Perumusan Sebab Akibat Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana)

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Penerapan ajaran-ajaran sebab akibat dalam praktek akan selalu disesuaikan dengan perkembangan hukum yang hidup dalam masyarakat, maksudnya adalah secara kasuistis akan dipengaruhi oleh :
  • keseimbangan antara kesadaran hukum perseorangan atau kelompok masyarakat tertentu dengan kesadaran hukum masyarakat pada umumnya, dan berpedoman pada ajaran-ajaran conditio sine qua non, teori umum keseimbagan dan teori khusus secara berimbang.
  • faktor keadaan, tempat dan waktu  juga mempengaruhi penilaian tersebut.

Ajaran sebab akibat dalam kaitannya dengan :
1. Delik Material
Delik material adalah delik yang baru dianggap sempurna jika akibat yang ditimbulkan dari tindakan yang dilakukan telah nyata. Atau dengan kata lain, setelah terjadi suatu akibat yang ditentukan dalam salah satu pasal KUH Pidana, baru dapat didakwakan bahwa pelaku melanggar pasal yang bersangkutan.  Misalnya, tindakan merampas jiwa orang sebagai mana pasal 338 KUH Pidana yang berakibat matinya orang lain. Oleh karena delik material mensyaratkan harus terjadi terlebih dahulu suatu akibat dari perbuatan yang dilakukan, maka delik material tersebut paling banyak berhubungan dengan ajaran sebab akibat.

2 Delik Formal.
Delik formal adalah delik-delik yang dianggap telah sempurna, jika seseorang telah melakukan tindakan yang dilarang atau tidak melakukan yang diharuskan dan memenuhi unsur-unsur dari pasal KUH Pidana. Misalnya tercantum dalam pasal 242 KUH Pidana tentang sumpah palsu dan keterangan palsu. Dalam delik formal tidak disyaratkan harus telah terjadi akibat dari perbuatan yang dilakukan. Oleh karenanya pada delik formal, peranan sebab akibat tidak begitu besar.

Salah satu yang termasuk dalam delik formal adalah delik omisi, yaitu tindakan pasif yang diharuskan, yang jika tidak melakukannya diancam dengan pidana. Delik omisi terbagi menjadi dua hal, yaitu :

  • delik omisi yang sebenarnya  atau delik keharusan yang pada umumnya termasuk delik formal.  Misalnya, ketentuan tentang wajib melaporkan suatu kejahatan tertentu, sebagaimana diatur dalam pasal 164 KUH Perdata. 
  • delik omisi yang tidak sebenarnya atau delik campuran komisi dan omisi, yang pada umumnya termasuk delik material. Misalnya, keharusan memberikan pertolongan pada seseorang yang berada dalam keadaan bahaya, sebagaimana dimaksud dalam pasal 531 KUH Pidana.
Kaitan ajaran sebab akibar dengan delik omisi dapat dibedakan menjadi 2 hal, yaitu :
  • Sepanjang delik omisi merupakan delik formal, maka kaitannya dengan ajaran sebab akibat tidak banyak manfaatnya. Karena dengan telah melakukannya tindakan yang dilarang, maka sudah terpenuhi unsur-unsur tindak pidana.
  • Pada delik omisi yang termasuk delik material, maka disyaratkan adanya akibat tertentu.

Pembuat undang-undang tidak merumuskan sesuatu ketentuan dalam KUH Pidana mengenai sebab akibat. Hanya saja, dalam beberapa pasal tertentu dalam KUH Pidana dirumuskan tindakan-tindakan tertentu yang merupakan sebab dari suatu akibat tertentu. Sehingga perumusan sebab akibat dalam KUH Pidana dapat dilihat sebagai berikut :

  • Penyebab dirumuskan secara jelas, yaitu suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan. Dalam beberapa pasal tertentu dalam KUH Pidana ditentukan tindakan-tindakan yang dilarang atau diharuskan yang merupakan penyebab dari suatu akibat tertentu. Misalnya, ketentuan pasal 351 ayat 3 KUH Pidana.
  • Suatu akibat dirumuskan secara jelas, yaitu suatu kenyataan yang ditimbulkan oleh suatu penyebab. Misalnya, ketentuan pasal 187 ayat 3 KUH Pidana.
  • Sebab dan akibat dirumuskan sekaligus. Misalnya, ketentuan pasal 338 KUH Pidana.
  • Sebab dirumuskan berupa suatu tindakan tertentu, tanpa mensyaratkan telah timbul akibatnya. Misalnya, ketentuan pasal 122ayat 2 KUH Pidana.
  • Akibat dirumuskan berupa suatu kenyataan tertentu, tanpa menentukan suatu tindakan tertentu sebagai akibatnya. Misalnya, ketentuan pasal 359 KUH Pidana.
  • Perumusan sebab dan akibat, dapat disimpulkan sebagai tidak diperlukan, dalam hal telah terjadi atau tidaknya suatu delik. Misalnya, ketentuan pasal 362 KUH Pidana.
  • Perumusan sebab akibat tercakup dalam jiwa pelaku yang berbentuk sebab dan peristiwa yang dikehendaki yang merupakan akibat. Seperti telah diketahui bahwa kesalahan merupakan salah satu unsur yang selalu harus dianggap ada dalam suatu tindak pidana. Kesalahan dalam bentuk kehendak atau niat dapat merupakan pendorong bagi seseorang untuk melakukan sesuatu. Sehingga kehendak atau niat tersebut dapat dikatakan sebagai sebab seseorang melakukan perbuatannya, dan apabila timbul suatu peristiwa yang dikehendakinya, maka hal tersebut merupakan akibat.

Semoga bermanfaat.