Pembatalan Perjanjian Timbal Balik

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Dalam Perjanjian timbal balik prestasi masing-masing pihak bertalian erat satu dengan lainnya.
sumber : danausaha.net
Jadi, apabila salah satu pihak dalam perjanjian timbal balik tidak berprestasi, maka pihak lainnya pun tidak perlu memenuhi prestasinya.

Pasal 1266 KUH Perdata menyatakan, bahwa syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian timbal balik, mana kala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.


Yang dimaksud oleh ketentuan pasal tersebut adalah bahwa krediturlah yang berhak menuntut pembatalan dan bukan debitur yang lalai. Selain pembatalan perjanjian, kreditur masih memiliki upaya hukum lainnya. Ketentuan mengenai pembatalan ini bersifat pelengkap yang karenanya dapat disimpangi oleh para para pihak yang membuat perjanjian.

Pasal 1266 KUH Perdata menentukan 3 syarat untuk terlaksananya pembatalan perjanjian, yaitu :

  1. Harus ada perjanjian timbal balik. Dalam berbagai perjanjian khusus/tertentu yang sifatnya timbal balik terdapat ketentuan-ketentuan khusus, yang sebagian merupakan ulangan dari asas tersebut dalam pasal 1266 KUH Perdata, tetapi sebagian lagi mengandung beberapa perubahan-perubahan.
  2. Harus ada ingkar janji. Sebelum kreditur menuntut pembatalan, debitur harus diberikan penetapan lalai (ingebrekestelling). Untuk mengajukan pembatalan, kelalaiannya harus cukup berat. Hakimlah yang harus memutuskan apakah ingkar janji dari debitur cukup berat atau tidak untuk  membatalkan perjanjian.
  3. Putusan hakim. Untuk batalnya perjanjian timbal balik, harus ada putusan hakim. Karena pasal 1266 KUH Perdata bersifat mengatur, maka para pihak dapat menentukan bahwa untuk batalnya perjanjian tidak diperlukan bantuan hakim.  Akan tetapi hal tersebut harus dinyatakan secara positif. 

Putusan hakim dapat bersifat :


  • Declaratif, yaitu bahwa putusan hakim hanya menyatakan saja bahwa perjanjian telah batal.
  • Konstitutif, yaitu bahwa batalnya perjanjian disebabkan oleh putusan hakim atas dasar adanya ingkar janji.

Putusan hakim adalah konstitutif berdasarkan :


  1. Pada alasan sejarah, bahwa menurut pasal 1266 KUH Perdata, batalnya perjanjian terjadi karena putusan hakim
  2. Pasal 1266 KUH Perdata ayat 2 menyatakan dengan tegas bahwa ingkar janji tidak demi hukum membatalkan perjanjian.
  3. Bahwa hakim berwenang untuk memberikan terme de grace (tenggang waktu), dan ini berarti bahwa perjanjian belum batal.
  4. Kreditur masih mungkin untuk menuntut pemenuhan.

Jika hakim dengan putusannya menyatakan bahwa perjanjian batal, berarti hubungan hukum yang terjadi karena perjanjian tersebut pun batal. Sebagai akibat hapusnya perikatan, masing-masing pihak tidak perlu lagi memenuhi prestasinya, maka pihak lain dapat menuntut pengembaliannya. Pihak yang mengajukan pembatalan perjanjian, berhak untuk menuntut ganti rugi sebagai akibat dari ingkar janji dan pembatalan.

sumber : Pokok-Pokok Hukum Perikatan, R. Setiawan, SH