Aristoteles, Tujuan Terakhir Adalah Kebahagiaan

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Seperti seluh etika Yunani, begitu juga etika Aristoteles mempertanyakan Hidup Yang Baik (euzen) : bagaimana manusia mencapai hidup yang baik ? Yang dimaksud dengan hidup yang baik di sini adalah hidup yang bermutu atau bermakna, suatu hidup yang terasa penuh dan menenteramkan. Seluruh etika Yunani yakin bahwa tidak cukuplah kalau kita hidup. Hidup yang sesuai dengan harkat martabat manusia seharusnya hidup yang kaya akan makna, hidup yang bermutu. 

Aristoteles menyatakan bahwa hidup manusia akan semakin bermutu semakin ia mencapai apa yang menjadi tujuannya. Karena dengan mencapai tujuan hidupnya, manusia mencapai dirinya sepenuh-penuhnya. Pertanyaan yang sering muncul adalah 'apa tujuan hidup manusia ?'. Menurut Aristoteles, apapun yang bergerak dan apa pun yang dilakukan manusia mesti demi sesuatu yang baik, demi suatu nilai. Nilai itulah tujuannya. Ada dua macam tujuan yang berkaitan dengan nilai tersebut, yaitu ada yang dicari demi suatu tujuan yang lebih jauh, dan yang dicari demi dirinya sendiri. Apa yang dicari demi suatu tujuan yang lebih jauh, contohnya adalah uang. Uang bukan dicari demi dirinya sendiri, tapi karena uang merupakan sarana untuk mencapai tujuan lebih jauh.

Lantas, apa yang kita cari demi dirinya sendiri ? Aristoteles menjawab : 'itulah eudaimonia, kebahagiaan'. Kebahagiaan merupakan tujuan akhir manusia. Karena setelah manusia bahagia, manusia tidak memerlukan apa-apa lagi. Di lain pihak, apabila manusia sudah bahagia tidak masuk akal jika masih mencari sesuatu yang lain lagi. Kebahagiaan itulah yang baik pada dirinya sendiri. Kebahagiaan bernilai bukan demi suatu nilai lebih tinggi lainnya, melainkan demi dirinya sendiri. 

Dari hasil perenungan yang dilakukan oleh para filsuf, pertanyaan terakhir para filsuf tersebut semua bermuara pada suatu pertanyaan, yaitu dengan hidup macam apa kita menjadi bahagia ? atau apa yang membuat manusia bahagia ? Oleh karena itu penelitian yang dilakukan oleh Aristoteles yang sesungguhnya dimulai dengan pertanyaan : 'Cara hidup mana yang membuat kita bahagia ?'. Banyak jawaban untuk pertanyaan tersebut. Salah satu pandangan yang sering dapat ditemukan adalah menyamakan hidup yang baik dengan kekayaan. Orang akan menumpuk kekayaan sebanyak mungkin karena kekayaan dianggap menjamin kebahagiaan. Terhadap pandangan ini para filsuf tidak menyetujuinya. Pandangan tersebut merupakan pandangan yang pragmatis. Aristoteles menolak tegas pandangan tersebut. Kekayaan bukan tujuan pada dirinya sendiri, melainkan semata-mata sebuah sarana untuk mencapai tujuan-tujuan lebih jauh. Karena itu, jelaslah, dan secara empiris juga mudah terbukti, bahwa kekayaan tidak menjamin kebahagiaan.

Anggapan lain tentang yang paling membahagiakan, yang populer di antara kaum bangsawan, adalah kalau kita dihormati orang. Namun apakah tepat kalau keadaan terhormat itu dianggap sebagai nilai yang tertinggi ? Aristoteles bertanya, 'mengapa orang sampai dihormati ?' Tentu karena ia seorang manusia yang pantas dihormati, seorang manusia utama, jadi karena ia memiliki keutamaan. Oleh karena itu, menurut Aristoteles hormat sendiri bukan tujuan terakhir, melainkan keutamaanlah yang menjadi alasan manusia dihormati.

Menurut Aristoteles, ada tiga pola hidup yang membuat kepuasan dalam dirinya sendiri, yaitu hidup yang mencari nikmat, hidup praktis atau politis, dan hidup sebagai seorang filsuf, hidup kontemplatif. 

Anggapan bahwa hidup yang mencari nikmat dalam filsafat disebut hedonisme. Dalam etika Aristoteles, ia tidak hanya menyangkal kebenaran anggapan bahwa pencarian nikmat merupakan tujuan hidup manusia, melainkan juga merumuskan argumentasi yang pada hakikatnya sekarang pun masih meyakinkan. Alasan utama yang dikemukakan Aristoteles adalah bahwa perasaan nikmat tidak khas manusiaei. Orang yang hanya mencari nikmat sama derajatnya dengan binatang. Namun karena manusia memang bukan binatang, jadi hidup sebagai binatang tidak mungkin membahagiakan. Aristoteles tidak menolak perasaan nikmat. Nikmat itu baik asal saja tidak menjadi tujuan hidup. Segala kegiatan yang berhasil bahkan memberikan nikmat, tanpa nikmat kegiatan itu kurang sempurna. Apakah nikmat itu baik atau buruk, tergantung pada apakah tindakan yag memberikan nikmat itu baik atau buruk. Karena nikmat sebenarnya bukan pengalaman sendiri, melainkan pengalaman yang menyertai pelaksanaan dorongan atau tindakan lain. Namun, dengan hanya mengejar nikmat, kita tidak akan mencapai kebahagiaan.

Aristoteles mengatakan, bahwa nilai tertinggi bagi manusia mesti terletak dalam suatu tindakan yang merealisasikan kemampuan atau potensialitas khas manusia. Manusia menjadi bahagia bukan dengan pasif menikmati sesuatu, bukan asal semua hal yang barangkali diinginkan tersedia, melainkan dalam bertindak. Karena dengan bertindak ia menjadi nyata. Suatu hidup yang bermutu tidak tercapai melalui nikmat pasif, melainkan melalui hidup yang aktif. manusia bahagia dalam merealisasikan atau mengembangkan diri.

Sedangkan kekhasan manusia terletak dalam akal budinya, dalam kerohaniannya. Karena itu, kegiatan yang khas manusia adalah kegiatan yang melibatkan bagian jiwa yang berakal budi. Kegiatan tersebut terlaksana dalam dua pola tersebut, yaitu dalam kehidupan politis dan dalam kontemplasi filosofis, atau lebih singkatnya melalui Praxis dan Theoria. Praxis, merupakan kehidupan etis yang terwujud melalui partisipasi dalam kehidupan masyarakat, merealisasikan semua bagian jiwa manusia, termasuk yang rohani. Adapun Theoria, mengangkat jiwa manusia kepada hal-hal illahi. Theoria adalah murni kegiatan akal budi. Theoria bukan pemikiran melainkan perenungan. Theoria berarti bahwa jiwa memandang realitas-realitas rohani. Renungan merupakan kegiatan manusia yang paling luhur karena merealisasikan bagian jiwa manusia yang paling luhur, bahkan yang ilahi, logos atau roh. Dalam renungan, roh itu digiatkan. Objek renungan adalah realitas yang tidak berubah, yang abadi, yang ilahi. Renungan adalah kegiatan sang filsuf, orang yang mencintai kebijaksanaan (philo-sophia). Tidak ada yang lebih luhur daripada philosophia atau renungan itu. Karena itu, yang paling membahagiakan manusia adalah filsafat atau perenungan hal-hal yang abadi dan ilahi. Namun, Aristoteles juga menegaskan bahwa manusia itu mahkluk campur, bukan mahkluk rohani murni. Oleh karena itu, ia tidak dapat terus menerus ber-theoria. Theoria merupakan kegiatan hanya bagi sedikit orang saja dan untuk waktu-waktu terbatas. Bidang perealisasian diri manusia yang sebenarnya adalah polis atau negara kota, dan kegiatannya adalah praxis. (dari buku : 13 Tokoh Etika, Franz Magnis Suseno)