripada bagaimana sikap batinnya terdakwa. Dalam teori unsur melawan hukum yang demikian itu dinamakan subyektief Onrechtselement yaitu unsur melawan hukum yang subyektif. Jadi meskipun perbuatan pidana pada umumnya adalah keadaan lahir dan terdiri atas unsur-unsur lahir, tapi ada kalanya dalam perumusan juga diperlukan unsur batin yaitu sifat melawan hukum yang subyektif. Unsur melawan hukum dalam rumusan delik tersebut di atas, menunjuk pada :
  • keadaan lahir atau obyektif yang menyertai perbuatan. 
  • keadaan subyektif, yaitu terletak dalam hati sanubari terdakwa sendiri. Misalnya dalam pasal 362 KUH Pidana, dirumuskan sebagai pencurian. Pengambilan barang orang lain, dengan maksud untuk memiliki barang tersebut secara melawan hukum. Sifat melawan hukumnya perbuatan tidak dinyatakan dari hal-hal lahir, tapi digantungkan pada niat orang yang mengambil barang tersebut.

3. Perbuatan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang.
Suatu perbuatan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang, dan barang siapa yang melanggarnya diancam dengan pidana. Berkaitan dengan hal tersebut, van Hamel membedakannya menjadi dua yaitu :
  • mengenai diri orang yang melakukan perbuatan.
  • mengenai di luar diri si pembuat.

Terkadang dalam rumusan perbuatan pidana yang tertentu, dijumpai pula adanya hal ikhwal tambahan yang tertentu. yang merupakan perbuatan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang. Misalnya sebagaimana diatur dalam ketentuan :
  • Pasal 164 KUH Pidana yang menyebutkan : "Barang siapa mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan tersebut pasal 104, 106, 107, 113, 115, 124, dan 187, dan pada saat kejahatan masih dapat dicegah, dengan sengaja tidak memberitahukannya kepada pejabat kehakiman atau kepolisian atau kepada yang terancam, diancam, apabila kejahatan dilakukan, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan."

Pasal tersebut mengatur tentang kewajiban untuk melapor kepada pihak yang berwajib jika mengetahui akan terjadinya suatu kejahatan, orang yang mengetahui dan tidak melaporkan hal tersebut, apabila kejahatan tadi kemudian benar-benar terjadi, bisa dikatakan melakukan perbuatan pidana. Hal kemudian terjadinya kejahatan itu merupakan unsur tambahan. Sehingga dapat dikatakan bahwa keadaan-keadaan yang terjadi kemudian dari perbuatan yang bersangkutan disebut unsur tambahan atau syarat-syarat tambahan untuk dapat dipidananya (strafbaar) seseorang.

Selain unsur-unsur tersebut, masih ada satu unsur lagi yaitu keadaan tambahan yang memberatkan pidana. Hanya saya mengenai unsur tambahan ini, diantara para sarjana masih terdapat perbedaan pandangan :
  • Sebagian dari para sarjana hukum menyatakan bahwa unsur tambahan merupakan unsur perbuatan pidana (strafbaar feit). 
  • Sebagian sarjana hukum lain menyatakan bahwa unsur tambahan, bukanlah merupakan unsur perbuatan pidana. Alasan yang dikemukakan adalah tidaklah mungkin bahwa suatu keadaan yang timbulnya kemudian dari perbuatan, memberikan sifat dilarangnya perbuatan tersebut. Semestinya pembuat undang-undang menentukan bahwa perbuatan yang dilarang tadi menjadi strafwaarding yaitu patut dipidana

Berbeda halnya dengan suatu  keadaan-keadaan tambahan lain yang timbulnya sesudah dilakukannya perbuatan yang tertentu. Misalnya :
  • dalam kasus penganiayaan, menurut pasal 351 ayat 1, 2, dan 3 KUH Pidana diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan. Tetapi jika perbuatan penganiayaan tersebut menimbulkan luka-luka berat, ancaman pidananya diperberat menjadi lima tahun, dan jika mengakibatkan matinya orang yang dianiaya, ancaman pidananya menjadi tujuh tahun.

Pada kasus tersebut bukanlah merupakan  syarat tambahan untuk dapat dipidananya seseorang, melainkanunsur-unsur yang memberatkan pidana, karena dengan keadaan tambahan tersebut, ancaman pidana lalu diperberat. Atau dengan kata lain, tanpa adanya keadaan tambahan tersebut terdakwa telah melakukan perbuatan pidana, yang dapat dituntut untuk dijatuhi pidana sebagaimana diancamkan.

Demikian penjelasan berkaitan dengan unsur-unsur perbuatan pidana.

Semoga bermanfaat.