Sumber Hukum Administrasi Negara : Jurisprudensi

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Jurisprudensi adalah keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Keputusan hakim inipun merupakan sumber hukum yang faktuil, oleh karena mengikat para pihak yang bersengketa. Dengan adanya keputusan hakim tersebut dapat menimbulkan hukum positif pada mereka yang bersangkutan, yaitu timbulnya, berubahnya atau hapusnya hak dan kewajiban baru bagi masing-masing pihak. Sudah barang tentu yang dapat membentuk Hukum Administrasi Negara adalah keputusan hakim administrasi ataupun hakim umum yang memutus dalam perkara administrasi negara.

Fungsi hakim adalah mengadili, yaitu memutuskan atau menyelesaikan perselisihan yang timbul antara para pihak, di mana halim berada di luar pihak yang bersengketa. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib mengadili, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam tindakannya mengambil keputusan terhadap masalah sengketa yang diajukan kepadanya, hakim dapat bertindak, berupa :

1. Menerapkan saja aturan-aturan hukum yang sudah ada dan berlaku sebelumnya.
Dalam menetapkan hukum in concreto nya hakim hanya menerapkan saja hukum in abtracto yang sudah ada dan berlaku sebelumnya.

2. Menerapkan suatu aturan hukum yang berasal dari hasil penggalian hakim sendiri dari nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Dalam hal ini berarti hukum yang timbul tersebut berasal dari karya hakim itu  sendiri. Hal yang demikian terjadi apabila :
  • Aturan hukum in abstrakto sudah ada, akan tetapi tafsirannya sudah tiak cocok lagi dengan situasi pada waktu itu, sehingga memerlukan tafsir baru atau memang materi aturan tersebut sudah tidak tepat diterapkan pada masalah konkrit yang timbul.
  • Belum ada aturan hukum in abstrakto yang berhubungan dengan pokok sengketa. Oleh karena hakim tidak dapat menolak untuk mengadili berdasarkan alasan tidak ada aturan hukumnya, maka hakim dengan keyakinan sendiri harus menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

Dengan adanya wewenang untuk menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan selanjutnya wewenang untuk menyampingkan aturan hukum yang menurut penilaiannya sudah tidak cocok lagi dengan keadilan pada waktu tertentu berarti bahwa ada wewenang pada hakim untuk menguji (toetsingsrecht) peraturan perundangan yang berlaku. Hak menguji peraturan perundangan ini bersifat materiil, maksudnya suatu hak untuk menguji apakah materi suatu peraturan perundangan masih memenuhi rasa keadilan ataukah tidak, baik berdasarkan peraturan perundangan yang lebih tinggi tingkatannya maupun berdasarkan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Mahkamah Agung diberikan diberikan hak/wewenang untuk menguji secara materiil terhadap peraturan perundangan, akan tetapi dengan batasan-batasan tertentu, yaitu :
  1. Hak menguju hanya dapat dilakukan terhadap peraturan perundangan yang derajatnya lebih rendah daripada Undang-Undang.
  2. Hak menguji hanya dapat dilaksanakan dalam pemeriksaan perkara dalam tingkat kasasi.
  3. Pernyataan tidak sahnya suatu peraturan perundangan tersebut tidak berarti bahwa peraturan perundangan itu dengan sendirinya dicabut. Pencabutan tetap dilakukan oleh instansi yang bersangkutan.

Dalam Hukum Administrasi Negara, pencabutan suatu ketetapan (beschikking) adalah menjadi kompetensi alat administrasi yang membuat ketetapan tersebut. Meskipun suatu ketetapan sudah sah dan memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan, akan tetapi alat administrasi yang membuat dapat/berwenang untuk mencabutnya. Hal ini dikarenakan :
  1. Ketetapan merupan perbuatan hukum alat administrasi negara yang sifatnya sepihak. Sehingga oleh karena terjadinya ketetapan tersebut tergantung dari kehendak pihak alat administrasi negara, maka dengan tidak usah memperhatikan kehendak pihak administrabele alat administrasi negara tersebut dapat dicabut ketetapan yang telah dibuatnya.
  2. Asas rebus sic stantibus, di mana suatu ketetapan dengan sendirinya akan tidak berlaku apabila keadaaan sosial yang disebutkan dalam ketetapan tersebut tidak sesuai lagi dengan kondisi yang nyata. Untuk suatu ketetapan yang sudah mempunyai kekuatan hukum formil, hanya dapat dicabut oleh alat administrasi yang lebih tinggi tingkatannya.
(dari buku Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Muchsan, SH)

Semoga bermanfaat.