Corak Dan Sistem Hukum Adat

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
A. Corak Hukum Adat.
Hukum Adat Indonesia yang normatif pada umumnya menunjukkan corak yang tradisional, keagamaan, konkret dan visual, terbuka dan sederhana, dapat berubah dan menyesuaikan, tidak terkodifikasi, musyawarah dan mufakat.

abi-asmana.blogspot.com

1. Tradisional.
Hukum adat itu pada umumnya bercorak tradisional, artinya bersifat turun temurun, dari jaman nenek moyang sampai anak cucu sekarang keadaannya masih tetap berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat bersangkutan. Misalnya  dalam hukum kekerabatan adat orang Batak yang menarik garis keturunan laki-laki, sejak dulu sampai sekarang tetap saja mempertahankan hubungan kekerabatan yang disebut "dalihan na tolu" yang artinya bertungku tiga, yaitu hubungan antara marga hula-hula, dongan tubu (dongan sebutuha), dan boru. Sehingga dengan adanya hubungan jejerabatan tersebut tidak terjadi pernikahan antara pria dan wanita yang satu keturunan (satu marga).

2. Keagamaan.
Hukum adat itu pada umumnya bersifat keagamaan (magis religieus), artinya perilaku hukum atau kaidah-kaidah hukumnya berkaitan dengan kepercayaan terhadap yang ghaib dan atau berdasarkan pada ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut kepercayaan bangsa Indonesia bahwa di alam semesta ini benda-benda itu serba berjiwa (animisme), benda-benda itu bergerak (dinamisme), disekitar kehidupan manusia itu ada roh-roh halus yang mengawasi kehidupan manusia (jin, malaikat, dan lain-lain), dan alam sejagad ini ada karena ada yang mengadakan, yaitu Yang Maha Pencipta. Corak keagamaan dalam hukum adat ini terangkat pula dalam Pembukaan UUD 1945 alenia ketiga yang berbunyi : "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya".
3. Kebersamaan.
Hukum adat mempunyai corak yang bersifat kebersamaan (komunal), artinya ia lebih mengutamakan kepentingan bersama, di mana kepentingan pribadi itu diliputi oleh kepentingan bersama. 'Satu untuk semua, semua untuk satu'. Hukungan hukum antara anggota masyarakat yang satu dan yang lain di dasarkan oleh rasa kebersamaan, kekeluargaan, tolong menolong, dan gotong royong. Oleh karenanya hingga sekarang kita masih dapat melihat adanya 'rumah gadang' di tanah Minangkabau, 'tanah pusaka' yang tidak terbagi-bagi secara individual melainkan menjadi milik bersama, untuk kepentingan bersama.

4. Konkret dan Visual.
Corak hukum adat adalah "konkret" artinya jelas, nyata, berwujud, dan "visual" artinya dapat dilihat, tampak, terbuka, tidak tersembunyi. Jika sifat hubungan hukum yang berlaku dalam hukum adat itu 'terang dan tunai', tidak samar-samar, terang disaksikan, diketahui, dilihat dan didengar orang lain, dan nampak terjadi 'ijab kabul' (serah terima)-nya. Misalnya dalam jual beli jatuh bersamaan waktunya (samenval van momentum) antara pembayaran harga dan penyerahan barangnya. Jika barang diterima pembeli, tetapi harga belum dibayar maka itu bukan jual beli tetapi hutang piutang.

5. Terbuka dan Sederhana.
Corak hukum adat itu "terbuka" artinya dapat menerima masuknya unsur-unsur yang datang dari luar asal saja tidak bertentangan dengan jiwa hukum adat itu sendiri. Corak dan sifatnya yang "sederhana" artinya bersahaja, tidak rumit, tidak banyak administrasinya, bahkan kebanyakan tidak tertulis, mudah dimengerti dan dilaksanakan berdasar saling percaya mempercayai. Keterbukaannya misalnya pengaruh hukum Islam dalam hukum waris adat yang disebut bagian "sepikul segendong", bagian warisan bagi ahli waris pria dan wanita sebanyak 2 : 1. Kesederhanaannya misalnya dapat dilihat dari terjadinya transaksi-transaksi yang berlaku tanpa surat menyurat, contonya dalam perjanjian bagi hasil antara pemilik tanah dan penggarap tanah.

6. Dapat Berubah dan Menyesuaikan.
Hukum adat itu dapat berubah menurut keadaan, waktu, dan tempat. Adat yang nampak pada kita sekarang sudah jauh berbeda dari adat di masa Hindia Belanda. Karena kemajuan pendidikan  dan banyaknya penipuan, perjanjian tentang sesuatu hal yang dulunya dilakukan dengan tidak tertulis, sekarang dibuat dengan surat menyurat walaupun di bawah tangan.

7. Tidak Terkodifikasi.
Hukum adat kebanyakan tidak ditulis, walaupun ada juga yang dicatat dalam aksara daerah, bahkan ada yang dibukukan dengan cara yang tidak sistematis, hanya sekedar sebagai pedoman bukan mutlak harus dilaksanakan, kecuali yang bersifat perintah Tuhan.

8. Musyawarah dan Mufakat. Hukum adat mengutamakan adanya musyawarah dan mufakat, di dalam keluarga, di dalam hubungan kekerabatan dan ketetanggaan, baik untuk memulai suatu pekerjaan maupun dalam mengakhiri pekerjaan, apalagi yang bersifat 'peradilan' dalam menyelesaikan perselisihan antara yang satu dan yang lain. Di penyelesaian  perselisihan selalu diutamakan jalan penyelesaian secara rukun dan damai dengan musyawarah dan mufakat, dengan saling memaafkan, tidak langsung begitu saja ke pengadilan negara.

B. Sistem Hukum Adat.
Suatu sistem adalah merupakan susunan yang teratur dari berbagai unsur, di mana unsur yang satu dan yang lain secara fungsional saling bertautan, sehingga memberikan suatu kesatuan pengertian. Apabila dibandingkan dengan hukum barat (hukum Eropa) maka sistematika hukum adat sangat sederhana, bahkan kebanyakan tidak sistematis.

Sistematika hukum adat mendekati sistem hukum Inggris (Anglo Saxon) yang disebut Common Law, sistematikanya berbeda dengan Civil Law dari Eropa Kontinental. Misalnya hukum adat tidak mengenal perbedaan antara Hukum Publik dan Hukum Privat, tidak membedakan antara hak kebendaan dan hak perorangan dan tidak membedakan antara perkara perdata dan perkara pidana.
  1. Mendekati sistem hukum Inggris. Dalam negara Anglo Saxon, sistem Common Law  tidak lain dari sistem hukum adat, hanya bahannya berlainan. Dalam sistem hukum adat bahannya adalah Hukum Indonesia, sedang dalam sistem Common Law bahannya memuat banyak unsur-unsur hukum Romawi kuno yang konon katanya telah mengalami receptio in complexu. (Djojodigoeno, 1976 : 30). Didalam Encyclopedia Americana (1983.7 : 393) dikatakan bahwa Civil Law di Eropa barat dan di daerah-daerah yang pernah dikuasai orang Eropa, berinduk pada Hukum Romawi, bersumber dari badan legislatif dan berbentuk kodifikasi. sedangkan Common Law di Inggris dan di daerah-daerah lain yang pernah didominasi Inggris, bersumber dari peradilan yang kebanyakan berasal dari keputusan-keputusan hakim. Oleh karenanya istilah Common Law merupakan hukum yang disebut Judge mode Law, berbeda dari Civil Law yang merupakan Staturery Law.
  2. Hukum Publik dan Hukum Privat. Hukum adat tidak seperti hukum Eropa yang membedakan antara hukum yang bersifat publik dan yang bersifat perdata. Hukum publik yang mengatur kepentingan umum, sedangkan hukum perdata (privat, sipil) yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat yang satu dengan yang lain, dan anggota masyarakat terhadap negara sebagai badan hukum. Hukum adat tidak membedakan berdasarkan kepentingan dan siapa yang mempertahankan kepentingan itu. Jadi tidak ada perbedaan antara kepentingan umum dan kepentingan khusus.
  3. Hak Kebendaan dan Hak Perorangan. Hukum adat tidak membedakan antara Hak Kebendaan (Zakelijke rechten) yaitu hak-hak atas benda yang berlaku bagi setiap orang, dan Hak Perorangan (Persoanlijke rechten) yaitu hak seseorang untuk menuntut orang lain agar berbuat atau tidak berbuat terhadap hak-haknya. Menurut hukum barat setiap orang yang mempunyai hak atas sesuatu benda, berari ia berkuasa untuk berbuat (menikmati, memakai, mentransaksikan) benda miliknya itu dan sekaligus karenanya mempunyai hak perorangan atas hak miliknya itu. Antara kedua hak itu tidak terpisah. Namun menurut hukum adat hak-hak kebendaan dan hak-hak perseorangan itu, baik berwujud benda ataupun tidak berwujud benda, seperti hak atas nyawa, kehormatan, hak cipta, dan lain-lainnya, tidak bersifat mutlak sebagai hak pribadinya sendiri, oleh karena pribadinya tidak terlepas hubungannya dengan kekeluargaan dan kekerabatannya.
  4. Pelanggaran Perdata dan Pidana. Hukum adat juga tidak membedakan antara perbuatan yang sifatnya pelanggaran hukum perdata dan pelanggaran hukum pidana, sehingga perkara perdata diperiksa hakim perdata dan perkara pidana diperiksa hakim pidana. Menurut peradilan adat kedua pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang, diperiksa, dipertimbangkan, dan diputuskan sekaligus dalam suatu persidangan yang tidak terpisah.

Demikian penjelasan berkaitan dengan corak dan sistem hukum adat. Tulisan tersebut bersumber dari  buku Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, karangan Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH.

Semoga bermanfaat.