Dalam praktek pengadilan, terdakwa mempunyai hak untuk mengadakan perlawan terhadap putusan hakim (upaya hukum) yang telah dijatuhkan atas dirinya. Upaya hukum adalah upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum untuk dalam hal tertentu melawan putusan hakim. Dalam Hukum Acara Perdata dikenal dua macam upaya hukum, yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa.
Upaya hukum biasa adalah perlawan terhadap putusan perstek, banding, dan kasasi. Pada asasnya upaya hukum ini menangguhkan pelaksanaan eksekusi. Pengecualiannya adalah apabila putusan hakim tersebut dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uitvoerbaar bij voorraad ex, pasal 180 ayat 1 H.I.R), maka meskipun diajukan upaya hukum biasa, namun eksekusi akan tetap berjalan terus.
2. Upaya Hukum Luar Biasa.
Upaya hukum luar biasa berbeda dengan upaya hukum biasa. Upaya hukum luar biasa pada asasnya tidak menangguhkan pelaksanaan eksekusi. Yang termasuk upaya hukum luar biasa adalah adalah perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekutorial dan peninjauan kembali. Hal tersebut diatur dalam dalam pasal 208 jucto pasal 207 H.I.R. Jadi meskipun diajukan perlawanan oleh pihak ketiga terhadap sita eksekutorial atau diajukan permohonan peninjauan kembali, pelaksanaan eksekusi tetap berjalan terus. Hal tersebut sebagai mana diatur dalam ketentuan pasal 207 ayat 3 H.I.R yang berbunyi : "Jawab bantahan atau perlawanan itu tidak dapat mencegah permulaan atau penerusan hal menjalankan keputusan itu, kecuali jika ketua sudah memberi perintah, supaya hal itu diundur dengan menantikan keputusan pegadilan negeri". Perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekutorial baru akan menangguhkan eksekusi yang bersangkutan, apabila perlawan yang diajukan tersebut benar-benar beralasan dengan didukung oleh bukti-bukti yang kuat.
Di samping perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekutorial tersebut, juga dikenal perlawanan pihak ketiga terhadap sita jaminan. Perlawanan pihak ketiga terhadap sita jaminan, baik yang berupa sita conservatoir atau sita revindicatoir tidak merupakan upaya hukum luar biasa. Perlawanan pihak ketiga terhadap sita jaminan ini tidak diatur dalam H.I.R, tapi hal tersebut dalam praktek selalu dapat diajukan. Sebagaimana putusan Mahkamah Agung tertanggal 30 April 1963 Nomor : 112 K/Sip/1963, putusan Mahkamah Agung tertanggal 24 April 1980 Nomor : 992 K/Sip/1979, dan putusan Mahkamah Agung tertanggal 28 April 1993 Nomor : 3089 K/Pdt/1991.
Perlawanan pihak ketiga terhadap sita conservatoir harus diperkenankan oleh karena dibutuhkan dalam praktek. Dalam perlawanan tersebut, pelawan harus benar-benar mempunyai kepentingan untuk meminta diangkatnya sita tersebut, karena sita tersebut merugikan haknya. Demikian juga apabila diletakkan sita revindicatoir, ada kemungkinan bahwa pihak ketiga merasa haknya dirugikan, oleh karenanya ia mengajukan perlawanan pihak ketiga agar sita tersebut diangkat.
Perlawanan pihak ketiga terhadap sita jaminan dan terhadap sita eksekutorial harus didasarkan hak milik, yaitu bahwa barang yang disita tersebut adalah milik pihak ketiga. Dalam praktek persidangan, pihak ketiga di sini disebut pelawan, sedangkan penggugat semula, yang berdasarkan permohonan sita tersebut telah diletakkan, disebut terlawan penyita, dan tergugat semula disebut terlawan tersita. Perkara yang diajukan oleh pihak ketiga tersebut disebut perlawanan pihak ketiga atau bantahan pihak ketiga (derden verzet atau verzet door derden). Yang harus dibuktikan oleh pihak pelawan dalam perkara perlawanan tersebut adalah bahwa pihak ketiga benar-benar pemilik dari barang yang disita tersebut. Apabila pihak ketiga berhasil membuktikan, maka sita yang telah diletakkan sepanjang terhadap barang milik pihak ketiga itu akan diperintahkan oleh hakim untuk diangkat. Sebaliknya, apabila pelawan tidak dapat membuktikan atas barang yang disita itu adalah miliknya, maka sita akan tetap dipertahankan terhadap barang tersebut.
Semoga bermanfaat.