Teuku Cik Di Tiro, lahir pada tahun 1836, di daerah Tiro, Pidie, Aceh dengan nama asli Muhammad Saman. Sejak kecil beliau sudah terbiasa hidup di lingkungan pesantren. Teuku Cik Di Tiro banyak menimba ilmu agama dari beberapa ulama terkenal di Aceh, sehingga masa kecil hingga dewasa beliau hidup di lingkungan keagamaan yang taat.
Setelah menunaikan ibadah haji di Mekkah, Teuku Cik Di Tiro menjadi guru agama di daerah Tiro, kota kelahirannya. Dari sinilah kemudian orang-orang mengenalnya sebagai Teuku Cik Di Tiro, yang dalam bahasa Aceh berarti Imam ulama di daerah Tiro.
Selama menunaikan ibadah haji di Mekkah, Teuku Cik Di Tiro menyempatkan untuk bertemu dengan para pimpinan dan ulama Islam yang ada di Mekkah. Dari pertemuan dengan para pimpinan dan ulama Islam di Mekkah inilah Teuku Cik Di Tiro mengetahui perjuangan para pemimpin dan ulama tersebut dalam berjuang melawam imperialisme dan kolonialisme. Sepulangnya dari Mekkah, Teuku Cik Di Tiro bertekad untuk sanggup berkorban apa saja, baik harta benda, kedudukan, maupun nyawa untuk berjuang melawan kolonialisme Belanda demi agama dan bangsanya.
Pada tahun 1871, Belanda menerapkan politik baru di Sumatera. Hal ini akibat dari ditandatanganinya perjanjian antara Belanda dan Inggris, yang dikenal dengan nama Traktat Sumatera. Salah satu isi dari Traktat Sumatera tersebut adalah bahwa Belanda boleh meluaskan pengaruhnya di Sumatera, termasuk Aceh. Berdasarkan perjanjian tersebut, Belanda lantas melancarkan serangannya ke Aceh pada tahun 1873. Pertempuran antara tentara Belanda dan rakyat Aceh terjadi sangat hebat. Pasukan Aceh yang dipimpin oleh Teuku Cik Di Tiro berjuang sekuat tenaga untuk melakukan perlawanan kepada Belanda yang ingin merebut Aceh sebagai wilayah jajahannya. Dalam pertempuran tersebut, akhirnya Belanda berhasil menguasai markas pasukan Aceh di Masjid Raya. Hanya saja, panglima Belanda, Mayor Jenderal JHR. Kohler tewas dalam pertempuran tersebut.
Rakyat Aceh terus melakukan perlawanan untuk dapat merebut kembali Masjid Raya dari pasukan Belanda. Pertempuran yang terjadi antara rakyat Aceh dan pasukan Belanda berlangsung dengan sengit, dan memakan waktu berhari-hari. Pemerintah kolonial Belanda lalu mengirimkan pasukan yang lebih besar, sehingga perlawan rakyat Aceh dapat diredam dan wilayah Aceh Besar dapat ditaklukkan.
Selain itu, Belanda juga melakukan blokade laut, selain untuk mencegah adanya bantuan dari luar Aceh, blokade laut tersebut dilakukan Belanda dengan tujuan untuk mengisolasi Aceh dari dunia luar. Hanya saja, semua yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda tersebut tidak melemahkan semangat Teuku Cik Di Tiro dan pasukannya untuk terus melawan Belanda. Teuku Cik Di Tiro memperkuat diri dengan memusatkan pertahanannya di sekitar Istana Mahmud Syah.
Perjuagan Teuku Cik Di Tiro bersama dengan pasukannya mendapatkan simpati dan dukungan dari masyarakat Aceh, sehingga pasukannya menjadi tambah besar. Pada bulan Mei 1881, pasukan Teuku Cik Di Tiro berhasil merebut benteng Belanda di Indrapuri, benteng Lamboro, dan benteng Aneuk Galong. Perlawanan terhadap Belanda terus di langsungkan hingga ke pulau Breuh. Dari pulau Breuh inilah, Teuku Cik Di Tiro menyusun kekuatan dan strategi untuk merebut kembali Banda Aceh dari tangan Belanda. Belanda semakin terdesak oleh serangan yang dilakukan oleh pasukan Teuku Cik Di Tiro, sehingga benteng pertahanan yang berada di Banda Aceh hampir lepas dari kekuasaannya. Hal tersebut semakin membuat Belanda panik dalam menghadapi perlawanan dari Teuku Cik Di Tiro dan pasukannya.
Usaha Belanda untuk mengadakan perjanjian damai ditolak dengan tegas oleh Teuku Cik Di Tiro. Akhirnya untuk bisa mengalahkan Teuku Cik Di Tiro dan pasukannya, Belanda mengunakan cara licik. Belanda berhasil membujuk salah seorang petinggi Aceh untuk membantu menaklukkan Teuku Cik Di Tiro. Belanda menjanjikan kepada petinggi Aceh tersebut akan diangkat sebagai Kepala Sagi atau Kepala Wilayah di Aceh. Petinggi Aceh tersebut menyetujuinya, rencanapun disusun. Ia menyuruh seorang untuk mengantarkan makanan yang sudah diberi racun kepada Teuku Cik Di Tiro. Tanpa curiga, Teuku Cik Di Tiro memakan makanan tersebut. Akibatnya, beliau jatuh sakit dan meninggal di benteng Aneuk Galong pada bulan Januari 1891.
Atas perjuangannya dalam melawan pemerintah pendudukan Belanda tersebut, Pemerintah Republik Indonesia menganugerahi gelar kepada Teuku Cik Di Tiro sebagai pahlawan nasional, berdasarkan Surat Keputusan Presiden, tanggal 6 Nopember 1973, Nomor : 087/TK/1973. Untuk mengenang jasa besar yang telah dilakukan Teuku Cik Di Tiro dalam melawan pemerintah pendudukan Belanda, pemerintahpun mengabadikan namanya sebagai nama jalan besar dibeberapa kota di Indonesia.