Salah satu cara manusia mengkespresikan pikiran dan perasaannya adalah melalui seni dan sastra. Secara umum kita dapat mengelompokkan seni menurut media yang digunakan yaitu seni yang bisa dinikmati oleh pendengaran, seperti seni suara dan seni musik; penglihatan, seperti seni lukis dan seni patung; dan seni yang kita nikmati melalui indra pendengaran dan penglihatan kita seperti pertunjukan musik, wayang dan film.
Sastra sebagai bagian dari seni secara umum bisa dibedakan menurut media yang digunakan yaitu sastra lisan dan sastra tulis. Pantun merupakan salah satu contoh sastra lisan. Contoh sastra tulis adalah cerpen dan novel. Drama merupakan karya sastra yang ditulis dengan tujuan untuk dipentaskan. Dengan kata lain, drama memang dari awal penciptaannya dapat dinikmati dengan indra penglihatan dalam bentuk tulisan, dan ketika dipentaskan menjadi sebuah pertunjukan, drama dinikmati tidak hanya dengan indra penglihatan namun juga indra pendengaran. Kali ini kita akan membicarakan bagaimana karya seni, termasuk sastra, dapat beralih wahana.
1. Apa yang dimaksud dengan alih wahana ?
Wahana adalah kendaraan atau medium. Dengan demikian alih wahana bisa diartikan sebagai perubahan dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian yang lain. Beberapa istilah dalam alih wahana adalah musikalisasi, novelisasi, dramatisasi dan ekranisasi. Yang paling kita kenal bisa jadi adalah musikalisasi, misalnya puisi yang dijadikan lagu dengan iringan musik. Novelisasi adalah perubahan dari film menjadi novel. Dalam dramatisasi, karya tulis dijadikan drama. Istilah yang sepertinya menarik untuk dibahas adalah ekranisasi: perubahan novel menjadi film.
2. Sepertinya perlu dijelaskan lebih dahulu arti kata ekranisasi.
Ekranisasi berasal dari kata bahasa Perancis “ecran” yang berarti layar. Jadi ekranisasi adalah perubahan dari karya tulis yang berupa novel menjadi sebuah film yang bisa kita lihat di layar lebar. Terdapat sejumlah perbedaan antara novel dan film yang harus kita perhatikan. Pertama: novel adalah dunia kata-kata, sedangkan film adalah dunia gambar gambar yang bergerak. Ketika membaca novel, kita menggunakan indra penglihatan sedangkan ketika menonton film, kita tidak hanya menggunakan indra penglihatan tapi juga indra pendengaran. Dengan demikian kita juga bisa membedakan penikmat novel yang disebut pembaca dengan penikmat film yang disebut penonton. Perbedaan yang terakhir adalah dari segi penciptaan: novel merupakan karya individu dari seorang penulis sedangkan film merupakan karya “beregu”, sekelompok orang yang terdiri dari mulai penulis naskah, sutradara, pemain, sampai sejumlah kru film yang lain yang memungkinkan sebuah film dapat muncul di gedung bioskop untuk dinikmati para penontonnya.
3. Karena ekranisasi merupakan sebuah proses perubahan, apa saja yang sebenarnya berubah ketika sebuah novel diangkat ke layar lebar ?
Yang perlu diingat dalam proses alih wahana adalah bahwa setiap hasil alih wahana merupakan karya baru karena adanya perubahan watak, ciri dan mungkin juga pesan. Dalam merubah sebuah novel menjadi film bisa jadi ada penciutan atau penambahan. Apa yang ada dalam novel tidak selalu muncul dalam film, atau sebaliknya, ada yang tidak terdapat dalam novel bisa muncul dalam film. Misalnya, ada tokoh atau karakter yang ada di dalam novel tapi dengan pertimbangan tertentu tidak dimunculkan dalam film, atau sebaliknya muncul tokoh dalam film yang sebenarnya tidak ada dalam novel. Seringkali terjadi juga perubahan alur cerita atau bagian akhir cerita. Bisa juga latar dalam novel berubah ketika diangkat ke layar lebar. Perubahan-perubahan tersebut bisa terjadi karena sutradara atau penulis skenario memiliki sejumlah pertimbangan tertentu.
4. Sebelum kita lanjutkan, bisakah disebutkan contoh-contoh ekranisasi yang bisa kita tonton di Indonesia ?
Kita pasti pernah menonton serial film Harry Potter yang sudah berulangkali tayang di televisi. Beberapa dari kita bisa jadi sangat menikmati film Harry Potter tanpa menyadari bahwa film tersebut merupakan visualisasi dari novel yang ditulis oleh JK Rowling. Sebagian dari kita mungkin memang memilih untuk menonton filmnya daripada membaca tujuh novel Harry Potter yang tebalnya mencapai ribuan halaman. Contoh yang lain adalah seri Twilight Saga yang diangkat ke layar lebar dari empat novel karya Stephenie Meyer. Di Indonesia, di tahun 80an terdapat sejumlah film yang diadaptasi dari novel, misalnya, Merpati Tak Pernah Ingkar Janji yang dibintangi Adi Bing Slamet dan Paramitha Rusady yang diadaptasi dari novel karangan Mira W. Ada juga film Lupus yang merupakan adaptasi dari novel popular dengan judul yang sama karangan Hilman Hariwijaya. Hasil ekranisasi yang sempat sangat popular beberapa waktu yang lalu misalnya adalah film Laskar Pelangi dari novel karya Andrea Hirata dan Ayat Ayat Cinta karya Habiburrahman. Film Ayat Ayat Cinta bahkan kemudian dibuat menjadi serial televisi.
5. Apa alasan munculnya ekranisasi ?
Ekranisasi biasanya lahir karena novel tersebut terkenal sehingga menimbulkan rasa ingin tahu bagaimana kalau novel itu di filmkan. Ada juga yang tertarik mengangkat novel ke layar lebar karena ide cerita yang menarik. Bisa juga karena adanya keinginan untuk meraih jumlah peminat yang lebih banyak dan lebih beragam. Tidak semua orang suka atau punya waktu untuk membaca novel, sementara film bisa diselesaikan dalam waktu sekitar dua jam.
6. Ekranisasi melibatkan perubahan, apa kira-kira dampak alih wahana dari novel ke film layar lebar ?
Adanya perubahan ciri, watak, dan bisa jadi pesan dalam proses ekranisasi membuat hasilnya bisa jadi tidak memuaskan baik bagi penulis maupun penonton. Membaca novel memang membutuhkan waktu yang lebih lama, namun proses pembacaan novel membuka ruang untuk imajinasi dan visualisasi dalam benak pembaca. Hal tersebut acap kali membuat penonton film yang sudah lebih dahulu membaca novelnya kecewa ketika disuguhi dengan visualisasi dalam film. Sejumlah film hasil ekranisasi dianggap berhasil memvisualisasikan novel, contohnya adalah Harry Potter dan Twilight Saga yang sudah disebutkan di atas. Perubahan alur cerita juga bisa menjadikan penonton tidak puas dan mempertanyakan kenapa cerita dalam film tidak sama dengan dalam novel. Keterbatasan durasi film juga bisa menjadi alasan perubahan alur cerita. Novel Remi Silado yang berjudul Ca Bao Kan misalnya, harus merelakan beberapa bagian dari alur cerita untuk dipenggal ketika diangkat ke layar lebar. Salah satu alasannya cukup sederhana: seberapa kuat penonton bisa bertahan di gedung bioskop selama lebih dari dua jam? Jika penulisnya masih hidup, pembuat film biasanya akan berbicara dengan si penulis sebelum mengangkat novel tersebut ke layar lebar. Bisa jadi akan disepakati sejumlah perubahan untuk menyesuaikan ciri yang berbeda antara novel dan film. Namun acap kali penulis bisa saja merasa tidak puas karena menganggap pesan dalam novel ternyata tidak tersampaikan dalam film.
7. Apa kesimpulan yang bisa kita ambil dari diskusi kita tentang ekranisasi ?
Yang perlu diingat dalam proses alih wahana adalah bahwa setiap hasil alih wahana merupakan karya baru karena adanya perubahan watak, ciri dan mungkin juga pesan. Hal yang sama juga berlaku untuk ekranisasi. Karena novel dan film memiliki bahasa, hukum, ukuran dan nilai tersendiri, maka tidak relevan kalau kita mengatakan sebuah novel lebih bagus dari film atau lebih jelek dari filmnya ketika novel tersebut diangkat ke layar lebar. Di satu sisi, penonton yang datang untuk menonton film sebaiknya tidak datang dengan maksud membandingkan antara novel dengan filmnya supaya tidak kecewa ketika merasa film tersebut tidak sesuai dengan novelnya. Di sisi lain, para pembuat film ekranisasi sebaiknya juga mempertimbangkan apakah sebuah novel memang layak untuk diadaptasi ke layar lebar.
Demikian penjelasan berkaitan dengan ekranisasi - alih wahana dari novel ke film. (Ditulis oleh Arida Widyastuti.dan Eta Farmacelia Nurulhady)
Semoga bermanfaat.
Daftar Pustaka :
Damono, Sapardi Djoko. 2012. Alih Wahana. Jakarta: Editum.
Eneste, Pamusuk. 1991. Novel dan Film. Flores: Penerbit Nusa Indah.