Tuntutan Pembatalan Perjanjian Atas Dasar Paksaan (Dwang)

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Apakah suatu perjanjian yang dibuat atas dasar paksaan dapat diajukan tuntutan pembatalannya ? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut di atas, terlebih dahulu kita mesti mengerti apa yang dimaksud dengan paksaan ? Secara umum, yang dimaksud dengan paksaan adalah tindakan memaksa pihak lain untuk berperilaku secara spontan, baik melalui tindakan atau tidak bertindak, dengan menggunakan ancaman, imbalan, atau intimidasi atau bentuk lain dari tekanan atau kekuatan.

Sedangkan dalam ketentuan pasal 1324 KUH Perdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dinyatakan bahwa :
  1. Paksaan telah terjadi, apabila perbuatan itu sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata.
  2. Dalam mempertimbangkan hal itu, harus diperhatikan usia dan kedudukan orang-orang yang bersangkutan.
Undang-undang memang tidak memberikan definisi yang tegas tentang apa yang dimaksud dengan paksaan, akan tetapi apabila suatu tindakan memenuhi hal-hal yang tercantum dalam pasal 1324 KUH Perdata tersebut, maka dapatlah dikatakan telah terjadi suatu paksaan.

Dari ketentuan pasal 1324 KUH Perdata tersebut, harus ada hubungan kausal antara paksaan dan penandatanganan perjanjian  (yang merugikan). Kerugian tersebut harus terang/jelas dan segera/nyata. Kerugian tersebut nyata adalah sudah dengan sendirinya, karena bukankah orang membuat perjanjian tersebut karena terpengaruh oleh ketakutan akan kerugian tersebut. Sedangkan mengenai syarat kerugian tersebut, menurut Rutten, harus segera ada/nyata adalah suatu kekeliruan, karena kekhawatirannya justru terhadap kerugian yang akan muncul di kemudian hari, sesudah penandatanganan perjanjian itu.

Perjanjian yang dibuat atas dasar paksaan dapat diajukan tuntutan pembatalannya, demikian itu sebagaimana dimaksud dalam pasal 1323 KUH Perdata, yang berbunyi :
  • Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang membuat suatu perjanjian, merupakan alasan untuk batalnya perjanjian, juga apabila paksaan itu dilakukan oleh seorang pihak ketiga, untuk kepentingan siapa perjanjian tersebut tidak telah dibuat.
Dari ketentuan pasal 1323 KUH Perdata tersebut, ternyata bahwa tidak semua tekanan dalam membuat suatu perjanjian adalah paksaan. Tekanan yang bukan merupakan paksaan, apabila terdapat kondisi sebagai berikut :
  • Tekanan keadaan. Perjanjian yang dibuat di bawah paksaan tidaklah sama dengan perjanjian yang dimuat dalam keadaan memaksa (noodtoestand).
  • Tekanan ekonomi. Tekanan ekonomi bukan merupakan paksaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1323 KUH Perdata tersebut.  

Sedangkan pengecualian dari pasal 1323 KUH Perdata tersebut, ditegaskan dalam ketentuan pasal 1327 KUH Perdata, yang bernunyi :
  • Pembatalan sesuatu perjanjian berdasarkan paksaan tak lagi dapat dituntutnya, apabila setelah paksaan berhenti, perjanjian tersebut dikuatkan, baik secara dinyatakan dengan tegas, maupun secara diam-diam atau apabila seorang melampaukan waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk dipulihkan seluruhnya.
Sehingga dapatlah disimpulkan, bahwa tuntutan pembatalan perjanjian atas dasar paksaan, berdasarkan pasal 1327 KUH Perdata tersebut, hanya boleh dilaksanakan kalau yang bersangkutan, sesudah paksaan tersebut tidak ada lagi, tidak telah menyetujui perjanjian tersebut. Dengan kata lain, jika setelah adanya paksaan, yang menimbulkan rasa takut, dalam menandatangani suatu perjanjian, yang bersangkutan menerima atau membenarkan perjanjian tersebut,  maka dapatlah dianggap bahwa yang bersangkutan telah menyetujui perjanjian tersebut.

Pernyataan menerima atau membenarkan dapat dilakukan secara tegas maupun diam-diam, termasuk kalau yang bersangkutan telah membiarkan waktu lewat begitu saja, sehingga membuat hak tuntutnya menjadi gugur,  padahal dalam tenggang waktu tersebut yang bersangkutan mempunyai hak untuk menuntut pembatalan. Ketentuan tersebut bersesuaian dengan pasal 1454 KUH Perdata

Selain apa yang disebut dalam ketentuan pasal 1454 KUH Perdata tersebut, tuntutan penyataan batal, gugur apabila memenuhi ketentuan dari pasal 1456 KUH Perdata yang berbunyi : 
  • Tuntutan untuk pernyataan batal gugur, jika orang belum dewasa, orang yang ditaruh di bawah pengampuan, perempuan yang bersuami yang bertindak tanpa bantuan suaminya, atau orang yang dapat memajukan adanya paksaan, kekhilafan atau penipuan, secara tegas atau secara diam-diamtelah menguatkan perikatannya setelah ia menjadi dewasa, setelah penghapusan pengampuannya, setelah pembubaran perkawinannya, setelah paksaan berhenti, atau setelah diketahuinya tentang adanya kekhilafan atau penipuan.
Jadi dapatlah dikatakan bahwa  akibat diterimanya atau diakuinya perjanjian dikemudian hari, sudah diatur di dalam pasal 1456 KUH Perdata, di mana telah ditetapkan juga, bahwa hal tersebut mengakibatkan hak tuntutnya untuk meminta pembatalan telah menjadi gugur.

Semoga bermanfaat.