Dalam hukum acara perdata pembuktian dengan saksi sangat penting artinya. Terutama untuk perjanjian-perjanjian dalam hukum adat. Karena pada umumnya, perjanjian dalam hukum tidak dilakukan secara tertulis, hanya berdasarkan rasa saling percaya mempercayai di antara para pihak. Hukum adat mengenal
dua macam saksi, yaitu :
dua macam saksi, yaitu :
- Saksi-saksi yang kebetulan melihat, mendengar sendiri peristiwa-peristiwa yang menjadi persoalan.
- Saksi-saksi yang pada waktu perbuatan hukum itu dilakukan, sengaja telah diminta untuk menyaksikan perbuatan hukum tersebut.
Yang dapat diterangkan oleh saksi hanyalah apa ia lihat, dengar atau rasakan sendiri. Tiap-tiap kesaksian harus disertai alasan-alasan apa sebabnya, dan bagaimana sampai ia mengetahui hal-hal yang diterangkan olehnya. Perasaan atau prasangka tidak dipandang sebagai penyaksian. Sehingga yang dimaksud dengan kesaksian adalah pembuktian dengan saksi.
Seorang saksi dilarang untuk menarik suatu kesimpulan. Saksi yang akan diperiksa, sebelumnya harus bersumpah menurut cara agamanya atau berjanji, bahwa ia akan menerangkan yang sebenarnya. Setelah disumpah saksi wajib memberi keterangan yang benar, apabila ia dengan sengaja memberi keterangan palsu, saksi dapat dituntut dan dihukum untuk sumpah palsu, sebagaimana diatur dalam pasal 242 KUH Pidana.
Pasal 172 H.I.R memberikan petunjuk, dalam mempertimbangkan nilai kesaksian haruslah hakim memperhatikan kecocokan saksi-saksi yang satu dengan yang lain, persetujuan kesaksian-kesaksian dengan apa yang diketahui dari tempat lain tentang perkara yang diperselisihkan, segala sebab yang kiranya ada pada saksi-saksi untuk menceritakan perkara itu cara begini atau begitu, cara hidup, adat dan martabat saksi dan pada umumnya segala hal ihwal yang boleh berpengaruh sehingga saksi itu dapat dipercaya atau kurang dipercayai.
Siapa saja yang dapat diajukan sebagai saksi ? Pasal 145 H.I.R menyebutkan sebagai berikut :
(1). Yang tidak dapat didengar sebagai saksi adalah :
- Keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut keturunan yang lurus dari salah satu pihak.
- Suami atau isteri salah satu pihak, meskipun telah bercerai.
- Anak-anak yang umurnya tidak diketahui dengan benar bahwa mereka sudah berumur limabelas tahun.
- Orang gila, walaupun kadang-kadang ingatannya terang.
(2). Keluarga sedarah atau keluarga semenda tidak boleh ditolak sebagai saksi karena keadaan itu dalam perkara tentang keadaan menurut hukum sipil daripada orang yang berperkara atau tentang suatu perjanjian pekerjaan.
(3).Orang yang tersebut dalam pasal 146 (1) a dan b, tidak berhak minta mengundurkan diri daripada memberi kesaksian dalam perkara yang tersebut dalam ayat di muka.
(4). Pengadilan negeri berkuasa akan mendengar di luar sumpah anak-anak atau orang-orang gila yang kadang-kadang terang ingatannya yang dimaksud dalam ayat pertama, akan tetapi keterangan mereka hanya dipakai selaku penjelasan saja.
Keluarga sedarah dan keluarga semenda dilarang didengar kesaksiannya karena dikuatirkan mereka akan memberikan keterangan yang palsu di persidangan, karena terpaksa disebabkan oleh hubungan keluarga yang dekat. Anak-anak yang berumur kurang dari 15 tahun juga dilarang untuk didengar sebagai saksi, kecuali mereka telah menikah, oleh karena keterangan mereka belum dapat dipertanggungjawabkan. Keluarga sedarah dan keluarga semenda tidak boleh ditolak sebagai dalam perkara-perkara mengenai kedudukan sipil dari pihak yang bersangkutan atau dalam perkara-perkara mengenai perjanjian kerja.
Pasal 146 ayat 1 H.I.R mengatur tentang pihak-pihak yang boleh mengundurkan diri untuk memberikan kesaksian, yaitu :
- Saudara laki-laki dan saudara perempuan, ipar laki-laki dan ipar perempuan dari salah satu pihak.
- Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus, dan saudara laki-laki dan perempuan dari suami atau isteri salah satu pihak.
- Sekalian orang yang karena martabatnya, pekerjaan atau jabatan sahdiwajibkan menyimpan rahasia, akan tetapi hanya semata-mata mengenai pengetahuan yang diserahkan kepadanya karena martabat, pekerjaan, atau jabatannya itu.
Sedangkan yang tidak berhak untuk mengundurkan diri adalah adik periparan, artinya mereka adalah sama-sama menantu seseorang dengan salah satu pihak.
1. Testimonium de auditu.
Testimonium de auditu adalah keterangan yang saksi peroleh dari orang lain, ia tidak mendengarkan dan mengalaminya sendiri, hanya ia dengan dari orang lain tentang kejadian tersebut atau adanya hal-hal tersebut.
Testimonium de auditu berarti kesaksian dari pendengar atau disebut juga kesaksian de auditu. Sebagai suatu kesaksian, testimonium de auditu, keterangan dari pendengar tidak mempunyai nilai pembuktian sama sekali, akan tetapi keterangan-keterangan yang demikian itu dapat dipergunakan untuk menyusun persangkaan atau untuk melengkapi keterangan saksi-saksi yang dapat dipercayai. Kesaksian de auditu (testimonium de auditu) dapat dipergunakan sebagai sumber persangkaan.
2. Unus testis nullus testis.
Unus testis nullus testis, dalam bahasa Indonesia berarti 'satu saksi bukan saksi'. Keterangan seorang saksi saja tanpa adanya bukti yang lain, tidak cukup untuk membuktikan atau dianggap terbuktinya sesuatu dalil yang harus dibuktikan. Keterangan saksi yang seorang itu masih harus dilengkapi dengan bukti-bukti lain, kalau didasarkan atas keterangan itu saja, maka dalil yang harus dibuktikan itu masih belum terbukti. Asas unus testis nullus testis juga dikenal dalam hukum acara pidana.
Apabila seorang saksi, yang sangat diperlukan dan telah diminta datang oleh salah satu pihak tidak mau datang menghadap, maka atas perintah hakim, saksi tersebut dapat diperintahkan untuk menghadap, kalau perlu dengan bantuan polisi, artinya saksi tersebut dipaksa untuk menghadap dan memberikan keterangannya. Apabila setelah datang, saksi tersebut ternyata termasuk kelompok saksi yang dapat mengundurkan diri, ia diperkenankan untuk mengundurkan diri.
Apabila saksi yang telah dipaksa untuk datang tersebut, lalu tidak tidak mau memberikan keterangannya, maka saksi seperti tersebut akan disanderakan sampai ia bersedia memberikan keterangannya. Hal tersebut juga dapat dilaksanakan apabila saksi tanpa sesuatu alasan yang sah tidak mau disumpah. Hal itu diatur dalam pasal 148 H.I.R yang berbunyi : "Jika dengan mengecualikan hal yang diatur dalam pasal 146 H.I.R, seorang saksi yang menghadap persidangan,enggan disumpah atau enggan memberi keterangan, maka ketua atas permintaan pihak yang berkepentigan, boleh memberi perintah supaya saksi itu disanderakan atas biaya pihak itu, sehingga saksi itu memenuhi kewajibannya".
Semoga bermanfaat.