Lurik, Kain Klasik Asli Indonesia Sarat Filosofi

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Selain kain batik sebagai salah satu kekayaan asli budaya bangsa Indonesia, dikenal juga kain lurik yang tidak kalah uniknya dengan kain batik. Sama-sama sebagai warisan asli bangsa Indonesia, kain lurik telah menyejajarkan dirinya dengan batik.  Sejarah menunjukkan, kain lurik sudah ada sejak kurang lebih 3.000
tahun yang lalu. Beberapa peninggalan  sejarah memperlihatkan bahwa masyarakat tradisional membuat lurik dengan cara menenun sebagimana yang terlihat pada situs sejarah di Gilimanuk, Melolo, Sumba Timur, Gunung Wingko, Yogyakarta, dan sebagainya. Di sana ditemukan cap tenunan, alat pemintal, dan bahan tenun lurik.

Kain lurik juga dikenakan pada acara terakota asal Trowulan di Jawa Timur yang dibuat di abad 15 Masehi, sehingga menunjukkan bahwa lurik sudah dipakai pada masa itu. Dari berbagai bukti sejarah, diketahui bahwa daerah-daerah penyebaran lurik adalah Yogyakarta, Solo, dan Tuban.

Kata "lurik" berasal dari bahasa Jawa kuno, yaitu "lorek" yang berarti lajur, garis, atau belang. Lurik dapat juga berarti corak. Pada dasarnya lurik memiliki tiga motif dasar, yaitu :
  1. Motif lajuran, dengan corak garis-garis panjang searah helai kain.
  2. Motif pakan malang, yang memiliki garis-garis searah lebar kain.
  3. Motif cacahan, dengan corak-corak kecil.
Walaupun terlihat sederhana, sesungguhnya dibutuhkan keterampilan dan kejelian dalam memadukan warna serta susunan garis agar menghasilkan kain lurik yang serasi, indah, dan mengagumkan.

Lurik juga sarat makna dan tidak dapat dipisahkan dari kepercayaan sehingga keberadaannya selalu mengiringi berbagai acara adat. Filosofi dan makna lurik tercermin dari motif dan warnanya. Ada corak yang dianggap sakral dan menjadi sumber basehat, petunjuk, dan harapan.Misalnya, kain lurik gedog madu. Ada juga kain lurik motif lasesm yang digunakan sebagai perlengkapan pengantin pada jaman dahulu.

Pada masa lalu, kain lurik ditenun menggunakan benang katun yang dipintal dengan tangan. Benang tersebut ditenun menjadi selembar kain dengan alat yang disebut gedog dan dibuat dalam dua warna saja, yatu hitam dan putih dengan corak garis atau kotak. Akibatnya, lurik terkesan tegas dan maskulin.

Saat ini banyak kain lurik diproduksi menggunakan alat tenun bukan mesin yang lebih modern dan dapat menghasilkan kain lebih lebar. Warna dan motif yang diciptakan juga beraneka ragam sehingga menjadikan penggunaan kain lurik tidak terbatas pada kepentingan adat saja. Kesan maskulin pun bisa diminimalkan dengan permainan warna warni. (majalah Sekar)