Ruwatan dalam tradisi Jawa adalah cara untuk membuang dan menjauhi kesialan. Kendati penuh unsur magis, tradisi ini memiliki makna mendalam akan nilai-nilai kehidupan. Ruwatan merupakan salah satu upacara tradisi yang sampai sekarang masih ditaati, dipatuhi, diyakini, dan dilaksanakan masyarakat Jawa. Ruwatan berasal dari kata "ruwat" yang artinya terbebas atau terlepas.
gambar : solopos.com |
Sebelum pelaksanaan upacara ruwatan, para sukerta (orang yang akan diruwat) berpakaian serba putih bersih. Begitupun dengan orang tua mereka yang mengenakan pakaian adat. Panggung wayang kulit dengan gamelan dan para penabuh serta pesindennya sudah harus siap di lokasi. Tempat untuk pelaksanaan ruwatan harus luas untuk menempatkan panggung wayang kulit, tempat duduk para sukerta dan orang tuanya serta tempat-tempat air untuk memandikan sukerta. Sesaji yang diperlukan juga cukup banyak macamnya.
Para sukerta diterima Ki Dalang yang akan meruwat. Para sukerta duduk bersila di belakang wayang. Selama pertunjukan mereka harus bersikap santun dan memperhatikan cerita wayang yang di dalamnya mengandung nasehat, doa, dan mantra yang diucapkan oleh dalang. Dalam prosesnya, dalang akan memberitahu Batara Kala bahwa setiap sukerta yang telah diruwat telah menjadi anak Ki Dalang, sehingga tidak boleh diganggu dan dimangsa oleh Batara Kala. Dalang kemudian menyebutkan nama sukerta satu persatu dengan jelas. Setelah semua sukerta yang diruwat disebut namanya, dalang kemudian berujar kepada Betara Kala, "Itu tadi yang saya sebut nama-namanya adalah sukerta yang telah saya ruwat. Mereka adalah anak-anakku. Kamu tidak boleh mengganggu mereka."
Kemudian sukerta yang diruwat, disiram air kembang dan rambutnya digunting dalang. Sesudah itu, semua yang sudah diruwat menghampiri dalang untuk mohon berkah. (majalah Sekar)