Sosok Perempuan dalam Drama Rumah Boneka Karya Henrik Ibsen dan Novel Di Bawah Bayang-bayang Perang Karya Naguib Mahfoudz

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Sosok Perempuan dalam Drama Rumah Boneka Karya Henrik Ibsen dan Novel Di Bawah Bayang-bayang Perang Karya Naguib Mahfoudz
oleh : Eta Farmacelia Nurulhady

Abstract

Characters of Women in Henrik Ibsen’s Play Rumah Boneka and Naguib Mahfoudz’s Novel Di Bawah Bayang-bayang Perang. Eta Farmacelia Nurulhady. Kajian Sastra

gambar : gradeserver.com

1. Pendahuluan.
Sastra Terjemahan dan Sastra Dunia
Sosok perempuan ditampilkan secara berbeda dalam karya sastra, baik ketika menjadi tokoh utama maupun tokoh sampingan. Bagaimana sosok perempuan ditampilkan dalam karya sastra dapat mewakili ideologi pengarang karya tersebut terhadap perempuan. Paper ini mencoba mengamati sosok perempuan dalam dua karya terjemahan yang ditulis oleh pengarang dari dua benua yang berbeda dan pada masa yang berbeda pula. Dua karya terjemahan dalam bahasa Indonesia ini diterjemahkan dari karya asli yang sebelumnya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. A Doll’s House (1879), diterjemahkan menjadi Rumah Boneka, adalah drama yang ditulis oleh penulis Norwegia, Henrik Ibsen pada abad ke-19. Novel al-Hubbu Tahta al-Mahtar (1973), yang dalam terjemahan bahasa Inggrisnya diberi judul Love in the Rain, dan kemudian diterjemahkan menjadi Di Bawah Bayang-bayang Perang, ditulis oleh penulis Mesir, Naguib Mahfoudz pada abad ke-20.

2. Perempuan dalam Karya Sastra.
Kritikus feminis mulai bergerak ke bidang sastra pada tahun 1960an dan 1970an. Mereka mulai meneliti kanon sastra tradisional dan menemukan wilayah dominasi dan prasangka laki-laki yang mendukung pernyataan Beavoir dan Millet bahwa laki-laki menganggap perempuan sebagai ‘yang lain’, sesuatu yang tidak alamiah dan menyimpang (Bressler, 1999: 183). Penemuan tersebut terangkum sebagai berikut:
  • Stereotipe perempuan yang banyak ditemukan dalam kanon: perempuan adalah maniak seks, dewi kecantikan, mahluk tak berakal, atau perawan tua.
  • Pengarang laki-laki seperti Dickens, Wordsworth, Hawthorne, Thoreau, Twain dan lainnya masuk dalam kanon sedangkan hanya sedikit penulis perempuan yang mendapatkan status tersebut.
  • Peran perempuan dalam karakter fiksi dibatasi pada posisi sampingan, biasanya hanya menempati bagian kecil dari cerita atau hanya merupakan gambaran stereotipe perempuan menurut laki-laki.
  • Ilmuwan perempuan seperti Simone de Beavoir dan Virginia Woolf diabaikan, tulisan-tulisan mereka jarang dijadikan acuan oleh pembuat kanon sastra-yang adalah laki-laki.
  • Kritikus feminis pada masa ini menganggap bahwa laki-laki yang menciptakan dan memiliki tempat terhormat dalam kanon mengasumsikan bahwa semua pembaca laki-laki. Perempuan yang membaca karya sastra dapat secara tidak sadar membaca sebagai laki-laki.

Sandra M. Gilbert dan Susan Gubar, pengarang The Madwoman in the Attic: The Woman Writer and the Nineteenth Century Literary Imagination yang diterbitkan tahun 1979, menyatakan bahwa suara laki-laki telah terlalu lama mendominasi masyarakat. Laki-laki memiliki kekuasaan atas pena dan media masa sehingga merekalah yang menentukan dan menciptakan citra perempuan dan teks yang mereka tulis. Dalam kesusasteraan, citra perempuan direndahkan dalam citra stereotipe sebagai “bidadari di dalam rumah” atau “perempuan gila di loteng”. Sebagai bidadari di dalam rumah, perempuan harus menyadari bahwa apa yang dimilikinya adalah hadiah dari suaminya. Dengan begitu tujuan hidupnya adalah menyenangkan dan mematuhi suami. Kepuasan perempuan didapat dari melayani suami dan anak-anaknya. Jika ia menolak peran tersebut maka kritikus laki-laki akan menganggapnya monster, mahluk asing yang aneh. Menurut Gilbert dan Gubar, kedua stereotipe tersebut adalah citra yang tidak realistis tentang perempuan dalam masyarakat. Yang satu menempatkan perempuan di atas dunia dan yang lain merendahkannya dan menempatkan perempuan di bawah dunia. Citra perempuan yang diciptakan oleh laki-laki tersebut harus disingkap, dikaji, dan ditransendensikan jika perempuan ingin meraih otonomi sastra.

Elaine Showalter (1986:170) membedakan kritik sastra feminis menjadi dua jenis: kritik feminis dan ginokritik. Kritik feminis terkait dengan perempuan sebagai pembaca – perempuan sebagai konsumen karya sastra ciptaan laki-laki; bagaimana hipotesis pembaca perempuan mengubah apresiasi kita terhadap teks tertentu, dan menggugah kita akan pentingnya kode-kode seksual teks tersebut. Subjeknya meliputi citraan dan stereotipe perempuan dalam sastra, peniadaan dan konsep yang salah tentang perempuan dalam kritik sastra, dan celah dalam sejarah sastra yang dibangun oleh laki-laki. Jenis kedua adalah ginokritik. Ginokritik memusatkan perhatian pada perempuan sebagai penulis – dengan perempuan sebagai penghasil makna teks, dengan sejarah, tema, genre dan struktur sastra oleh perempuan. Subjeknya meliputi psikodinamika kreativitas perempuan; linguistik dan masalah bahasa perempuan; kemajuan karir sastra perempuan secara individual maupun kolektif; sejarah sastra; dan kajian penulis dan karya tertentu. Sosok perempuan dalam karya sastra. Ginokritik


3. Sosok Perempuan dalam Drama Rumah Boneka Karya Henrik Ibsen dan Novel Di Bawah Bayang-bayang Perang Karya Naguib Mahfoudz.
Dalam Rumah Boneka terdapat dua tokoh perempuan yang paling banyak muncul yaitu Nora dan Nyonya Linde serta seorang tokoh yang muncul sekilas yaitu si pengasuh anak-anak, Anne. Nora adalah seorang istri dan ibu rumah tangga dengan tiga anak, sedangkan Nyonya Linde adalah seorang janda yang bekerja untuk menghidupi ibu dan dua adik laki-lakinya. Dalam drama ini, hanya tokoh Nora yang digambarkan sebagai perempuan yang cantik dan menarik secara fisik. “Helmer (melepaskan selendang Nora): Ya, pandanglah baik-baik dia. Aku pikir dia pantas untuk dipandang. Bukankan dia cantik, Nyonya Linde?” (Ibsen, 1993: 118). Dua tokoh perempuan yang lain tidak digambarkan apakah mereka menarik secara fisik.

Di Bawah Bayang-bayang Perang menampilkan lebih banyak tokoh perempuan dengan porsi pemunculan yang relatif seimbang yaitu Aliyah, Tsaniyah, Muna, Futnah, Samra Wajdy, dan Samirah. Aliyah, Tsaniyah, dan Muna adalah tiga mahasiswi yang bersahabat dan bekerja sebagai pegawai setelah mereka lulus. Futnah adalah seorang bintang film, Samra Wajdy seorang mucikari, dan Samirah adalah seorang pelacur. Dalam novel tersebut, hampir semua tokoh perempuan digambarkan sebagai perempuan yang cantik dan menarik secara fisik.

3.1. Pembedaan Wilayah Publik dan Wilayah Domestik.
Dalam Rumah Boneka, tampak pembedaan wilayah publik yang menjadi milik laki-laki dengan wilayah domestik yang menjadi wewenang perempuan. Perempuan tidak perlu bekerja, kecuali terpaksa. Untuk membantu keuangan keluarga, Nora secara sembunyi-sembunyi terpaksa melakukan pekerjaan ‘jahitan, sulaman, bordir’ dan menyalin tanpa sepengetahuan suaminya. Semua tokoh laki-laki - Helmer, Dr. Rank, dan Krogstad - digambarkan sebagai kaum profesional. Perempuan tidak perlu bekerja, kecuali terpaksa. Untuk membantu keuangan keluarga, Nora secara sembunyi-sembunyi terpaksa melakukan pekerjaan ‘jahitan, sulaman, bordir’ dan menyalin tanpa sepengetahuan suaminya. “Nora: Ya, bermacam-macam, kerja jahitan, sulaman, bordir, dan macam-macam begitulah.” (Ibsen, 1993:18). Nyonya Linde terpaksa harus bekerja setelah suaminya meninggal demi menghidupi ibu dan dua adik laki-lakinya.

Nyonya Linde: Jadinya aku harus mengerjakan apa saja yang aku dapati – mula-mula sebuah warung kecil, kemudian sebuah sekolah, dan seterusnya. Tiga tahun terakhir ini seakan-akan merupakan suatu hari kerja yang panjang, tanpa istirahat. Kini itu sudah berakhir, Nora. Ibuku tersayang sudah tidak memerlukan aku lagi, karena ia sudah meninggal dunia; dan adik-adikku sudah tidak memerlukan aku lagi; mereka sudah mendapat pekerjaan yang dapat menghidupi diri mereka sendiri (Ibsen, 1993:21).

Anne, si pengasuh anak, juga terpaksa bekerja setelah melahirkan anak di luar nikah.

Nora: Aku ingin kau ceritakan sesuatu yang sering aku renungkan – bagaimana kau sampai hati untuk menempatkan anakmu sendiri di tengah-tengah orang asing?

Pengasuh: Aku terpaksa berbuat begitu, jika aku ingin menjadi pengasuh Nora mungil (Ibsen, 1993:64).


Pekerjaan yang dilakukan perempuan dalam drama ini masih terkait dengan wilayah domestik yang bisa dilakukan tanpa meninggalkan rumah. Hanya Nyonya Linde yang digambarkan bekerja di luar rumah. Nyonya Linde terpaksa harus bekerja setelah suaminya meninggal demi menghidupi ibu dan dua adik laki-lakinya. Anne, si pengasuh anak, juga terpaksa bekerja setelah melahirkan anak di luar nikah.

Sementara itu, semua tokoh perempuan dalam Di Bawah Bayang-bayang Perang digambarkan sebagai tokoh yang berperan di wilayah publik. Aliyah bekerja di Departemen Sosial, Tsaniyah di Dinas Pertanian, Muna di sebuah biro perjalanan. Futnah adalah seorang bintang film terkenal yang bebas melakukan perjalanan. Samra memiliki sebuah toko dan menjadi mucikari. Samirah bekerja di bar dan sekaligus menjadi pelacur.

3.2. Dominasi Laki-laki Atas Perempuan.
Nora adalah sosok perempuan yang berada di bawah dominasi laki-laki. Ketika belum menikah, ia menjadi ‘boneka’ ayahnya. Setelah menikah, ia menjadi apapun yang diinginkan oleh suaminya.

Nora (dengan sikap tidak merasa terganggu): Itu artinya, bahwa aku ini sekedar ditimbang terimakan saja dari tangan ayah ke tanganmu. Kau mengatur segala sesuatunya menurut seleramu sendiri, dan dengan begitu aku punya selera yang sama denganmu – atau dengan kata lain aku kira begitu – aku merasa sama sekali tidak pasti mengenai hal itu – aku kira kadang-kadang yang satu dan kadang-kadang yang lain (Ibsen, 1993: 142-143).

Suaminya menganggap Nora sebagai salah satu kekayaan miliknya. Ia memanggil Nora dengan ‘burung murai’, ‘tupai’dan panggilan lain yang merendahkan. Helmer, suami Nora, bahkan menganggap semua sifat Nora yang jelek diwarisinya dari ayahnya. “Helmer: Kau ini macam makhluk kecil yang nyentrik saja. Persis seperti ayahmu (Ibsen: 1993:10). “Helmer: Jangan bicara yang muluk-muluk. Ayahmu juga selalu siap dengan cara begitu (Ibsen, 1993: 134).

Tokoh-tokoh perempuan dalam Di Bawah Bayang-bayang Perang menjadi korban dominasi laki-laki. Nasib mereka tergantung pada laki-laki dengan siapa mereka berhubungan. Aliyah dan Samra menjadi korban pengkhianatan kekasih mereka, yang kemudian membawa tragedi dalam kehidupan mereka.

Perempuan dalam Rumah Boneka adalah sosok yang memiliki cacat moral. Nora memalsukan tanda tangan ayahnya untuk mendapatkan pinjaman. Ia menutupi fakta tersebut dari suaminya. Untuk membayar hutang tersebut, Nora menerima pekerjaan yang dilakukannya di rumah tanpa sepengetahuan suaminya. Ketika menerima pekerjaan menyalin, ia berpura-pura membuat hiasan natal selama berhari-hari dalam kamar yang tertutup.

Nora: Jadi kemudian aku telah menemukan jalan yang lain untuk memperoleh uang. Musim dingin yang lalu aku beruntung mendapatkan pekerjaan menyalin yang banyak sekali; dengan demikian aku mengunci diriku dalam kamar dan menulis setiap malam hingga jauh larut malam (Ibsen, 1993: 30).

Nora juga melakukan kebohongan-kebohongan kecil dengan melanggar larangan suaminya untuk makan makanan tertentu. Nyonya Linde memilih meninggalkan kekasihnya, Korgstad, untuk menikah dengan laki-laki lain demi uang.

Nora: Ceritakan, apakah benar kau tidak mencintai suamimu? Mengapa kau kawin dengannya?
Nyonya Linde: Ketika itu ibuku masih hidup, tergeletak di atas tempat tidur dan tidak dapat berbuat apa-apa, dan aku harus menghidupi kedua adik laki-lakiku; maka aku pikir aku tidak dapat menolak permintaannya. (Ibsen, 1993:20)


Anne hamil di luar nikah dan menyerahkan bayinya ke panti asuhan. “Bagaimana ya, kalau ketika itu aku akan memperoleh tempat yang baik untuk berbuat seperti itu? Seorang anak perempuan yang melarat yang telah dihamili akan senang berbuat begitu. Di samping itu, lelaki jahat itu tidak pernah berbuat sesuatu untukku (Ibsen, 1993:64).

Walaupun tampak melakukan sesuatu yang negatif, namun tokoh-tokoh perempuan tersebut melakukannya dengan alasan yang positif. Nora melakukan kebohongan demi menyelamatkan nyawa suaminya. Nyonya Linde memutuskan menikah dengan laki-laki yang tidak dicintainya demi kesejahteraan ibu dan kedua adik laki-lakinya. Anne menyerahkan bayinya ke panti asuhan agar ia dapat bekerja karena ia tidak dapat mengasuhnya tanpa pekerjaan.

Semua tokoh perempuan dalam Di Bawah Bayang-bayang Perang memiliki cacat moral. Aliyah dan Tsaniyah berhubungan dengan Husni Hijazy, seorang produser film kaya, demi mendapatkan tambahan uang. Pada saat-saat tertentu mereka mendatangi rumah Husni untuk menonton film porno dan berhubungan seks dengannya. Sebagai imbalannya mereka mendapatkan uang untuk kebutuhan mereka. Aliyah bahkan melakukan aborsi setelah hamil oleh seorang turis asing yang tidak dikenalnya. Muna yang mulanya bertahan memegang standar moralnya pun akhirnya juga berhubungan dengan Husni. Untuk menjadi bintang film terkenal, Futnah menjadi simpanan sutradara Ahmad Ridwan. Pada saat yang sama ia menjadi kekasih Syah Yazid, seorang penyanyi Arab yang memberikannya rumah dan kemewahan. Begitu pun ia masih merebut Marjuk dari Aliyah. Kekecewaannya pada laki-laki membuat Samra menjadi mucikari dan melakukan penyimpangan seksual dengan mencintai sesama perempuan. Samirah menjadi pelacur dan meninggalkan anak perempuannya untuk diasuh ibunya. Berbeda dari tokoh-tokoh perempuan dalam Rumah Boneka, tokoh-tokoh perempuan dalam Di Bawah Bayang-bayang Perang sepertinya tidak memiliki alasan positif dalam melakukan tindakan negatif mereka.

3.3. Keberpihakan Pengarang pada Perempuan.
Naguib Mahfoudz menempatkan hampir semua tokoh perempuan dalam novelnya sebagai korban laki-laki. Mereka tidak dapat menghindar dari nasib buruk yang menimpa mereka. Aliyah menjadi korban Marjuk, tunangannya yang menikah dengan bintang film lawan mainnya. Rencana pernikahannya dengan Hamid kembali gagal karena terkuaknya aborsi yang pernah dilakukannya. Samra adalah korban Hasan Hamudah, kekasih yang pergi dari hidupnya setelah penggerebekan yang membuat Samra terkena peluru nyasar di pipinya. Kekecewaan Samra pada Hasan membuatnya mencintai sesama perempuan. Samra mati terbunuh akibat mengejar cintanya yang ditolak oleh Aliyah. Muna jatuh ke pelukan Husni karena Salim Ali tunangannya menikahi pelacur, Samirah.

Pernikahan dengan orang yang tepat agaknya adalah solusi bagi perempuan dalam novel ini untuk mendapatkan kehidupan yang baik. Tsaniyah, misalnya, menjalani kehidupan normal dan melepaskan diri dari Husni karena kemudian menikah dengan Ibrahim, seorang pahlawan mantan pejuang. Hal yang sama terjadi pada Muna yang akhirnya menikah dengan Salim Ali setelah Salim Ali bercerai dari Samirah. Ketika perempuan gagal menikah, maka masa depannya menjadi gelap. Hal tersebut terjadi misalnya pada Aliyah, yang dua kali mengalami kegagalan mencapai jenjang perkawinan.

Ibsen tampaknya lebih ‘membela’ perempuan. Nora, yang pada awal drama sangat submisif terhadap suaminya, akhirnya memberontak dan meninggalkan suaminya. Ia berhasil mengambil keputusan untuk menata hidupnya sendiri lepas dari dominasi suaminya.

“Nora: Tidak ada gunanya lagi untuk melarangku berbuat apa saja. Aku akan mengambil apa yang menjadi milikku sendiri. Aku tidak akan mengambil apa-apa darimu, sekarang ataupun nanti” (Ibsen, 1993: 145).


Nyonya Linde, yang meninggalkan Korgstad sepuluh tahun sebelumnya, kembali merangkul Korgstad yang kehilangan pekerjaan. Nyonya Linde, yang setelah kematian suaminya telah menjadi terbiasa bekerja demi menghidupi ibu dan dua adiknya, kini menawarkan diri untuk bekerja demi menghidupi Korgstad dan anak-anaknya.

Nyonya Linde: Aku tidak tahan untuk hidup tanpa pekerjaan. Seluruh hidupku, sepanjang yang aku ingat, akau telah bekerja, dan itu merupakan satu-satunya kesenangan dan kebanggaanku. Tetapi sekarang aku hanya sendirian di dunia ini – hidupku terasa amat hampa dan aku merasa dilupakan orang. Tak ada kesenangan sama sekali untuk bekerja bagi kepentingan diri sendiri. Nils, berikan aku seseorang dan sesuatu untuk apa aku bekerja (Ibsen, 1993: 113).

Perempuan oleh Ibsen digambarkan sebagai sosok yang lebih mampu berkorban demi orang yang dicintai. Sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh laki-laki.

Helmer: Dengan senang hati aku akan bekerja siang dan malam untuk kau, Nora – menanggung kesedihan dan keinginan demi kau. Tetapi tidak ada lelaki akan mengorbankan kehormatannya untuk orang yang ia cintai.

Nora: Itulah sesuatu yang telah dilakukan ratusan dari seribu orang. (Ibsen, 1993: 150).


Di sisi lain. Naguib Mahfoudz nampak tidak terlalu membedakan wilayah publik dengan wilayah domestik. Semua tokoh perempuan dalam novelnya tersebut digambarkan sebagai perempuan pekerja dengan bidang pekerjaan yang beragam. Tsaniyah bahkan secara implisit digambarkan sebagi pencari nafkah utama setelah ia menikah karena Ibrahim, suaminya buta.

4. Penutup.
Tokoh perempuan dalam Rumah Boneka dan Di Bawah Bayang-bayang Perang ditampilkan dalam hubungan mereka dengan laki-laki. Secara berbeda kedua karya tersebut menampilkan dominasi laki-laki atas perempuan. Ibsen menampilkan sosok perempuan yang menjadi korban namun dapat bangkit memperjuangkan eksistensinya. Ia juga menampilkan sosok perempuan yang dapat membantu laki-laki mempertahankan eksistensinya. Naguib Mahfoudz justru menampilkan sosok perempuan yang terombang-ambing oleh nasib dalam hubungan mereka dengan laki-laki.

-efn-


Daftar Pustaka :
Bressler, Charles E.1999. Literary Criticism: An Introduction to Theories and Practices. Second Edition. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Ibsen, Henrik. 1993. Rumah Boneka  (diindonesiakan Amir Sutaarga). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Mahfoudz, Naguib. 2000. Di Bawah Bayang-bayang Perang (diindonesiakan Surgana F’aN). Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Showalter, Elaine.1986. “Toward a Feminist Poetics” dalam Robert Con Davis (editor). Contemporary Literary Criticism: Modernism Through Poststructuralism. New York: Longman.
Young, Pauline. 1993. “Feminist Literary Criticism” dalam Stevi Jackson et al, (editor) Women’s Studies: A Reader. Hertfordshire: Harvester Wheatsheaf.