Hukum Adat Sejak Dekrit 5 Juli 1959

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Konstituante dalam masa UUDS 1950 tidak dapat menyelesaikan tugas pada waktunya, maka Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit, tanggal 5 Juli 1959, yang menetapkan pembubaran Konstituante, dan berlakunya kembali UUD 1945, serta tidak berlakunya lagi UUDS 1950. Kemudian berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor : II/1960, maka Hukum Adat menjadi landasan tata hukum nasional.

gambar : bimbingan.org
Dengan adanya Tap MPRS tersebut, maka sebagaimana dikatakan Prof. DR. Moh. Koesnoe, SH  Hukum Adat berkembang sebagai berikut :
  1. Bahwa Hukum Adat tidak lagi dinyatakan sebagai hukum golongan yang lambat laun harus hilang karena perkembangan dan karena tertuang dalam kodifikasi dan undang-undang, Hukum Adat dengan ketetapan tersebut merupakan landasan, dasar susunan dan sumber nasional. Dengan kata lain, Gukum Adat bukan hanya sebagian Hukum Nasional, tetapi adalah Hukum Nasional Indonesia.
  2. Bahwa pengertian hukum adat tidak akan lagi dapat mengikuti pengertian-pengertian yang diterima pada waktu sebelum perang dunia kedua dengan ciri-cirinya yang diketahui pada waktu itu.
  3. Bahwa akibat perubahan kedudukan kedudukan di atas, yaitu berubah pula isinya dan berubah pula lingkungan kuasanya atas orang dan ruang. Hukum Adat tidak lagi dapat dihubungkan dengan kebiasaan-kebiasaan daerah-daerah yang dapat dinamakan hukum, tetapi dihubungkan dengan suatu nilai yang lebih tinggi dan abstrak.

Pada tanggal 24 September 1960 diundangkan Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Di dalam pasal 5 Undang-Undang tersebut dikatakan bahwa, "Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dan segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama".

Dari pengertian tersebut, Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH menyatakan bahwa Hukum Adat yang dimaksud, baik dalam arti hukum dari berbagai masyarakat hukum adat yang bersifat lokal, maupun yang bersifat nasional kesemuanya adalah hukum adat dan hukum adat itu dapat berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa. Jadi tidak benar jika dikatakan hukum adat tidak akan lagi bisa mengikuti pengertian dari waktu sebelum perang dunia kedua, oleh karena hukum adat itu adalah hukum rakyat yang kenyataannya tetap hidup bersama dengan rakyat.

Contoh dari bahwa hukum adat hidup bersama dengan rakyat yang berlaku di Indonesia adalah ketentuan tentang hibah. Dalam praktek di pengadilan, berlaku putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, tanggal 23 Agustus 1960, Nomor : 225 K/Sip/1960, yang menyatakan bahwa hibah tidak memerlukan persetujuan ahli waris, hibah tidak mengakibatkan ahli waris dari si penghibah tidak berhal lagi atas harta peninggalan dari si penghibah, hibah wasiat tidak boleh merugikan ahli waris dari si penghibah.

Putusan Mahkamah Agung tersebut merupakan putusan dari hukum adat lokal yang berlaku di Jawa Tengah, sedangkan keputusan yang sifatnya mengarah kepada hukum adat yang nasional adalah Putusan Mahkamah Agung, tanggal 1 Nopember 1961, Nomor : 179/K/Sip/1961, yang menyatakan bahwa anak perempuan dan anak lelaki dari seorang peninggal warisan bersama hak atas hak warisan dalam arti, bahwa bagian dari anak lelaki adalah sama dengan anak perempuan. Akan tetapi keputusan seperti tersebut belum dapat berlaku di kalangan masyarakat adat yang masih berpegang teguh pada sistem mayorat seperti di Lampung.

Demikian penjelasan berkaitan dengan hukum adat sejak Dekrit 5 Juli 1959. Tulisan tersebut bersumber dari buku  Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, karangan Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH.

Semoga bermanfaat.