Cara Untuk Merumuskan Perbuatan Pidana

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Dalam Buku II dan Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) dijumpai  banyak rumusan perbuatan beserta sanksinya, yang dimaksudkan untuk menunjukkan perbuatan-perbuatan mana yang dilarang dan diharuskan.

Maksud dari aturan-aturan tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen, unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tersebut, sehingga dapat dibedakan dari perbuatan-perbuatan lain yang tidak dilarang. Terdapat tiga cara dalam perumusan norma perbuatan pidana, yaitu :

1. Menentukan unsur-unsur dari suatu perbuatan yang dilarang atau yang diharuskan.
Cara ini sering dijumpai dalam perumusan undang-undang. Misalnya : Pasal 224 KUH Pidana tentang saksi yang tidak memenuhi panggilan, yang berbunyi : Barang siapa yang dipanggil sebagai saksi, ahli, atau juru bahasa menurut undang dengan sengaja tidak memenuhi suatu kewajiban yang menurut undang-undang selaku demikian harus dipenuhinya, diancam :
  1. dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama semblan bulan.
  2. dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan. 

Dengan demikian, ada dua batasan untuk mengatakan suatu perbuatan dikatakann perbutan yang dilarang, yaitu :
  • Batasan menurut unsur-unsurnya.
  • Batasan menurut pengertian yang umum (kualifikasi).

2. Menyebutkan nama atau kualifikasi dari tindakannya saja.
Misalnya dalam pasal 351 tentang penganiayaan, yang berbunyi :
  1. Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.
  2. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun.
  3. Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
  4. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
  5. Percobaan untuk melakukan kejahatan itu tindak pidana.

Jadi menurut pasal 351 KUH Pidana tersebut, yang dikatakan penganiayaan adalah menimbulkan nestapa atau rasa sakit pada orang lain. Cara merumuskan perbuatan pidana semacam itu, dikatakan memberi kualifikasinya perbuatan saja.

3. Unsur-unsur dan namanya atau kualifikasinya sama-sama disebutkan.
Misalnya dalam pasal 362 KUH Pidana tentang pencurian, yang berbunyi :
  • Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

Dalam kasus pencurian, sebagaimana disebutkan dalam pasal 362 KUH Pidana tersebut, unsur-unsur pokok adalah mengambil barang orang lain. Tetapi tidak setiap mengambil barang orang lain adalah pencurian, karena ada orang yang mengambil barang orang lain untuk disimpan dan kemudian diserahkan kepada pemiliknya. Dengan demikian, dalam pasal 362 KUH Pidana di samping adanya unsur-unsur tersebut, juga menambahkan elemen lain yaitu : dengan maksud untuk dimilikinya secara melawan hukum. Sehingga rumusan pencurian dalam pasal 362 KUH Pidana tersebut, harus memenuhi unsur-unsur :
  • Mengambil barang orang lain.
  • Dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum.

Van Hattum menyatakan bahwa maksud pembuat undang-undang dengan mengadakan kualifikasi di samping menentukan unsur-unsur adalah sekedar untuk mempermudah penyebutan perbuatan yang dilarang tersebut. Van Hattum juga mengatakan bahwa dalam praktek peradilan ada tendensi atau gelagat untuk memberi arti tersendiri pada kualifikasi. Apabila pemberian arti tersendiri pada kualifikasi tersebut didasarkan atas alasan-alasan yang rasional maka dapat memberi manfaat dalam penggunaan hukum pidana. Sebab pada hakekatnya penentuan unsur-unsur dalam rumusan delik hanya berlaku pada umumnya saja. 

Pemberian arti tersendiri dari kualifikasi tersebut tidak boleh digunakan secara phaenomenologis, yaitu meskipun perbuatan telah memenuhi unsur-unsur delik, tapi tidak dapat dimasukkan dalam kualifikasi, dengan alasan bahwa perbuatan tersebut "dem Wesem nach" (menurut hakekatnya) memang tidak masuk dalam kualifikasi tersebut. Jadi tanpa diberi alasan rasional apapun, hanya atas perasaan saja.

Untuk mengatasi pertentangan antara pengertian rumusan delik dalam unsur-unsur yang ditentukan dalam undang-undang dan pengertian kualifikasi, hendaknya kita berpendapat bahwa sifat melawan hukum itu adalah unsur mutlak dari tiap-tiap delik, dan sifat melawan hukum itu dipandang secara material. Perumusan delik dapat dilakukan secara formal dan meterial, atau biasa disebut juga delik formal dan  delik material. Walaupun dalam kenyataan tidak ada perbedaan sifat antara delik formil dan materiil. Perbedaannya tidak mengenai sifat yang sesungguhnya, tetapi hanya mengenai sifat dalam perumusannya di masing-masing pasal. Sehingga, dikatakan ada :
  • Perumusan formal apabila yang disebut atau yang menjadi pokok dalam formulering adalah kelakuannya. Sebab kelakuan macam itulah yang dianggap pokok untuk dilarang. Akibat dari kelakuan itu tidak dianggap penting untuk masuk perumusan.  Misalnya pencurian (pasal 362 KUH Pidana), yang penting adalah kelakuan untuk memindahkan penguasaan barang yang dicuri. 
  • Perumusan material jika yang disebut atau menjadi pokok dalam formulering adalah akibatnya, oleh karena akibatnya itulah yang dianggap pokok untuk dilarang. Yang dianggap delik material adalah penganiayaan (pasal 351 KUH Pidana) dan pembunuhan (pasal 358 KUH Pidana), karena yang dianggap pokok untuk dilarang adalah adanya akibat menderita sakit atau matinya orang yang  dianiaya atau dibunuh. Bagaimana caranya mendatangkan akibat itu, tidak penting sama sekali.

Selain dari dua hal tersebut, ada pula rumusan-rumusan perbuatan pidana yang formal-material, artinya yang menjadi pokok bukan saja caranya berbuat tetapi juga akibatnya. Misalnya adalah penipuan (pasal 378 KUH Pidana) :
  • Akibat yang ditimbulkan adalah bahwa orang yang ditipu tergerak hatinya dan menyerahkan barang atau sesuatu kepada orang yang menipu, adalah termasuk rumusan materiil. 
  • Cara untuk menggerakkan hati orang yang ditipu, dengan menggunakan nama palsu, adalah termasuk dalam rumusan formal.

Setalah dapat merumuskan perbuatan pidana, maka selanjutnya adalah merumuskan sanksi. Pada umumnya ada dua cara perumusan sanksi, yaitu :
  1. Pada umumnya, dalam KUH Pidana,  pada setiap pasal atau ayat-ayat dari suatu pasal, yang berisikan norma perbuatan pidana langsung diikuti dengan suatu sanksi.
  2. Dalam beberapa undang-undang hukum pidana lainnya, pada pasal-pasal awal ditentukan hanya norma perbuatan pidana saja tanpa diikuti ketentuan sanksi. Sanksi dicantumkan pada pasal-pasal akhir. 

Demikian penjelasan berkaitan dengan cara untuk merumuskan perbuatan pidana.

Semoga bermanfaat.