Suatu putusan di mana seseorang dimenangkan, kemudian karena misalnya tidak diminutir dan dilaksanakan, maka hal tersebut bagi penggugat yang dimenangkan menjadi tidak berarti sama sekali. Dalam hal seseorang mengajukan gugatan kepada pengadilan negeri, bukan saja ia mengharapkan agar memperoleh putusan yang menguntungkan baginya, namun disamping itu pula bahwa putusan tersebut akhirnya dapat dilaksanakan.
Demikian pula suatu putusan di mana pihak penggugat telah dimenangkan, akan tetapi sewaktu diadakan pelaksanaan atas putusan tersebut ternyata bahwa barang yang dipersengketakan sudah tidak berada ditangan pihak yang dikalahkan, atau dalam hal menyangkut suatu pembayaran sejumlah utang ternyata pihak yang dikalahkan sewaktu pelaksanaan putusan dilakukan ia sudah tidak mempunyai sesuatu barang di rumahnya, maka hal tersebut menjadi tidak berfaedah sama sekali bagi penggugat.
Oleh karena hukum acara perdata memungkinkan bagi orang yang sudah dikalahkan oleh putusan pengadilan negeri untuk mengajukan banding di pengadilan tinggi, dan setelah itu kemudian dilanjutkan lagi dengan mengajukan permohonan kasasi di Mahkamah Agung, maka pada azasnya putusan tidak dilaksanakan menunggu sampai ada putusan dari Mahkamah Agung tersebut, karena proses tersebut dapat berjalan bertahun-tahun.
Mengingat hal tersebut di atas, apabila tidak dikenal akan adanya lembaga sita jaminan, bagi penggugat yang telah dimenangkan perkaranya pada akhirnya merupakan pihak yang "kalah", karena selama proses berlangsung ia telah mengeluarkan banyak biaya perkara, bahkan sampai biaya perkara yang ia telah keluarkan selama ini, juga tidak dapat diganti. Masalah tersebut di atas akan sangat mengecewakan bagi pihak penggugat yang dimenangkan dalam persidangan, dan hal itu dapatlah dimengerti. Oleh karena itu, hukum acara perdata mengenal adanya lembaga sita jaminan.
Sita jaminan mengandung arti bahwa untuk menjamin pelaksanaan suatu putusan di kemudian hari, atas barang-barang milik tergugat, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, selama proses perkara berlangsung terlebih dahulu disita, atau dengan kata lain bahwa terhadap barang-barang yang sudah disita tidak dapat dialihkan, diperjualbelikan atau dipindahtangankan kepada orang lain. Sita yang demikian itu dikenal sebagai sita conservatoir atau conservatoir beslag. Bukan hanya barang-barang tergugat saja yang dapat disita, demikian juga halnya terhadap barang bergerak milik penggugat sendiri yang ada dalam kekuasaan tergugat dapat pula diletakkan sita jaminan. Sita yang demikian itu dikenal sebagai sita revindicatoir atau revindicatoir beslag.
Apabila dengan putusan hakim, pihak penggugat dimenangkan dan gugatan dikabulkan, maka sita jaminan tersebut secara otomatis dinyatakan sah dan berharga, kecuali kalau dilakukan secara salah. Namun dalam hal pihak penggugat yang dikalahkan, maka sita jaminan yang telah diletakkan akan diperintahkan untuk diangkat. Sedangkan dalam hal telah dilakukan sita revindicatoir, maka apabila sita revindicatoir tersebut dinyatakan sah dan berharga, terhadap barang yang disita itu akan diperintahkan agar diserahkan kepada penggugat.
Dilakukan atau tidaknya sita jaminan mempunyai makna yang penting. Oleh karena itu, sita jaminan hendaknya selalu dimohonkan agar diletakkan terutama dalam perkara-perkara besar. Haruslah diingat apa yang termuat dalam ketentuan pasal 178 ayat 3 H.I.R yang berbunyi : "Ia (hakim) dilarang menjatuhkan keputusan atas perkara yang tak dituntut, atau meluluskan lebih dari apa yang dituntut". Hal tersebut berarti bahwa apabila sita jaminan tidak dimohonkan, maka hakim tidak akan memerintahkan untuk meletakkan sita jaminan. Selain itu, mesti juga dimohonkan pada hakim agar penyitaan tersebut dinyatakan sah dan berharga.
Semoga bermanfaat.