Komunikasi lintas budaya (cross cultural communication) oleh Hafied Cangara diartikan sebagai proses di mana suatu ide diberikan dari sumber kepada satu penerima atau lebih dengan tujuan untuk mengubah tingkah laku mereka. Pada prinsipnya, komunikasi lintas budaya merupakan kajian komunikasi yang berfokus pada perbandingan praktik-praktik komunikasi yang terjadi di berbagai budaya.
- komunikasi yang dilakukan oleh dua kebudayaan atau lebih.
- komunikasi yang dilakukan sebagai akibat dari terjalinnya komunikasi antar unsur kebudayaan itu sendiri, seperti komunikasi antar masyarakatnya.
- Teori-teori komunikasi antar budaya yang dibangun akibat perluasaan teori komunikasi yang secara khusus dirancang untuk menjelaskan komunikasi intra/antar budaya.
- Teori-teori baru yang dibentuk dari hasil-hasil penelitian khusus dalam bidang komunikasi antar budaya.
- Teori-teori komunikasi antar budaya yang diperoleh dari hasil generalisasi teori ilmu lain, termasuk proses sosial yang bersifat isomorfis.
Beberapa teori yang dikenal dalam komunikasi lintas budaya adalah sebagai berikut :
1. Anxiety/Uncertainty Management Theory.
Anxiety/uncertainty management theory atau teori pengelolaan kecemasan/ketidak-pastian, dikemukakan oleh William Gudykunst. Teori ini memfokuskan perhatiannya kepada perbedaan budaya yang terdapat dalam suatu kelompok orang asing. Teori ini muncul dari keyakinan William Gudykunst bahwa kecemasan dan ketidakpastian adalah dasar penyebab dari kegagalan komunikasi pada situasi antar kelompok. Kecemasan dan ketidakpastian sebagai penyebab kegagalan komunikasi adalah :
- kecemasan yang bersifat afeksi suatu emosi, dan ;
- ketidakpastian yang bersifat kognitif.
William Gudykunst berpendapat bahwa teori yang dikemukakannya tersebut dapat digunakan pada segala situasi di mana terdapat perbedaan di antara keraguan dan ketakutan.
Konsep dasar anxiety/uncertainty management theory adalah sebagai berikut :
- konsep diri dan diri. Meningkatnya harga ketika berinteraksi dengan orang asing akan menghasilkan peningkatan kemampuan mengelola kecemasan.
- motivasi untuk berinteraksi dengan orang asing. Meningkatnya kebutuhan diri untuk masuk dalam kelompok saat berinteraksi dengan orang asing akan menghasilkan sebuah peningkatan kecemasan.
- reaksi terhadap orang asing. Suatu peningkatan dalam kemampuan untuk memproses informasi yang kompleks, mentoleransi saat berinteraksi, dan berempati dengan orang asing, akan menghasilkan suatu peningkatan kemampuan untuk memprediksi secara tepat perilaku orang asing.
- kategori sosial dari orang asing. Suatu peningkatan kesamaan personal yang kita persepsi antara diri kita dan orang asing, akan menghasilkan peningkatan kemampuan mengelola kecemasan kita dan kemampuan memprediksi secara akurat perilaku orang asing. Suatu peningkatan kesadaran terhadap pelanggaran orang asing dari harapan positif atau harapan negatif kita, akan menghasilkan peningkatan kecemasan kita dan akan menghasilkan penurunan rasa percaya diri dalam memprediksi perilaku orang asing.
- proses situasional. Suatu peningkatan di dalam situasi informal di mana sedang berkomunikasi dengan orang asing, akan menghasilkan suatu penurunan kecemasan dan suatu peningkatan rasa percaya diri terhadap perilaku orang asing.
- koneksi dengan orang asing. Suatu peningkatan di dalam rasa ketertarikan dan jaringan kerja dengan orang asing, akan menghasilkan penurunan kecemasan dab peningkatan rasa percaya diri dalam memprediksi perilaku orang asing.
2. Face Negotiation Theory.
Face negotiatian theory atau teori negosiasi wajah dikemukakan oleh Stella Ting Toomey. Teori ini menjelaskan tentang perbedaan-perbedaan budaya dalam merespon konflik. Stella Ting Toomey berasumsi bahwa orang-orang dalam setiap budaya akan selalu "negotiating face". Istilah tersebut merupakan metaphora citra diri publik kita, yaitu cara kita menginginkan orang lain melihat dan memperlakukan diri kita. Postulat fasce negotiation theory adalah "face work" (yang merujuk pada pesan verbal dan non verbal yang menjaga membantu dan menyimpan rasa malu/"face loss", dan menegakkan muka terhormat) orang-orang dari budaya individu akan berbeda dengan budaya kolektivis.
Face negotiation theory menawarkan beberapa model pengelolaan konflik, yaitu sebagai berikut :
- avoiding (penghindaran), yaitu menghindari diskusi mengenai perbedaan-perbedaan dengan anggota kelompok.
- obliging (keharusan), yaitu menyerahkan sepenuhnya kepada kebijakan anggota kelompok.
- compromising (kompromi), yaitu memberi atau menerima sedemikian rupa sehingga tercapai suatu kompromi.
- dominating (dominasi), yaitu memastikan penanganan isu sesuai dengan kehendak sendiri.
- integrating (integrasi), yaitu membicarakan atau mendiskusikan dengan anggota kelompok suatu permasalahan atau suatu informasi yang masuk sehingga menghasilkan suatu solusi.
Face negotiation theory menyatakan bahwa avoiding, obliging, compromising, dominating, dan integrating bertukar-tukar menurut campuran perhatian mereka untuk 'self face' dan 'other face'.
3. Expectancy Violations Theory.
Expectancy violations theory mencoba menguraikan perilaku manusia yang tidak terduga saat mereka berinteraksi. Teori ini menitik-beratkan pada proses komunikasi yang dipengaruhi oleh norma serta budaya yang dianut dan dijadikan sebagai patokan. Adanya pelanggaran terhadap norma dan budaya yang dianut dapat menimbulkan persepsi positif atau negatif, sehingga seseorang akan bersikap hati-hati terhadap orang lain.
Expectancy violations theory bergantung pada jarak dan ruang. Hal ini dikarenakan manusia cenderung mengatur jarak dan ruang sebagai cara untuk mengungkapkan tingkat kedekatan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Dalam teori ini, dijelaskan bahwa manusia cenderung untuk melindungi jarak dan ruang mereka saat harapan mereka mengalami pelanggaran.
4. Conversational Theory.
Conversational theory dikemukakan oleh Min Sun Kim. Teori ini mencoba untuk menjelaskan perbedaan strategi percakapan yang dimiliki oleh masing-masing budaya dan dampak yang ditimbulkan oleh perbedaan tersebut. Conversational theory menggunakan pendekatan ilmu komunikasi sosial yang memandang bahwa budaya mempengaruhi komunikasi.
5. Speech Codes Theory.
Speech codes theory atau teori kode bicara dikemukakan oleh Gerry Philipsen. Teori ini berusaha untuk menjawab tentang keberadaan 'speech code' dalam suatu budaya, serta bagaimana substansi dan kekuatannya dalam sebuah budaya. Gerry Philipsen menyampaikan proposisi-proposisi sebagai berikut :
- di manapun ada sebuah budaya, di situ ditemukan 'speech code' yang khas.
- sebuah 'speech code' mencakup retorikal, psikologi, dan sosiologi budaya.
- pembicaraan yang signifikan bergantung 'speech code' yang digunakan pembicara dan pendengan untuk mengkreasi dan menginterpretasi komunikasi mereka.
- istilah, aturan, dan premis terkait ke dalam pembicaraan itu sendiri.
- kegunaan suatu 'speech code' bersama adalah menciptakan kondisi memadai untuk memprediksi, menjelaskan, dan mengontrol formula wacana tentang intelijenitas, prudens/bijaksana, dan moralitas dari perilaku komunikasi.
6. Teori Akomodasi Komunikasi.
Teori akomodasi komunikasi menitik-beratkan pada strategi individu untuk mengurangi atau menambah jarak komunikatif yang bergantung pada norma dan budaya yang dianut. Teori akomodasi komunikasi menguraikan kecenderungan manusia untuk menyesuaikan perilaku saat mereka berinteraksi. Terdapat dua jenis proses akomodasi yang dijelaskan dalam teori ini, yaitu :
- konvergen, yaitu proses di mana orang cenderung untuk beradaptasi dengan karakteristik komunikasi orang lain untuk mengurangi perbedaan sosial.
- divergen, yaitu proses di mana orang cenderung menekankan pada perbedaan sosial dan perbedaan non verbal yang ada.
Demikian penjelasan berkaitan dengan teori komunikasi lintas budaya.
Semoga bermanfaat.