Berbeda dengan perkara pidana yang tidak mengenal sumpah sebagai alat bukti, dalam hukum acara perdata sumpah merupakan alat bukti yang cukup penting. Perihal sumpah diatur dalam pasal 155, pasal 156, pasal 158, dan pasal 177 H.I.R.
Yang disumpah adalah salah satu pihak, penggugat atau tergugat, oleh karena itu yang menjadi alat bukti adalah keterangan salah satu pihak yang dikuatkan dengan sumpah dan bukannya sumpah itu sendiri. Ada dua macam sumpah, yaitu :
- Sumpah yang dibebankan oleh hakim (sumpah penambah).
- Sumpah yang dimohonkan oleh pihak lawan (sumpah pemutus)..
Pasal 177 H.I.R menyatakan, bahwa apabila sumpah telah diucapkan, hakim tidak diperkenankan lagi untuk meminta bukti tambahan dari orang yang disumpah itu, yaitu perihal dalil yang dikuatkan dengan sumpah dimaksud.
1. Sumpah Penambah.
Pasal 155 H.I.R mengatur perihal sumpah penambah, yang berbunyi :
- (1) Jika kebenaran gugatan atau kebenaran pembelaan melawan gugatan itu tidak menjadi terang secukupnya, akan tetapi keterangan tidak sama sekali ada, dan tiada kemungkinan akan meneguhkan dia dengan upaya keterangan yang lain, dapatlah pengadilan negeri karena jabatannya menyuruh salah satu pihak bersumpah di hadapan hakim, supaya dengan itu keputusan perkara dapat dilakukan, atau supaya dengan itu jumlah uang yang akan diperkenankan dapat ditentukan.
- (2) Dalam hal yang terakhir itu, haruslah pengadilan negeri menentukan jumlah uang, yang sehingga jumlah mana si penggugat dapat dipercayai karena sumpahnya.
Sumpah penambah dilakukan dengan sebelumnya terlebih dahulu harus sudah ada bukti, akan tetapi bukti tersebut belum lengkap, belum sempurna dan karenanya perlu ditambah dengan bukti yang lain. Sedang untuk mendapatkan bukti yang lain sudah tidak mungkin lagi, dengan kata lain bukti yang sudah ada dan belum cukup itu, tidak bisa ditambah dengan bukti yang lain. Oleh karena sumpah itu adalah untuk melengkapi, menambah bukti yang belum lengkap itu, maka sumpah tersebut dinamakan sumpah penambah (suppletoire eed).
Sumpah penambah dibebankan oleh hakim karena jabatannya, hal itu berarti bahwa hakim menentukan sendiri, apakah ia akan menambah pembuktian yang telah ada, akan tetapi belum cukup itu, dengan sumpah penambah atau tidak. Apabila hakim menganggap perlu, maka ia bebas untuk menambah bukti tersebut dengan sumpah penambah.
Siapa yang akan dibebani sumpah ? Kecuali dalam sumpah penaksir, di mana selalu pihak penggugat yang akan disumpah, sumpah penambah lainnya dapat dibebankan kepada penggugat atau tergugat. Apabila hakim akan menambah bukti tersebut dengan suatu sumpah penambah, maka dibuatlah suatu putusan sela, lengkap dengan pertimbangannya, yang memuat alasan sebabnya sumpah penambah tersebut diperlukan.
Pembebanan sumpah penambah kepada pihak yang bersengketa adalah suatu kebijaksanaan hakim, dengan kata lain hakim sama sekali tidak berkewajiban untuk menambah bukti tersebut dengan sumpah penambah. Oleh karena tidak adanya kewajiban itu, apabila hakim yakin, bahwa pihak yang akan dibebani sumpah penambah itu akan melakukan sumpah palsu, maka ia tidak akan memerintahkan kepada pihak tersebut untuk mengangkat sumpah, melainkan ia akan menolak gugatan tersebut.
Sumpah penambah yang lainnya adalah yang disebut sumpah penaksir, yang diatur dalam pasal 155 H.I.R bagian terakhir. Sumpah penaksir (Waarderingseed atau Aestimatoire eed) dilakukan untuk menentukan jumlah uang ganti rugi yang akan diperkenankan atau dikabulkan. Ketentuan pasal 155 ayat 2 H.I.R menentukan bahwa sumpah penaksir hanya dapat dibebankan kepada pihak penggugat.
2. Sumpah Pemutus.
Pasal 156 H.I.R mengatur perihal sumpah pemutus. Sumpah pemutus atau juga disebut sumpah decisoir memutuskan persoalan, menentukan siapa yang harus dikalahkan dan siapa yang harus dimenangkan. Oleh karena itu, maka sumpah tersebut juga disebut sumpah penentu, sumpah yang menentukan. Apabila tentang yang diperselisihkan tidak dapat diajukan bukti apapun juga, maka salah satu pihak dapat memohon kepada hakim, agar pihak lawannya disumpah, untuk menentukan siapa yang harus dikalahkan dan siapa yang harus dimenangkan.
Sumpah pemutus berbeda dengan sumpah penambah, ada tidaknya sumpah pemutus diserahkan sepenuhnya kepada pihak-pihak yang bersengketa, apakah mereka atau salah seorang dari mereka akan mempergunakan alat bukti yang menentukan itu atau tidak. Apabila pihak yag dalilnya yang menjadi dasar gugatan disangkal oleh pihak lawan, dan ia tidak dapat mengajukan mengajukan sesuatu bukti untuk meneguhkan dalilnya tersebut, sudah barang tentu pihak tersebut akan kalah perkara, gugatan yang diajukan olehnya akan ditolak. Hukum masih memberikan kemungkinan kepadanya untuk bisa memenangkan perkara tersebut, yaitu dengan mempergunakan sumpah pemutus.
Sumpah pemutus apabila menyangkut perjanjian timbal balik bisa dikembalikan, artinya bahwa pihak tergugat misalnya yang dimintakan agar ia bersumpah, mengembalikan sumpah tersebut dengan mengatakan, bahwa pihak penggugat sajalah yang bersumpah. Perihak sumpah yang dikembalikan tersebut diatur dalam pasal 156 ayat 2 H.I.R. Sumapah pemutus dapat dikembalikan, hal ini berarti bahwa seorang yang kepadanya dibebani sumpah oleh pihak lawan dapat memilih dua jalan, apakah ia akan menerima sumpah tersebut, ataukah ia akan meminta agar pihak lawan saja yang bersumpah.
Sumpah pemutus dapat diperintahkan dalam setiap tingkatan perkara, bukan saja sewaktu diperiksa oleh Pengadilan Negeri saja, akan tetapi juga apabila sedang berada pada taraf banding di Pengadilan Tinggi. Selain itu sumpah pemutus dapat diminta, meskipun tidak ada bukti sama sekali. Mengenai sumpah pemutus ini, Prof. R. Subekti, SH dalam bukunya yang berjudul Hukum Pembuktian, mengatakan bahwa sumpah pemutus merupakan senjata pamungkas, artinya sejata terakhir, bagi suatu pihak yang tidak memajukan suatu pembuktian. Kalau pihak lawan berani bersumpah, orang yang memerintahkan sumpah itu akan kalah.
Oleh karena sumpah pemutus tersebut memutuskan perkara, maka harus benar-benar mengenai suatu hal yang menjadi pokok perselisihan. Dalam hukum acara perdata hal ini dikenal dengan sebutan "litis decisoir". Apabila sumpah yang dimohonkan itu tidak bersifat litis decisoir, maka hakim akan melarang pembebanan sumpah tersebut. Dalam hal penentuan apakah suatu sumpah litis decisoir atau tidak, merupakan persoalan hukum, dan bukan saja dalam taraf banding, akan tetapi juga dalam taraf kasasi. Mahkamah Agung berhak untuk menilai kembali, apakah sumpah tersebut litis decisoir atau tidak.
Maksud dijatuhkannya sumpah pemutus adalah untuk mengakhiri perkara, jadi kalau maksud tersebut tidak akan tercapai dengan pembebaban sumpah termaksud, maka permohonan agar pihak lawan disumpah, tidak dikabulkan.
Oleh karena pembebanan sumpah adalah melepaskan suatu hak untuk menang, maka dalam taraf banding atau kasasi putusan tersebut tidak akan diubah. Juga seandainya sumpah tersebut dikelak kemudian hari ternyata palsu, hal itu tidak dapat diajukan sebagai alasan bagi rekes sipil. Berbeda dengan hal tersebut, terhadap putusan yang didasarkan atas sumpah penambah yang dikemudia hari ternyata palsu, rekes sipil masih bisa diajukan.
Menurut pasal 158 ayat 1 H.I.R tentang hal mengangkat sumpah itu selalu dilakukan dalam persidangan Pengadilan Negeri, kecuali jika hal itu tidak dapat dilangsungkan karena adanya halangan yang sah. Dalam hal sumpah pemutus yang diminta oleh salah satu pihak agar pihak lawannya yang dibebani sumpah itu, mengucapkannya di tempat ibadah yang ditunjuk sehubungan dengan kepercayaannya, misalnya masjid, gereja, dan lain-lain, maka sumpah dilakukan di tempat yang ditunjuk tersebut. Panitera pengadilan akan membuat berita acara tentang hal tersebut, sedang biaya yang timbul sehubungan dengan upacara sumpah tersebut ditanggung oleh pihak yang kalah berperkara.
Baik sumpah penambah atau sumpah pemutus bermaksud untuk menyelesaikan perselisihan, oleh karena itu keterangan-keterangan yang dikuatkan dengan sumpah adalah keterangan yang benar, dan orang yang disumpah tidak akan berani berbohong, karena apabila ia memberikan keterangan palsu (berbohong), ia akan dihukum oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Semoga bermanfaat.