Keindahan dan Nilai Estetik Puisi She Walks in Beauty Karya Lord Byron

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
 Keindahan dan Nilai Estetik Puisi She Walks in Beauty Karya Lord Byron
oleh : Eta Farmacelia Nurulhady

Abstrak

The aesthetics value of a poem lies in its language which is more intense and says more than ordinary language does. This paper tries to analyze the beauty and aesthetics value of a poem written by an English poet, Lord Byron entitled “She Walks in Beauty”. Although the poem only describes the beauty of a woman, which is a conventional theme in poetry, it is able to shows the aesthetics value through the use of its intrinsic elements. The rhyme, figurative language and imagery used in the poem make it beautiful and of aesthetics value.

gambar : britannica.com
Pendahuluan.
Puisi adalah salah satu genre karya sastra yang mudah dibedakan dari prosa atau drama dari bentuk dan bahasa yang digunakan. Ada banyak definisi yang diberikan pada puisi, salah satunya adalah yang dikemukakan oleh Perrine: “poetry might be defined as a kind of language that says more and says it more intensely than does ordinary language”.[1] Perrine memandang puisi sebagai suatu jenis bahasa yang menyatakan secara lebih intens, yang bisa diartikan sebagai padat dan sarat makna, jika dibandingkan dengan bahasa sehari-hari. Banyak orang mengatakan bahwa keindahan puisi terletak pada penggunaan bahasanya.

Keindahan dimaknai secara berbeda oleh banyak ahli. Santayana, seorang filsuf Amerika, mendefinisikan keindahan sebagai kesenangan yang dianggap merupakan kualitas dari suatu benda.[2] Keindahan merupakan suatu nilai positif yang intrinsik, suatu kesenangan yang diobjektifkan. Suatu benda tidak bisa dikatakan indah ketika benda tersebut tidak memberikan kesenangan. Suatu benda dikatakan memiliki nilai estetis ketika benda tersebut memiliki kemampuan untuk menimbulkan pengalaman estetis pada orang yang mengamati benda tersebut. Untuk mendapatkan pengalaman estetis, seseorang melakukan kegiatan estetis. Dalam teorinya, Lipps menyatakan kegiatan estetis sebagai “kegiatan seseorang yang memproyeksikan perasaannya ke dalam suatu karya seni dan dari situ timbul suatu emosi estetis khas yang terjadi karena perasaan menemukan suatu kepuasan atau kesenangan yang disebabkan oleh bentuk objektif dari karya seni tersebut”.[3] Dengan demikian proses ini tidak semata-mata bersifat subjektif, tergantung pengamat, melainkan juga bersifat objektif berdasarkan sifat-sifat dari karya seni tersebut.

Tulisan ini mendiskusikan keindahan dari sebuah puisi yang ditulis oleh Lord Byron (George Noel Gordon), seorang penyair Inggris. Ada banyak puisi yang ditulis oleh Lord Byron, namun tulisan ini hanya akan membahas keindahan salah satu puisinya yang berjudul “She Walks in Beauty”. Pembahasan tentang keindahan puisi ini dibatasi hanya pada bentuk atau rima, gaya bahasa, dan citraannya saja.
           
Nilai Estetik Puisi.
Dalam kaitannya dengan karya sastra, Jan Mukarovski menyatakan bahwa “nilai estetik adalah sesuatu yang lahir dari tegangan antara pembaca dan karya; tergantung pada aktivitas pembaca selaku pemberi arti.[4] Suatu penikmatan estetik mutlak mensyaratkan adanya tegangan. Tegangan tercipta antara karya seni sebagai berian, sesuatu yang tersedia secara tetap, dan penikmat sebagai variabel yang selalu berubah. Nilai estetik bukanlah suatu yang tetap namun merupakan proses terus menerus, karena pemberian arti oleh pembaca juga berlangsung secara terus menerus. Pemberian makna terhadap suatu karya sastra berubah sesuai dengan perkembangan horison harapan, kompetensi, dan konvensi yang dikuasai (atau menguasai) pembaca. Tegangan tersebut meliputi fungsi puitis bahasa, sifat yang inheren pada karya sastra, variasi karya sastra, tegangan antara konvensi sastra dan karya individual, tegangan antara mimesis dan kreasi, situasi pembaca, pemikiran estetik dan jarak waktu, serta tegangan antara penulis dan karya.[5] Tidak semua unsur tegangan ini dapat dipakai secara bersamaan dalam membahas suatu karya sastra.

Keindahan suatu puisi dapat dikatakan ditentukan oleh unsur pembangun puisi tersebut yaitu bahasa kiasan atau sering disebut gaya bahasa, citraan atau imagery, rima (rhythm), bentuk, nada suara (tone), dan bunyi serta makna. Ada banyak ragam gaya bahasa, antara lain simile, metafora dan hiperbola. Simile merupakan suatu perbandingan yang tersurat antara dua obyek yang tidak serupa namun memiliki titik kesamaan, biasanya menggunakan kata “seperti” atau “ibarat”.[6] Metafora adalah gaya bahasa yang juga membandingkan dua obyek yang berbeda namun dengan cara menggantikan yang satu untuk yang lain atau menyamakan yang satu dengan yang lain.[7] Sedangkan hiperbola adalah gaya bahasa yang menggambarkan objek, ide, dan lain-lain dengan memberi bobot tekanan secara berlebihan untuk memperoleh efek yang intens.[8]

Citraan atau imagery secara umum merujuk pada penggunaan bahasa untuk menyajikan sesuatu, atau peristiwa, atau gagasan abstrak secara deskriptif. Pengarang menggunakan citraan untuk menyampaikan gagasan imajinatif atau pengalaman estetis yang ingin disampaikan. Citraan bisa diartikan sebagai mental picture, atau lukisan angan-angan yang tercipta sebagai reaksi seorang pembaca saat ia memahami suatu karya. Citraan biasanya bersifat visual, namun bisa juga terkait dengan pendengaran (auditory), bau, rasa, pengalaman yang berhubungan dengan indra peraba , sensasi internal, dan sebagainya.[9]

Rhythm yang dialihbahasakan menjadi rima mengacu pada pengulangan bunyi yang menghasilkan alun suara yang teratur. Pengulangan dilakukan pada jeda tertentu, biasanya bunyi akhir kata yang terletak di akhir larik Rima menjadi penanda yang menunjukkan akhir dari sebuah unit ritme.[10] Dilihat dari segi bentuknya, terdapat sajak yang bentuknya terikat seperti sonata, pantun, kwatrin, dan sebagainya, serta sajak yang bentuknya bebas. Nada suara atau tone dalam puisi merupakan sikap penyair terhadap subjek yang diketengahkan, penikmat karyanya, dan dirinya sendiri.[11] Ini merupakan pewarnaan emosi, atau makna emosional dari suatu karya dan merupakan bagian sangat penting terhadap total makna. Kata mengandung variasi makna, terlebih kata yang digunakan dalam puisi. Makna suatu puisi, adalah pengalaman yang diekspresikan oleh puisi tersebut.

Tidak semua puisi yang diciptakan bermakna atau indah. Sama halnya banyak puisi yang ditulis bukan untuk menstimulasi pembaca secara intelektual namun lebih dimaksudkan untuk menstimulasi secara estetis. Dalam hal ini penyair menciptakan daya tarik pada sesuatu di luar intelek murni, yaitu pada indra atau perasaan. Puisi terkait dengan indra manusia dan makna apapun yang terkandung di dalamnya tidaklah sepenting efek yang dihasilkan oleh kata-kata dan bahasa yang disajikan penyairnya. Reaske mengasumsikan bahwa semua pembaca memiliki sejumlah kebutuhan estetis.[12] Kebutuhan estetis ini dikombinasikan dari beragam apresiasi personal terhadap keindahan, dan sampai taraf tertentu, pada objek, pemandangan, atau deskripsi yang menarik secara indrawi. Pembaca selalu memberikan tanggapan terhadap deskripsi tertentu dalam puisi walaupun ketika ia tidak memahaminya atau baru berusaha untuk memahami. Terdapat nilai estetis pada puisi di samping makna apapun yang disarankannya. Pembaca dapat merasakan bahwa suatu puisi tersebut menawan tanpa harus sepenuhnya memahami makna puisi tersebut.

She Walks in Beauty” terdiri dari tiga bait yang masing-masing bait terdiri atas 6 baris, dengan rima ababab, dan masing-masing bait ditulis dengan pola iambic tetrameter. Pada bait pertama, kata night berima dengan bright dan light, sedangkan kata skies dengan eyes dan denies. Pada bait kedua kata less berima dengan tress dan express, sedangkan kata grace dengan face dan place. Sedangkan pada bait ketiga, kata blow berima dengan glow dan below, sementara kata eloquent dengan spent dan innocent. Pilihan kata yang digunakan oleh penyair membuat tiap bait dapat berima ababab. Walaupun dalam rima yang dipentingkan dari kata adalah aspek bunyinya namun kita dapat melihat dari puisi ini betapa kata-kata yang dipilih juga mendukung kesatuan gagasan dari tiap bait sehingga menimbulkan keindahan tersendiri.
      

SHE WALKS IN BEAUTY

                           I.
 She walks in Beauty, like the night
     Of cloudless climes and starry skies;
And all that’s best of dark and bright
     Meet in her aspect and her eyes:
Thus mellow’d to that tender light
     Which Heaven to gaudy day denies


                          II.
One shade the more, one ray the less.
     Had half impair’d the nameless grace
Which waves in every raven tress,
     Or softly lightens o’er her face;
Where thoughts serenely sweet express
     How pure, how dear their dwelling place


                           III.
And on that cheek, and o’er that brow,
     So soft, so clean, yet eloquent,
The smiles that win, the tints that glow,
     But tell of days in goodness spent,
A mind at peace with all below,
     A heart whose love is innocent

            
“She Walks in Beauty” bukanlah puisi yang rumit. Pada dasarnya sang penyair berusaha untuk mendeskripsikan kecantikan seorang perempuan. Dengan kata lain, penyair menulis jenis puisi yang paling konvensional. Sama seperti sonata karya Shakespeare, dan juga sebagian besar puisi yang mendeskripsikan kecantikan orang tercinta, puisi Lord Byron ini bersandar pada gaya bahasa. Bait pembuka diawali dengan simile[13] yang membandingkan sang perempuan dengan malam yang berbintang dan tanpa awan; dari simile kita beranjak ke serangkaian hiperbola.[14] Simile berlanjut dengan citra keindahan malam dengan menyebutkan perpaduan antara kegelapan terbaik (malam) dengan terang terbaik (kemurnian cahaya bintang).

And all that’s best of dark and bright
Meet in her aspect and her eyes:


Kombinasi yang unik dari keduanya pada diri sang perempuan membuatnya lebih cantik dan indah daripada, katakanlah, hari yang terik oleh sinar matahari. Citra ini menyolok karena Byron memunculkan suatu gambaran yang tidak semuanya konvensional. Banyak penyair yang mengungkapkan sinar kecantikan melalui analogi latar dan bunga-bunga yang disinari cahaya matahari; hanya sedikit penyair yang menggambarkan sinar kecantikan melalui kontras antara cahaya bintang dengan gelapnya malam. Dengan demikian terjadi tegangan antara konvensi tentang penggambaran kecantikan yang biasa digunakan oleh penyair lain dengan sesuatu yang berbeda yang digunakan dalam puisi ini.

Gambaran cinta sang penyair dapat dikatakan hiperbolis karena sang perempuan dilihat sebagi suatu sosok yang sempurna; jika sedikit saja ia berbeda maka ia akan kehilangan seluruh kecantikannya, sedikit saja bayangan sinar tersebut berbeda maka sang perempuan hanya akan tinggal ‘separuh cantik’ (bait II).

One shade the more, one ray the less.
Had half impair’d the nameless grace


Gagasan puisi ini adalah pengungkapan kecantikan yang ada dalam diri sang perempuan. Pada bait terakhir hal ini jelas terlihat: kecantikan sang perempuan memancarkan kebaikan pengalamannya seperti halnya pikirannya yang damai dan hatinya yang penuh dengan cinta yang murni.

And on that cheek, and o’er that brow,
So soft, so clean, yet eloquent,
The smiles that win, the tints that glow,
But tell of days in goodness spent,
A mind at peace with all below,
A heart whose love is innocent

Pada akhirnya sang penyair bermaksud menampilkan suatu kepribadian, beranjak dari deskripsi keindahan luaran, yang tampak mata, untuk kemudian menunjuk pada kedahsyatan kecantikan yang ada di dalam diri sang perempuan, keindahan/kecantikan dalaman. Puisi ini memiliki perkembangan yang tampak jelas: suatu gerak maju dari kecantikan fisik ke kecantikan abstrak, dari citra konkret ke gambaran abstrak yang mengunjuk pada citra tersebut.

Puisi ini dapat disebut konvensional karena ‘hanya’ menampilkan kecantikan seorang perempuan, sama seperti banyak puisi lain. Namun ada hal yang berbeda yang membuat puisi ini memiliki nilai keindahan yang berbeda. Citraan visual yang dipakai sang penyair sangatlah mengesankan. Ia beranjak dari konvensi dengan membandingkan kecantikan tidak semata-mata dengan bias cahaya namun dengan keindahan yang tercipta saat cahaya bintang berpadu dengan pekatnya malam. Ada sesuatu yang imajinatif yang menciptakan keindahan yang lebih berkesan.

She Walks in Beauty” memiliki suatu daya tarik estetis. Terdapat elemen yang terkait dengan rasa dan indra dalam puisi tersebut; elemen yang menarik imajinasi dan perasaan pembaca tentang apa itu keindahan. Sebagian dari pesona tersebut ada pada penjajaran bintang-bintang dengan kegelapan yang melingkupinya. Sebagian yang lain terdapat pada efek keseluruhan dari puisi ini; kata-kata seperti goodness (kebaikan) dan innocent (murni, tanpa dosa) memberikan daya tarik, yang hampir tidak disadari, pada perasaan pembaca tentang apa itu sesuatu yang indah dan secara moral berharga. Di sini muncul tegangan fungsi puitis bahasa.

Gagasan yang dihasilkan tentang sang perempuan ini, dengan demikian, dihasilkan dari beragam elemen dalam puisi yang saling berpadu. Harmoni dari puisi ini berpadu dengan harmoni dari sang perempuan dan kemudian terpadu dengan perasaan pembaca sendiri tentang harmoni dan keindahan yang menyertainya. Tidak hanya keindahan dan kecantikan sang perempuan saja yang tertinggal dalam diri pembaca namun juga perasaan tentang apa yang benar dalam dunia ini. Terdapat harmoni yang melanda pembaca, insting dan daya tarik estetis pembaca terangsang. Terdapat sebentuk misteri dalam dunia puisi ini. Aspek sang perempuan merefleksikan aspek dunia yang indah dan pada dasarnya suci, murni dan baik.

Penutup.
Keindahan puisi “She Walks in Beauty” dihasilkan oleh unsur-unsur pembangunnya seperti gaya bahasa, citraan, dan rima seperti yang terlihat dalam pembahasan di atas. Struktur inheren puisi “She Walks in Beauty” memang membuatnya menjadi indah, namun nilai estetis/keindahan muncul juga karena adanya interaksi antara puisi tersebut secara objektif dan tanggapan pengamat yang subyektif. Nilai estetis puisi “She Walks in Beauty” muncul karena adanya elemen yang terkait dengan rasa dan indra dalam puisi tersebut; elemen yang menarik imajinasi dan perasaan pembaca tentang apa itu keindahan.

DAFTAR PUSTAKA
Keraf, Gorys. 2002. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Laurance Perrine. 1974. Sound and Sense:  An Introduction to Poetry. Third Edition. New York: Harcourt Brace Javanovich
Reaske, Christopher Russel. 1966. How to Analyze Poetry. New York: Monarch Press.
Santayana, George. 1961. The Sense of Beauty: Being the Outline of Aesthetic Theory. New York: Collier Books.
Siswantoro, 2002. Apresiasi Puisi-puisi Sastra Inggris. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Teeuw. A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya
The Liang Gie. 1976. Garis Besar Estetik (Filsafat Keindahan). Yogyakarta: Supersukses.


[1] Laurence Perrine. Sound and Sense: An Introduction to Poetry. hal. 3
[2] George Santayana. The Sense of Beauty: Being the Outline of Aesthetic Theory. hal. 43
[3] Theodor Lipps dalam The liang Gie. Garis Besar Estetik (Filsafat Keindahan). hal. 55
[4] Jan Mukarovsky dalam A. Teeuw. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. hal. 358
[5] A. Teeuw. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. hal 362 - 377
[6] Gorys Keraf. Disksi dan Gaya Bahasa. hal. 138
[7] Gorys Keraf. Disksi dan Gaya Bahasa. hal. 139
[8] Gorys Keraf. Disksi dan Gaya Bahasa. hal. 135
[9] Laurence Perrine. Sound and Sense: An Introduction to Poetry. hal. 54
[10] Laurence Perrine. Sound and Sense: An Introduction to Poetry. hal. 195
[11] Laurence Perrine. Sound and Sense: An Introduction to Poetry. hal. 162
[12]  Christopher Russel Reaske. How to Analyze Poetry. hal. 57
[13]  Simile merupakan gaya bahasa yang membandingkan dua objek atau benda yang berbeda jenis namun   memiliki titik kesamaan.
[14]   Hiperbola adalah gaya bahasa yang menggambarkan objek, ide, dan lain-lain dengan memberi bobot   tekanan secara berlebihan untuk memperoleh efek yang intens