Pangeran Sambernyowo (K.G.P.A.A. Mangkunegoro I)

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Kanjeng Gusti Pangeran Aryo Adipati (K.G.P.A.A) Mangkunegoro I, lahir di Surakarta, pada tanggal 7 April 1725. Terlahir dengan nama Raden Mas Said, yang merupakan anak dari pasangan Pangeran Aryo Mangkunegoro Kartosuro dan Raden Ajeng Wulan. Raden Mas Said adalah cucu dari Mangkurat IV, Raja Mataram. Karena selalu menentang pemerintahan Belanda, ayah dari Raden Mas Said, Pangeran Aryo Mangkunegoro Kartosuro diasingkan oleh Belanda ke Sri Lanka.

Perjuangan Raden Mas Said dimulai saat beliau berusia enambelas tahun. Saat itu, Raden Mas Said bergabung dalam pemberontakan Laskar Cina, tanggal 30 Juni 1742. Pemberontakan ini bertujuan untuk menuntut keadilan dan kebenaran atas harkat dan martabat orang-orang Cina dan rakyat Mataram yang ditindas oleh Belanda dan Raja Mataram Pakubuwono II. Raden Mas Said berjuang melawan ketidakadilan selama enambelas tahun. Dan antara tahun 1743 -1752, Raden Mas Said bergabung dengan Pangeran Mangkubumi untuk melawan Mataram dan Belanda.

Untuk meredam perlawanan yang dilakukan oleh Raden Mas Said beserta laskarnya tersebut, Belanda membuat suatu perjanjian yang dikenal dengan nama Perjanjian Giyanti, pada tanggal 13 Pebruari 1755. Isi perjanjian tersebut adalah tentang pembagian wilayah kerajaan Mataram yang dibagi dua, yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi (Hamengkubuwono I) menyetujui isi dari perjanjian tersebut. Sebaliknya Raden Mas Said menentang perjanjian tersebut, karena isi perjanjian Giyanti memecah belah rakyat Mataram. 


Dengan ditandatanganinya perjanjian Giyanti tersebut yang sangat ditentang oleh Raden Mas Said, membuat Raden Mas Said dari tahun 1752 - 1757 berjuang sendiri memimpin pasukannya untuk melawan dua kerajaan yang dipimpin oleh Pukubuwono III dan Hamengkubuwono I, yang keduanya didukung oleh Belanda. Karena pertempuran tidak kunjung berakhir dan telah banyak nyawa yang menjadi korban, pada tanggal 17 Maret 1957, tercapailah suatu kesepakat antara Raden Mas Said, Pakubuwono III, Sultan Hamengkubueono I, dan pemerintah Belanda. Kesepakatan ini dikenal dengan nama Perjanjian Salatiga, yang isinya adalah Raden Mas Said harus menghentikan perlawanan dan memperoleh kekuasaan yang mandiri. Raden Mas Said memerintah di wilayah Kadaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara, dan Kedu. Kekuasan yang diberikan kepada Raden Mas Said tersebut bersifat mandiri tanpa campur tangan pemerintah Belanda.

Selama masa perjuangannya dalam melawan pemerintak Belanda dan antek-anteknya tersebut, Raden Mas Said membentuk suatu pasukan elite yang bersemboyan Tiji Tibeh (Mati Siji Mati Kabeh), yang artinya mati satu mati semua. Berkali-kali serangan yang dilakukan oleh pasukan ini sangat merepotkan Belanda, yang menimbulkan kerugian baik nyawa dan materi yang tidak sedikit dari pihak Belanda. Perlawanan Raden Mas Said yang pantang menyerah selama 16 tahun terhadap Belanda, membuat Belanda menjulukinya sebagai Pangeran Sambernyowo. Julukan tersebut diberikan atas dasar kegigihan dan keuletan Raden Mas Said sehingga membuat Belanda tidak dapat menaklukkannya.

Pada tahun 1756, Raden Mas Said mendirikan istananya di pinggir Kali Pepe. Istana tersebut dikenal dengan nama Kerajaan Mangkunegaran. Sedangkan Belanda menyebutnya sebagai Raja III di Jawa Tengah. Karena kekuasaannya yang semakin luas, Raden Mas Said mendapat gelar Kanjeng Gusti Pangeran Aryo Adipati Mangkunegoro I.

Raden Mas Said atau K.G.P.A.A. Mangkunegoro I wafat di Mangkunegaran, Surakarta, pada tanggal 28 Desember 1795. Jenazahnya dimakamkan di Karanganyar Surakarta. Atas jasa-jasanya dalam memlawan pemerintah pendudukan Belanda tersebut, beliau dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia, berdasarkan Surat Keputusan Presiden, Nomor : 048/TK/1988, tanggal 17 Agustus 1988.

Semoga bermanfaat.