1. Faktor Pemicu Bunuh Diri.
Dalam ilmu kejiwaan, bunuh diri merupakan salah satu tindakan gawat darurat. Sebuah penelitian mengatakan bahwa lebih dari 90 persen pelaku bunuh diri merupakan penderita gangguan mental berat dan secara klinis dalam keadaan depresi saat tindakan bunuh diri dilakukan.
Dalam ilmu kejiwaan, bunuh diri merupakan salah satu tindakan gawat darurat. Sebuah penelitian mengatakan bahwa lebih dari 90 persen pelaku bunuh diri merupakan penderita gangguan mental berat dan secara klinis dalam keadaan depresi saat tindakan bunuh diri dilakukan.
- Usia. Pada laki-laki insiden bunuh diri meningkat setelah usia diatas 45 tahun dan perempuan saat usia di atas 65 tahun. Usia rata-rata orang yang berhasil bunuh diri adalah 40 tahun.
- Jenis Kelamin. Angka keberhasilan laki-laki berkisar antara 2,5 sampai 5 kali lipat dibanding perempuan. Tapi perempuan lebih sering melakukan percobaan bunuh diri dibanding laki-laki, berkisar antara dua sampai tiga lipat dibanding laki-laki.
- Status Perkawinan. Orang yang menikah beresiko lebih kecil untuk bunuh diri. Angka kejadian bunuh diri untuk yang tidak menikah dua kali lebih besar daripada dari pada yang sudah menikah. Sedangkan untuk yang bercerai, empat sampai lima kali lebih banyak dari orang yang sudah menikah.
- Pekerjaan. Orang yang memiliki pekerjaan beresiko lebih kecil untuk melakukan bunuh diri.
Faktor-faktor penyebab terjadinya bunuh diri :
- Kehilangan teman hidup, saudara, atau anggota keluarga. Dalam teori psikodinamik mengenai depresi, individu yang kehilangan objek cintanya bisa menjadi depresi.
- Kehidupan yang jauh dari masyarakat. Ketidakmampuan mengutarakan isi hati karena tidak adanya orang yang dapat dijadikan lawan bicara juga membuat individu merasa hampa.
- Perubahan status pekerjaan dan prestasi. Perubahan status pekerjaan yang tiba-tiba biasanya berhubungan dengan ancaman gangguan pada keseimbangan ekonomi sosial.
- Berita-berita media tentang sosok terkenal yang bunuh diri.
- Riwayat anggota keluarga yang menderita depresi.
- Kesehatan fisik yang cenderung menurun atau buruk. Beberapa penyakit kronik seperti diabetes melitus dan stroke meningkatkan faktor resiko terjadinya depresi.
2. Menyiasati Saat Putus Cinta.
Putus cinta dalam masa pacaran adalah hal yang lumrah. Karena masa pacaran adalah masa untuk mengenal pribadi pasangan. Ketika putus cinta tentu ada rasa sedih, kecewa, dan bahkan putus asa. Apabila rasa-rasa tersebut selalu anda kelola, maka bukannya anda akan cepat bangkit, tapi malah anda akan semakin dalam terseret pada situasi dan keadaan yang akan merugikan anda.
Pada saat awal masa putus cinta sering muncul perasaan sedih dan kehilangan, yang akhirnya muncul pada gangguan-gangguan psikologis dan jasmani, seperti pola makan yang tidak teratur, susah tidur, sering menyendiri, dan muncul gangguan psikosomatis. Bagaimana upaya agar rasa sedih, dan lain-lain akibat putus cinta ini cepat berakhir ? Sebaiknya anda melakukan tahap Move-On. Mintalah bantuan pada orang tua atau kerabat untuk memberi dukungan psikologis, ungkapkan apa yang menjadi perasaan ketidaknyamanan agar mereka bisa memahami perubahan sikap dan tingkah laku anda. Langkah-langkah yang bisa anda ambil untuk dapat move-on dari rasa yang timbul akibat putus cinta adalah sebagai berikut :
- Jangan mendramatisir keadaan, hindari suasana yang mudah membuat anda menjadi melankolis.
- Mengubah mindset, yang semula "aku tak bisa tanpanya" menjadi "aku harus bisa tanpanya". Hal ini akan menjadi kekeuatan dari dalam untuk menjauhkan pikiran dari masa lalu.
- Singkirkan kenangan bersamanya, seperti foto-foto atau barang-barang yang diberikan.
- Jangan menyendiri, carilah teman yang bisa memberi masukan dan support yang bisa membuat anda bangkit lagi.
- Jangan terlalu mengumbar kesedihan di sosial media.
- Perbanyak kegiatan posit, mengisi waktu dengan aktifitas yang bermanfaat.
Tentunya yang harus anda ingat selalu, jangan lupa berdoa kepada Allah swt, minta kekuatan dan jalan keluar yang terbaik.
Semoga bermanfaat.
Semoga bermanfaat.