Upaya Hukum Dalam Hukum Acara Pidana

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Upaya hukum menurut ketentuan Pasal 1 angka 12 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAPidana) adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Dari ketentuan Pasal 1 angka 12 KUHAPidana tersebut, upaya hukum dapat dikelompokkan sebagai berikut :
  1. Perlawanan.
  2. Upaya hukum biasa, yang meliputi : banding dan kasasi.
  3. Upaya hukum luar biasa yang meliputi : pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan hukum dan peninjauan kembali.
1. Perlawanan.
Upaya hukum perlawanan dilakukan terhadap :
  • Penetapan ketua pengadilan yang berpendapat bahwa Pengadilan Negeri yang dipimpin tidak berwenang mengadili perkara yang dilimpahkan oleh penuntut umum. Yang dapat menggunakan upaya hukum ini adalah penuntut umum yang ditujukan kepada Pengadilan Tinggi melalui Ketua Pengadilan Negeri yang mengeluarkan penetapan tersebut.
  • Putusan hakim Pengadilan Negeri yang menerima eksepsi terdakwa atau penasehat hukumnya. Yang dapat menggunakan upaya hukum ini adalah penuntut umum yang ditujukan kepada Pengadilan Tinggi melalui Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
  • Putusan hakim Pengadilan Negeri dalam perkara pelanggaran Undang-Undang Lalu Lintas (acara pemeriksaan cepat) yang terdakwanya tidak hadir di mana putusannya berupa perampasan kemerdekaan. Yang dapat menggunakan upaya hukum ini adalah terdakwa yang ditujukan kepada Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Tenggang waktu untuk mengadakan upaya hukum perlawanan ini adalah tujuh hari setelah penetapan atau putusan.

2. Upaya Hukum Biasa
Upaya hukum biasa, diatur dalam ketentuan Pasal 233 sampai dengan Pasal 258 KUHAPidana. Upaya hukum biasa meliputi :

a. Banding.
Pasal 67 KUHAPidana berbunyi :
  • "Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan  tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat".
Dari ketentuan tersebut di atas, undang-undang memberikan hak pada para pihak untuk mengajukan upaya hukum banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, kecuali terhadap :
  • putusan bebas, termasuk di dalamnya bebas murni/bebas dari segala dakwaan dan bebas tidak murni.
  • lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum. 
  • putusan pengadilan dalam acara cepat, termasuk di dalamnya adalah putusan tindak pidana ringan dan perkara pelanggaran lalu lintas.

b. Kasasi.
Pasal 244 KUHAPidana berbunyi :
  • "Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan  bebas".
Upaya hukum kasasi dapat diajukan ke Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas (bebas
murni). Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak guna menentukan :
  • apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya.
  • apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang.
  • apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.

3. Upaya Hukum Luar Biasa.
Upaya hukum luar biasa diatur dalam ketentuan Pasal 259 sampai dengan Pasal 269 KUHAPidana. Upaya hukum luar biasa meliputi :

a. Pemeriksaan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum.
Pasal 259 KUHAPidana berbunyi :
  • (1) Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan  hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, dapat diajukan satu kali permohonan kasasi oleh Jaksa Agung.
  • (2) Putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan.
Upaya hukum ini digunakan terhadap semua putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan apapun isi keputusannya, baik dari Pengadilan Negeri ataupun dari Pengadilan Tinggi, yang hanya dilakukan oleh Jaksa Agung melalui Pengadilan Negeri yang bersangkutan.

b. Peninjauan Kembali.
Pasal 263 KUHAPidana berbunyi :
(1) Terhadap putusan  pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan pengajuan kembali kepada Mahkamah Agung.
(2) Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar :
  • apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
  • apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu terlah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain.
  • apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
(3) Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.

Upaya hukum peninjauan kembali digunakan terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang berupa pemidanaan, baik putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, ataupunah Mahkamah Agung. Yang berhak menggunakan upaya hukum peninjauan kembali adalah terpidana atau ahli warisnya, yang ditujukan kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Negeri yang bersangkutan.

Semoga bermanfaat.