Pengertian Puasa, Syarat Wajib Dan Rukun Puasa

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
A. Pengertian Puasa.
Puasa, dalam bahasa Arab disebut dengan shaum dan shiyam yang berarti menahan, berhenti, dan tidak bergerak. Manusia yang berupaya menahan diri dari suatu aktivitas (apapun aktivitasnya) disebut sha'im, yaitu orang yang berpuasa. Dari sudut pandang hukum syari'at, puasa berarti aktivitas menahan diri dari makan, minum, mengeluarkan spermatozoa (baik melalui hubungan badan atau tidak), dan segala hal yang membatalkan puasa mulai terbit fajar hingga matahari terbenam dengan disertai niat tertentu semata-mata mengharap ridha Allah swt. Sebagaimana firman-Nya, "Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar." (QS. Al-Baqarah : 187)


Kata shaum dan shiyam ini pula yang digunakan oleh Al Qur'an. Al-Qur'an menggunakan kata shiyam sebayak delapan kali, dan kesemuanya dalam arti puasa menurut pengertian hukum syari'at. Adapun kata shaum disebutkan dalam Al-Quran hanya sekali, dengan makna menahan diri untuk tidak berbicara. Makna yang terakhir ini terdapat dalam firman Allah swt, "Sesungguhnya aku bernazar puasa (shauman), maka hari ini aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun." (QS. Maryam : 26)

B. Syarat Wajib Puasa.
Dalam hal ini syarat-syarat wajib puasa dimaksud adalah untuk puasa wajib, khususnya puasa Ramadhan. Berikut ini adalah ketentuan seseorang diwajibkan menunaikan ibadah puasa :

1. Islam.
Puasa tidak wajib bagi orang selain Islam. Puasa adalah ibadah fisik yang membutuhkan niat, sementara niat terbilang sah apabila dilakukan oleh yang beragama Islam. Jika seseorang murtad pada hari puasanya maka batallah puasa itu. Ia wajib mengqadha (mengganti) puasa jika kembali masuk Islam.

2. Baligh.
Puasa tidak wajib bagi anak kecil (belum baligh). Namun, bagi walinya atau orang tuanya wajib menyuruhnya berlatih berpuasa agar kelak ketika dewasa ia telah terbiasa dengan ibadah tersebut.

3. Berakal.
Karena itulah puasa tidak wajib bagi orang gila (tidak berakal) karena ia tidak termasuk mukallaf, yaitu orang yang masuk dalam konstitusi hukum Islam. Rasulullah SAW pernah mengatakan bahwa seseorang tidak termasuk mukallaf jika ia belum baliqh, hilang ingatan, dan dalam keadaan tertidur.

4. Mampu.
Puasa tidak wajib bagi yang tidak mampu lantaran sudah tua renta atau sakit parah yang tidak kunjung sembuh. Hal ini berdasarkan firman Allah swt, "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya," (Q.S. Al-Baqarah : 286).
Lain halnya dengan orang sakit yang sembuh kembali, ia wajib menunaikan puasanya ketika sudah pulih serta wajib mengqadha puasa yang ditinggalkannya.

5. Tidak dalam bepergian (musafir).
Seseorang yang sedang dalam bepergian jauh (musafir) sekira 80 km atau lebih, ia tidak wajib berpuasa, tetapi selepas Ramadhan ia wajib mengqadhanya (menggantinya).

6. Perempuan yang suci dari haid dan nifas.
Perempuan yang sedang haid atau nifas tidak wajib berpuasa. Kalaupun ia berpuasa maka puasanya tidak sah, bahkan haram sehingga tidak membuahkan pahala, tetapi justru berakibat dosa.

C. Rukun Puasa.
Adapun rukun-rukun puasa adalah :

1. Niat.
Niat tidak harus diucapkan dengan lisan karena ia merupakan pekerjaan hati. Barangsiapa sahur di malam hari dengan maksud bahwa besak ia kan berpuasa maka itu sudah terbilang sebagai niat. Kapan niat berpuasa dilakukan ? Untuk bulan Ramadhan dan puasa wajib lainnya, niat harus dilakukan pada malam hari, di antara waktu maghrib hingga terbitnya fajar/subuh. Karena itu, tidak sah puasa seseorang jika niatnya baru dilakukan pada siang hari. Ketentuan ini disasarkan pada hadits penuturan Sayyidah Hafshah r.a., "Sesungguhnya Rasululllah SAW pernah bersabda, 'Siapa saja yang tidak berniat puasa pada malam hari maka tidak ada puasa baginya.'" (H.R. An-Nasa'i dan Ad-Darimi)
  • Untuk niat puasa sunnah boleh dilakukan setelah terbit fajar sebelum matahari tergelincir, asalkan belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa, seperti makan, minum, dan lain sebagainya. Hal ini didasarkan pada hadits penuturan Sayyidah Aisyah r.ha., "Sesungguhnya Nabi SAW pernah bertanya, 'Apakah pagi ini ada sesuatu (makanan) untuk kalian makan ?' Assyah menjawab, 'Tidak ada.' Nabi SAW kemudian berkata, 'Kalau begitu, aku akan berpuasa saja.'" (H.R. Ahmad)

2. Imsak (menahan diri dari yang membatalkan puasa).
Yang dimaksud dengan imsak di sini adalah menahan diri dari makanan, minuman, hubungan suami isteri, dan segala hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Firman Allah swt, "Maka sekarang campurilah mereka (isteri-isterimu) dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu, makan dan minumlah hingga terang bagimu benang puting dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam." (Q.S. Al-Baqarah : 187)

Secara rinci, maksud menahan diri dalam konteks puasa adalah sebagai berikut :
  • Menahan diri dari makan artinya adalah memasukkan sesuatu benda atau makanan ke dalam mulut, dan terus disalurkan melalui kerongkongan. Jadi, batasan yang disebut makan ialah bila sesuatu benda sudah melalui lobang kerongkongan.
  • Menahan diri dari minum artinya adalah memasukkan sesuatu benda cair ke dalam mulut, terus disalurkan melalui kerongkongan. Perbuatan itu disebut minum apabila benda cair tersebut sudah melewati kerongkongan. Bagaimana dengan ludah ? Menelan ludah tidah membatalkan puasa selama air ludah itu suci, yaitu tidak bercampur benda najis, misalnya darah atau nanah), tidak bercampur dengan makanan walaupun sedikit, dan belum keluar dari mulut. Menggosok gigi, berkumur, membersihkan gigi, dan lain-lain, selama tidak memasukkan sesuatu benda melewati kerongkongan maka puasanya tetap sah atau tidak batal.
  • Menahan diri dari hubungan suami isteri. Larangan ini hanya berlaku pada saat puasa, yaitu mulai matahari terbit sampai matahari tenggelam. 

Demikian penjelasan berkaitan dengan puasa, syarat wajib dan rukun puasa.

Semoga bermanfaat.