Dr. Cipto Mangunkusumo

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Dokter Cipto Mangunkusumo, lahir di Desa Pecangaan Jepara, Jawa Tengah, pada tanggal 4 Maret 1886. Beliau merupakan seorang dokter profesional di Indonesia sekaligus tokoh pejuang kemerdekaan nasional Indonesia. Cipto Mangunkusumo menekuni ilmu kedokteran di Stovia (Sekolah Dokter Hindia). Setelah tamat dari Stovia, beliau diangkat sebagai dokter pemerintah Belanda dan ditempatkan di Demak Jawa Tengah..

Selain menekuni bidang kedokteran, Dr. Cipto Mangunkusumo juga tertarik di bidang jurnalistik. Beliau banyak menulis di Surat Kabar De Express, tulisan-tulisan yang beliau hasilkan banyak berupa kritik kepada pemerintah kolonial Belanda. Sebagai seorang dokter, beliau tahu bahwa penyakit yang banyak diderita rakyat Indonesia saat itu disebabkan oleh kemiskinan dan kebodohan masyarakat. Kondisi ini terjadi akibat penjajahan yang dilakukan oleh Balanda. Bukti-bukti inilah yang beliau tulis dalam beberapa surat kabar.  

Tindakan Dr. Cipto Mangunkusuma tersebut membuat Belanda marah, Belanda memberikan peringatan agar beliau tidak menulis kritikan terhadap Belanda di surat kabar. Pemerintah kolonial Belanda mengancam, apabila tidak dipenuhinya, Belanda akan memberhentikannya sebagai dokter pemerintah. Tetapi dokter Cipto Mangunkusumo tidak menggubris peringatan dari Belanda tersebut. Beliau tetap rajin menulis di surat kabar.

Prestasi beliau di bidang kedokteran dibuktikan saat menangani wabah penyakit pes di daerah Kepanjen Malang. Pada saat itu banyak dokter dari Belanda yang menolak untuk membasmi wabah penyakit pes, karena mereka takut tertular penyakit ini. Dengan ilmu kedokteran yang dimilikinya, Dr. Cipto Mangunkusumo berhasil membasmi wabah pes di Kepanjen Malang. Atas prestasinya tersebut, pada tahun 1912 pemerintal kolonial Belanda memberikan penghargaan kepada beliau berupa bintang Orde van Oranje Nassau (kepahlawanan Belanda). Meskipun demikian, beliau tetap setia kepada bangsanya. Beliau mengembalikan bintang jasa yang diterimanya tersebut, karena ijin untuk memberantas wabah pes di Solo tidak diberikan oleh pemerintah Belanda.


Dr. Cipto Mangunkusumo memulai kiprahnya dalam dunia politik Indonesia pada tahun 1912. Bersama-sama dengan dua orang temannya, yaitu Douwes Dekker dan Suwardi Suryaningrat, beliau mendirikan Indische Partij pada tanggal 25 Desember 1912. Tujuan pendirian Indische Partaj adalah untuk menumbuhkan jiwa patriotisme rakyat Indonesia dan melawan pemerintah kolonial Belanda. Mereka bertiga, yaitu Dr. Cipto Mangunkusumo, Suwardi Suryaningrat, dan Douwes Dekker, dikenal sebagai Tiga Serangkai.

Pada tanggal 13 Maret 1913, Indische Partij yang diwakili oleh Douwes Dekker, Dr. Cipto Mangunkusumo, dan I.G. Van Ham mengahadap Gubernur Jenderal untuk meminta pengesahan dari organisasi ini. Mereka juga secara terang-terangan menolak rencana peringatan 100 tahun terbebasnya Belanda dari penjajahan Perancis. Permintaan ijin pendirian Indische Partij tersebut ditolak oleh pemerintah kolonial Belanda. Mereka kemudia ditangkap dan dibuang ke negeri Belanda. Selama dalam pembuangan tersebut, Dr. Cipto Mangunkusumo tidak lantas menyerah begutu saja. Beliau bekerja sebagai redaktur De Indier yang bercorak politik radikal sebagai kelanjutan perjuangannya di Hindia Belanda. Sayangnya. karena penyakit asma yang beliau derita sering kambuh, akhirnya beliau dipulangkan ke Indonesia.

Setelah dipulangkan ke Indonesia, beliau melanjutkan perjuangannya. Melalui Volksraad (Dewan Rakyat) yang dibentuk Belanda, beliau terus melakukan kritik terhadap pemerintah kolonial Belanda. Akibatnya, Dr. Cipto Mangunkusumo kembali ditangkap oleh Belanda, beliau dipindahkan ke Bandung sebagai tahanan kota. Padahal saat itu beliau sedang membuka praktek dokter dan sedang mengembangkan kelompok "Kartini Club" di kota Solo. 

Selama menjalani tahanan kota di Bandung, beliau tetap terus berjuang. Beliau menjadikan rumahnya sebagai tempat berkumpul dan berdiskusi para tokoh pergerakan nasional, seperti Ir. Sukarno. Kegiatan Dr. Cipto Mangunkusumo ini tercium lagi oleh pemerintah kolonial Belanda, beliau kembali ditangkap dan dibuang ke Banda Neira pada tahun 1927. Selama 13 tahun beliau menjalani masa pengasingannya di Banda Neira, kemudian dipindahkan ke Ujungpandang, dan selanjutnya ke Sukabumi, Jawa Barat.

Karena usianya yang semakin lanjut dan penyakit asma yang diderita Dr. Cipto Mangunkusumo semakin parah dan ditambah lagi udara Sukabumi tidak cocok untuk penyakit asma yang dideritanya, maka Belanda memindahkan beliau ke Jakarta. Di kota Jakarta inilah, Dr. Cipto Mangunkusumo menghembuskan nafasnya yang terakhir pada tanggal 8 Maret 1943. Jenazahnya dimakamkan di daerah Watu Ceper, Ambahrawa Jawa Tengah.

Atas perjuangannya dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia menganugerahi gelar kepada Dr. Cipto Mangunkusumo  sebagai Pahlawan Nasional, berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor : 109 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964. Selain itu, nama beliau juga diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Umum Pusat di Jakarata.

Semoga bermanfaat.