Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik, yang berarti bahwa hukum pidana lebih mengutamakan kepentingan umum. Hal ini disebabkan karena penuntutan suatu delik pada dasarnya dibebankan kepada penguasa karena jabatannya, bukan dibebankan kepada orang yang menderita sebagai akibat dari delik. Namun demikian, dalam hal-hal tertentu, hukum pidana membeikan pengecualian, yaitu apa yang disebut sebagai delik aduan.
Delik aduan pada garis besarnya berarti suatu delik yang hanya dapat dilakukan penuntutan apabila ada pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan. Delik aduan hanya ada pada kejahatan, tidak ada pada pelanggaran. Dilihat dari cara penuntutannya, delik aduan diperbedakan dari delik yang dapat dituntut karena jabatan. Penuntutan suatu delik aduan hanya dapat diterima apabila :
- Telah masuk pengaduan dari penderita atau orang yang berhak mengadu.
- Pengaduan yang dilakukan harus tertulis atau pengaduan secara lisan tapi dicatat oleh petugas penerima aduan.
Jika tidak memenuhi persyaratan tersebut, maka pengaduan tersebut harus dinyatakan sebagai tidak dapat diterima.
Penyimpangan penuntutan terhadap delik aduan adalah karena kepentingan pribadi dari pihak yang dirugikan atau pihak yang berhak mengadu dirasa perlu untuk diutamakan perlindungannya. Yang dijadikan alasan untuk menjadikan suatu delik menjadi delik aduan adalah bahwa dalam hal-hal tertentu, kepentingan seseorang yang dirugikan atau orang yang berhak mengadu, akan lebih dirugikan apabila perkara tersebut disidangkan, dibandingkan dengan kerugian kepentingan umum, apabila perkara tersebut tidak dituntut karena jabatan.
Delik aduan dibedakan menjadi dua bagian, yaitu :
- Delik aduan yang sebenarnya (absolute klachtdelict), yaitu delik-delik yang ditentukan baru dapat dituntut apabila ada pengaduan. Misalnya : penghinaan, pengancaman, delik kesusilaan, dan lain-lain.
- Delik aduan nisbi (relatieve klachtdelict), yaitu delikyang dapat dituntut karena jabatan. Delik aduan nisbi pada umumnya berupa kejahatan terhadap benda yang terjadi dalam keluarga. Misalnya : perusakan barang, pemerasan dan pengancaman, penggelapan, dan lain-lain.
Pihak yang berhak mengadu. Secara umum, pihak yang berhak mengadu dalam delik aduan adalah sebagaimana ditentukan dalam pasal 72 KUH Pidana, yang berbunyi :
- Selama orang yang terkena kejahatan yang hanya dituntut atas pengaduan, belum enam belas tahundan juga belum cukup umur atau orang yang dibawah pengampuan karena suatu sebab lainnya keborosan, maka yang berhak mengadu adalah wakilnya yang sah dalam perkara perdata.
- Jika itu tidak ada, atau harus diadukan sendiri, maka penuntutan dilakukan atas pengaduan wali pengawasan atau pengampu pengawas, atau majelis yang menjadi wali pengawas, atau pengampu pengawas, juga mungkin atas pengaduan istrinya, atau seorang keluarga sedarah dalam garis menyimpang sampai derajat ketiga.
Apabila pihak yang dirugikan atau orang yang berhak mengadu telah meninggal dunia, maka pengaduan dalam delik aduan dapat dilakukan oleh pihak-pihak sebagaimana disebutkan dalam pasal 73 KUH Pidana, yang berbunyi :
- Jika yang terkena kejahatan meninggal di dalam tenggang yang ditentukan dalam pasal berikut, maka tanpa memperpanjang tenggang itu, penuntutan dilakukan atas pengaduan orang tuanya, anaknya, atau suaminya (istrinya) yang masih hidup, kecuali kalau ternyata bahwa yang meninggal tidak menghendaki penuntutan.
Jadi berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, apabila dalam delik aduan pihak yang mengadu bukan orang-orang sebagaimana tersebut dalam pasal-pasal tersebut, maka pengaduan tersebut tidak sah. Konsekuensinya, pelaku delik tersebut tidak dapat dituntut karena syarat sahnya pengaduan tidak terpenuhi.
Dalam hal siapa yang berhak mengadu dalam delik aduan tersebut, terdapat pengecualian yang secara tegas dicantumkan dalam pasal-pasal yang mengatur tentang delik aduan tersebut. Misalnya, pada delik aduan nisbi (pasal 293, 319, 322 KUH Pidana, dan lain-lain) ditentukan bahwa pihak yang berhak mengadu adalah orang yang terkena delik itu sendiri.
Tenggang waktu hak pengaduan. Mengenai kapan dan sampai kapan suatu delik aduan dapat diadukan, diatur dalam ketentuan pasal 74 KUH Pidana yang berbunyi :
- Pengaduan hanya boleh diajukan dalam waktu enam bulan sejak orang yang berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan, jika bertempat tinggal di Indonesia, atau dalam waktu sembilan bulan jika bertempat tinggal di luar Indonesia.
- Jika yang terkena kejahatan menjadi berhak mengadu pada saat tenggang tersebut dalam ayat 1 belum habis, maka setelah saat itu, pengaduan hanya masih dibolehkan diajukan, selama sisa yang masih kurang pada tenggang tersebut.
Awal perhitungan tenggang waktu tersebut adalah sejak yang berhak mengadu mengetahui adanya delik tersebut, tidak dimulai sejak delik tersebut terjadi, tidak juga sejak tindakan itu dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 332 ayat (3) KUH Pidana, yang berbunyi : Pengaduan dilakukan :
- jika wanita ketika dibawa pergi belum cukup umur, oleh diri sendiri, atau orang lain yang harus memberi ijin bila ia bikah.
- jika wanita ketika dibawa pergi sudah cukup umu, oleh dia sendiri atau oleh suaminya.
tidak juga sejak diketahui bahwa pelakunya ternyata masih ada hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam pasal 367 KUH Pidana, yang berbunyi :
- Jika pembuat atau pembantu dari salah kejahatan dalam bab ini adalah suami (istri) dari orang yang terkena kejahatan, dan tidak terpisah meja dan tempat tidur atau terpisah harta kekayaan, maka terhadap pembuat atau pembantu itu, tidak mungkin diadakan tuntutan pidana.
- Jika dia adalah suami (istri) yang pisah meja dan tempat tidur atau pisah harta kekayaan, atau jika dia keluarga sedarah atau semenda, baik dalam garis lurus, maupun garis menyimpang derajat kedua, maka terhadap orang itu hanya mungkin diadakan penuntutan, jika ada pengaduan yang terkena kejahatan.
- Jika menurut lembaga matriarkhal, kekuasaan bapak dilakukan oleh orang lain dari pada bapak kandungnya, maka aturan tersebut ayat di atas, berlaku juga bagi orang itu.
berikut pasal-pasal lain yang merujuk pada ketentuan pasal 367 KUH Pidana tersebut.
Pengecualian atas tenggang waktu pengaduan sebagaimana dimaksud dalam pasal 74 KUH Pidana tersebut, diatur dalam pasal 293 ayat (3) KUH Pidana, yang berbunyi :
- Tenggang tersebut dalam pasal 74, bagi pengaduan ini adalah masing-masing sebilan bulan dan dua belas bulan.
Maksudnya, tenggang waktu pengaduan diberikan selama 9 bulan jika ia bertempat tinggal di Indonesia, dan 12 bulan bila ia berada di luar Indonesia.
Tenggang waktu pencabutan pengaduan. Pengaduan dalam delik aduan dapat dicabut, dengan syarat sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 75 KUH Pidana, yang berbunyi :
- Orang yang mengajukan pengaduan, berhak menarik kembali dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan.
Apabila orang yang berhak mengadu mencabut atau menarik aduan yang telah dibuatnya, maka sejak saat itu juga hak mengadunya telah hilang, sehingga ia tidak dapat mengadu kembali dalam perkara yang sama.
Penyelesaian pengaduan. Berkaitan dengan penyelesaian pengaduan dalam delik aduan, dikarenakan adanya kesempatan (tenggang waktu) bagi pihak yang berhak mengadu untuk mencabut kembali pengaduannya, ada dua pendapat mengenai hal tersebut :
- Pendapat pertama : sebaiknya segera diadakan penyidikan, setelah adanya pengaduan tersebut. Hal ini dikarenakan undang-undang hanya menentukan penuntutannya, tidak penyidikannya. Jadi penyidikan boleh segera dilakukan untuk keperluan pencegahan jangan sampai alat-alat bukti hilang atau dihilangkan oleh pelaku, sebagai akibat dari menunggu habisnya tenggang waktu pencabutan pengaduan tersebut.
- Pendapat kedua : sebaiknya jangan segera diadakan penyidikan. Hal ini karena, dengan adanya penyidikan yang dilakukan akan dapat menyebar luaskan delik tersebut. Bukankah delik aduan itu untuk melindungi kepentingan pribadi pihak yang dirugikan.
Satu hal lagi yang penting, yang harus diperhatikan adalah antara pengaduan dan pelaporan merupakan dua hal yang berbeda.
- Pengaduan merupakan syarat penuntutan yang hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu saja. Maksudnya bahwa penuntut umum tidak dengan sendirinya wajib melakukan penuntutan karena adanya suatu pengaduan. Penuntut umum masih mempunyai hak opportunitas, artinya bahwa apabila hal tersebut demi kepentingan umum perlu dikesampingkan, maka perkara akan ditutup atau dihentikan.
- Laporan dapat dilakukan oleh setiap orang dan tidak merupakan syarat untuk penuntutan.
Semoga bermanfaat.