Menumbuhkan minat membaca dan menulis mesti di mulai sejak usia dini. Di jaman yang serba moderen seperti sekarang, anak-anak lebih tertarik pada gadget dibanding dengan buku. Tidak bisa dipungkiri, orang tua sangat punya andil untuk itu.
Sekarang kita coba bandingkan siswa sekolah menengah (SMA) atas sekarang dengan siswa SMA pada jaman kolonial Belanda. Dari cerita beberapa orang yang pernah mengalami sekolah di SMA pada jaman sebelum kemerdekaan (Algemeene Middlebare School/AMS), siswa saat itu diwajibkan membaca 25 buku sastra dalam 3 tahun, yang disediakan di perpustakaan sekolah, siswa menulis mengenai buku-buku itu dan diujikan saat kenaikan kelas. Selain itu siswa juga diwajibkan menulis karangan sekali dalam sepekan. Berart ada 36 karangan dalam setahun, dan 108 karangan dalam 3 tahun. Dengan demikian, pada jaman kolonial Belanda, kemampuan siswa menulis sangat lancar.
Sekarang bandingkan dengan siswa SMA sekarang, setelah 70 tahun Indonesia merdeka ? Berapa banyak mereka sudah membaca buku, terutama buku-buku tentang sastra, berapa banyak mereka sudah menulis karangan ? Anda semua bisa menilainya sendiri. Yang kadang menjadi pertanyaan, dimanakah peran sekolah untuk menumbuhkan minat membaca dan menulis di kalangan siswanya, selain juga tentunya peran orang tua. Sementara pemegang regulasi pendidikan di negara ini masih saja disibukkan dengan penentuan aturan kelulusa ujian (dari ujian negara, dan lain-lain), kurikulum, dan sebagainya yang selalu berubah-ubah minimal 5 tahun sekali.
Buku adalah jendela dunia, itu yang disadari betul oleh pemerintahan kolonial Belanda saat itu, dan bukan merupakan jargon kosong belaka. Lantas apakah tujuan mewajibkan siswanya membaca buku-buku sastra dan menulis itu ingin menjadikan siswanya sastrawan atau ahli sastra ? Tentu saja tidak. Lebih dari itu, membaca sastra akan membentuk kecintaan dan adiksi membaca buku. Yang diharapkan, mereka nantinya akan rajin membaca buku sesuai dengan keinginan hatinya. Latihan menulis juga tidak dimaksukan untuk menjadikan siswa menjadi sastrawan, tetapi menjadi penulis sesuai dengan keinginan hati masing-masing.
Sesungguhnya, sastra selain menciptakan budaya literasi, sastra juga dimaksudkan untuk membangun karakter. Dari sastra mereka akan belajar memahami kehidupan secara menyeluruh. Menganalisa setiap peristiwa dari sudut pandang yang berbeda-beda dan bijak dalam menyikapinya. Esensi sastra adalah kebenaran, setidaknya kejujuran. Dunia imajinasi yang ada dalam karya sastra berisi olah rasa dan olah grahita yang berasal dari potret realita yang selalu menyuarakan yang sebenarnya.
Di tingkat sekolah yang lebih tinggi, yaitu perguruan tinggi, para pengajar yang notabebe penyandang gelar strata 2, strata 3, bahkan profesor, apakah sudah benar-benar memperkuat karakter anak didiknya untuk bekal "bertarung" di dunia nyata dengan idealismenya ? Kembali lagi, hanya mereka, para dosenlah yang bisa menjawabnya. Tapi pada kenyataannya, di dunia yang serba hedonis ini, banyak dari mereka sibuk mengumpulkan memikirkan dan mengumpulkan materi, mengesampingkan tugas dan tanggung jawabnya utamanya sebagai pengajar. Dengan entengnya mereka datang terlambat dalam mengajar atau bahkah meliburkan perkuliahan hanya karena proyek yang mereka dapatkan. Mereka tidak sadar bahwa proyek yang mereka kerjakan, didapat karena orang melihat profesinya, melihat instansi dimana mereka mengajar. Belum lagi hal-hal lain yang merugikan peserta didik dan menciderai kualitas dari pendidikan itu sendiri.
Marilah bersama-sama kita renungkan, marilah bersama-sama kita menciptakan budaya membaca dan menulis pada anak-anak kita. Dengan membaca, kita mendapatkan pengetahuan, dan dengan pengetahuan kita bisa merubah dunia. Apakah akan kita biarkan tanah air yang kita cintai ini terus semakin terpuruk ?
Semoga bermanfaat.
Semoga bermanfaat.