Pengertian Grasi, Alasan Pemberian Grasi Serta Prosedur Permohonan Grasi

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Istilah grasi berasal dari bahasa Belanda, yaitu "gratie" yang berarti anugerah. Secara umum, grasi dapat diartikan dalam dua pengertian, yaitu :
  • dalam arti luas, Grasi adalah suatu pernyataan dari kepala negara yang meniadakan sebagian atau seluruh akibat hukum dari suatu tindak pidana menurut hukum pidana.
  • dalam arti sempit, Grasi adalah peniadaan dari pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim bagi seorang terpidana yang telah mempunyai suatu kekuatan hukum yang tetap.

Di Indonesia, grasi secara terperinci diatur dalam Undang-Undang Nomor : 22 Tahun 2002 tentang Grasi, dan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor : 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Dalam undang-undang tersebut pengertian grasi diatur dalam Pasal 1 angka (1), yang berbuyi :
  • Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh presiden.

Selain pengertian grasi sebagaimana tersebut di atas, para ahli juga mengemukakan pendapatnya tentang apa yang dimaksud dengan grasi, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut :
  • Bagir Manan, menyebutkan bahwa grasi adalah kewenangan presiden memberi pengampunan dengan cara meniadakan atau mengubah atau mengurangi pidana bagi seorang yang dijatuhi pidana dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Menurut Bagir Manan, grasi tidak meniadakan kesalahan, tapi mengampuni kesalahan sehingga orang yang bersangkutan tidak perlu menjalani seluruh masa hukuman atau diubah jenis pidananya atau tidak perlu menjalani pidana.  
  • van Hamel, mengartikan grasi sebagai suatu pernyataan dari kekuasaan tertinggi yang menyatakan bahwa akibat-akibat menurut hukum pidana dari suatu delik menjadi ditiadakan, baik seluruhnya maupun untuk sebagian.
  • Hazewinkel Suringa, mendefinisikan grasi dengan peniadaan dari seluruh atau pengurangan dari suatu pidana, yaitu pengurangan mengenai waktu atau mengenai jumlah, atau perubahan mengenai pidana tersebut.

Pemberian Grasi. Grasi merupakan hak khusus dari dan diberikan oleh presiden. Hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi:
  • (1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung.

Sebelum adanya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945, pemberian grasi termasuk juga rehabilitasi, amnesti dan abolisi, merupakan hak absolut presiden. Setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945, pemberian grasi oleh presiden dibatasi (tidak absolut lagi) yaitu dengan memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung sebagai pelaksana fungsi yudikatif. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan oleh presiden.

Pembatasan kekuasaan presiden dalam memberikan grasi, termasuk juga dalam pemberian rehabilitasi, amnesti dan abolisi, tersebut merupakan konsekuensi dari konsep pemisahan kekuasaan menurut Montesquieu yang juga dikenal dengan Trias Politica, di mana kemurnian pemisahan kekuasaan negara harus dipisahkan menjadi tiga bagian, yaitu :
  • Kekuasaan legislatif, yaitu pembuat peraturan perundang-undangan.
  • Kekuasaan eksekutif, yaitu pelaksana peraturan perundang-undangan.
  • Kekuasaan yudikatif, yaitu untuk mempertahankan peraturan perundang-undangan. 

Grasi hanya dapat diajukan kepada presiden terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 2010, yang berbunyi :
  • (1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada presiden.
Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 2010 tersebut memberikan kebebasan kepada terpidana untuk menggunakan atau tidak menggunakan hak untuk mengajukan permohonan grasi sesuatu dengan peraturan perundang-undangan.

Terhadap pengajuan grasi dari terpidana tersebut, presiden setelah memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung dapat menolak permohonan grasi dari terpidana atau memberikan grasi berupa :
  • peringanan atau pengurangan hukuman.
  • penghapusan hukuman, di mana pelaksanaan hukuman baik berupa denda maupun hukuman penjara yang sudah diputuskan oleh pengadilan ditiadakan.
  • perubahan jenis hukuman yang telah divoniskan.

Yang Dapat Mengajukan Grasi. Permohonan grasi diajukan secara tertulis, dan pihak yang dapat mengajukan permohonan grasi adalah sebagai berikut :
  • terpidana atau kuasa hukumnya.
  • keluarga terpidana dengan persetujuan terpidana. Keluarga yang dimaksud adalah isteri atau suami, anak kandung, orang tua kandung, atau saudara sekandung terpidana.
  • keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana, apabila terpidana dijatuhi hukuman mati.

Alasan Pemberian Grasi. Terdapat beberapa alasan presiden dalam memberikan grasi kepada terpidana. Beberapa alasan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :
  • Terpidana menderita penyakit parah yang tidak dapat disembuhkan.
  • Terpidana pernah berjasa bagi masyarakat.
  • Adanya praktik ketidak-adilan yang secara nyata ditunjukkan.
  • Adanya sejumlah perkembangan yang belum dijadikan bahan pertimbangan oleh hakim pada saat menjatuhkan putusan.
  • Terdapat kekurangan dalam peraturan perundang-undangan yang menyebabkan hakim terpaksa menjatuhkan hukuman kepada terpidana.
  • Terpidana telah selesai menjalani masa percobaan dan pada saat tersebut terpidana dianggap pantas untuk menerima pengampunan karena berkelakuan baik.
  • Adanya perubahan dalam tatanan kemasyarakat atau kenegaraan.
  • Demi kepentingan keluarga terpidana.

Menurut Pompe, grasi dapat diberikan apabila terdapat keadaan sebagai berikut :
  • terdapat kekurangan di dalam peraturan perundang-undangan, yang di dalam suatu peradilan telah menyebabkan hakim terpaksa menjatuhkan suatu pidana tertentu, yang apabila kepada hakim tersebut telah diberikan suatu kebebasan yang lebih besar, akan menyebabkan seseorang harus dibebaskan atau tidak akan diadili oleh pengadilan atau harus dijatuhi suatu pidana yang lebih ringan.
  • terdapat adanya keadaan-keadaan yang tidak ikut diperhitungkan oleh hakim pada waktu menjatuhkan pidana, yang sebenarnya perlu diperhitungkan untuk meringankan atau untuk meniadakan pidana yang telah ia dijatuhkan.
  • terpidana baru saja dibebaskan dari lembaga pemasyarakatan.
  • terpidana telah selesai menjalani suatu masa hukuman percobaan, yang menyebabkan terpidana dapat dipandang sebagai pantas untuk mendapatkan pengampunan. 

Sedangkan van Hattum berpendapat bahwa pemberian grasi tidak boleh lagi digunakan sebagai kemurahan hati dari kepala negara/presiden/raja, grasi diberikan harus dengan alasan :
  • sebagai alat untuk meniadakan ketidak-adilan yang terjadi, yaitu apabila hukum yang berlaku di dalam pemberlakuannya dapat menjurus pada suatu ketidak-adilan. 
  • demi kepentingan negara.

Prosedur Permohonan Grasi. Permohonan grasi hanya dapat diajukan satu kali. Hal tersebut dimaksudkan agar memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan pengajuan permohonan grasi dan menghindari pengaturan diskriminatif. Berdasarkan ketentuan undang-undang, prosedur permohonan grasi adalah sebagai berikut :
  • membuat surat permohonan grasi yang ditujukan kepada presiden.
  • permohonan grasi harus diajukan selambat-lambatnya 14 hari setelah dijatuhkannya putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Khusus untuk hukuman mati, permohonan grasi  dapat diajukan selambat-lambatnya 30 hari setelah diterimanya salinan putusan tersebut.
  • setelah menerima surat permohonan yang diajukan oleh terpidana, panitera pengadilan harus mengirimkan surat tersebut beserta berita acara sidang, surat keputusan terhadap terpidana serta dokumen-dokumen lain yang berkaitan kepada ketua pengadilan yang memutus pada tingkat pertama.
  • ketua pengadilan kemudian mengirimkan surat permohonan tersebut beserta pertimbangannya kepada kepala kejaksaan negeri yang menuntut pada tingkat pertama.
  • kepala kejaksaan negeri kemudian akan segera meneruskan berkas perkara beserta pertimbangannya tersebut kepada Mahkamah Agung. 
  • Dalam jangka waktu paling lama 20 hari sejak tanggal penerimaan salinan permohonan grasi, Mahkamah Agung segera mengirimkan berkas perkara tersebut bersama dengan semua petimbangan yang diberikan kepada Menteri Kehakiman.
  • Menteri Kehakiman kemudian akan menyerahkan berkas beserta pertimbangannya tersebut presiden melalui Sekretariat Negara.
  • Setelah menerima berkas, presiden kemudian dapat memberikan keputusannya terkait dengan permohonan grasi yang diajukan. Keputusan presiden dapat berupa penolakan atau penerimaan permohonan grasi. Presiden akan memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung.
  • Keputusan Presiden tersebut akan disampaikan kepada Menteri Kehakiman untuk dibuatkan petikannya dan kemudia akan diumumkan. 
  • Keputusan Presiden harus disampaikan kepada terpidana dalam jangka waktu paling lambat 14 hari terhitung sejak ditetapkannya Keputusan Presiden tersebut. 

Mahkamah Agung sebelum mengirimkan berkas permohonan grasi kepada Menteri Kehakiman, dapat terlebih dahulu mengirimkan berkas permohonan grasi tersebut kepada Jaksa Agung, apabila :
  • putusan pengadilan tersebut berkenaan dengan hukuman mati.
  • Mahkamah Agung membutuhkan saran atau pendapat dari Jaksa Agung mengenai kebijaksanaan penuntutan.
  • Jaksa Agung sebelumnya telah mengemukakan bahwa ia ingin dimintai pertimbangan.
Setelah Jaksa Agung memberikan pertimbangannya, maka Jaksa Agung akan mengirimkan kembali berkas permohonan grasi tersebut beserta berkas pertimbangan Jaksa Agung kepada Mahkamah Agung untuk kemudian dilanjutkan ke Menteri Kehakiman.

Semoga bermanfaat.